close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) hadir dalam kampanye pawasi terbuka pasangan calon gubernur-wakil gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi dan Taj Yasi di Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (16/11). /Foto Instagram @luthfiyasinofficial
icon caption
Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) hadir dalam kampanye pawasi terbuka pasangan calon gubernur-wakil gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi dan Taj Yasi di Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (16/11). /Foto Instagram @luthfiyasinofficial
Politik
Sabtu, 05 Juli 2025 10:02

Putusan MK buka ruang bagi para tokoh daerah

Pada Pemilu 2024, publik cenderung lebih sibuk mencermati kontestasi pilpres ketimbang pilkada.
swipe

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilihan umum nasional dan daerah bisa memberi ruang memadai bagi tokoh-tokoh di daerah untuk bersaing dalam kontenstasi politik lokal. Dengan pemisahan itu, parpol punya waktu untuk menyoroti isu-isu khusus kedaerahan dan memilih calon pemimpin yang tepat untuk setiap daerah. 

Dalam putusannya, MK menetapkan agar pemilu daerah atau lokal digelar setelah pemilu nasional minimal 2 tahun atau maksimal 2,5 tahun. Pemilu nasional meliputi, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan DPR, dan pemilihan DPD, sedangkan pemilu lokal meliputi pemilihan gubernur, bupati, wali kota, serta anggota DPRD.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan pemilu serentak sebagaimana yang digelar pada 2024 lalu bikin pemilu lokal tersisih. Publik cenderung lebih banyak menghabiskan energi untuk fokus mencermati para kandidat di pemilu nasional. 

Herman menilai pemisahan itu juga seharusnya bisa memberi peluang calon kepala daerah mempersiapkan diri menjual ide dan gagasan yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah. Pada Pilkada Serentak 2024,  agenda-agenda yang diusung para kandidat cenderung membebek program-program pemerintah pusat. 

"Sekalipun agak sulit mengharapkan partai politik punya niat mendorong talenta di daerah. Sebab, semua calon kepala daerah ditentukan di dalam dapur partai, yang tentu kerap kali tidak melihat kebutuhan di daerah," kata Herman kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (3/7). 

Dengan jeda antara pemilu nasional dan lokal yang cukup panjang, menurut Herman, para calon kepala daerah bakal lebih mudah merancang program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan tidak bertabrakan dengan program-program pemerintah pusat.

Diasumsikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah disusun  presiden dan wakil presiden yang terpilih saat pilkada digelar. "Jadi, visi-misi calon kepala daerah juga mudah menyesuaikan karena sudah ada RPJMN yang tersusun dari capres- cawapres," kata Herman. 

Ikhtiar untuk membuka ruang bertarung bagi tokoh-tokoh di daerah yang berkualitas, kata Herman, bisa saja dilakukan jika DPR juga memudahkan calon independen untuk ikut berlaga. Saat ini, syarat pencalonan calon independen masih tergolong berat. "Belum lagi soal finansial dan sebagainya," imbuh dia. 

Analis politik dari Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Ahmad Chumaedy menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 bakal berimbas positif bagi perkembangan demokrasi lokal. Selama ini, pilkada dan pileg untuk memilih anggota DPRD tenggelam dalam hiruk-pikuk pilpres dan pileg nasional. 

"Akibatnya, proses rekrutmen calon dan perdebatan publik lokal menjadi minim. Bahkan, (adu gagasan dari para kandidat) tertutupi oleh narasi besar dari pusat," kata Memed, sapaan akrab Chumaedy, kepada Alinea.id, Jumat(4/7).

Dengan dipisahkan, menurut Memed, pemilu daerah bisa jadi panggung tersendiri untuk memunculkan para calon pemimpin berkualitas di panggung elektoral lokal. Politik lokal tidak lagi menjadi sekadar efek turunan dan dinamika nasional. 

"Hal ini berpotensi membuka jalan bagi tokoh-tokoh lokal yang memiliki legitimasi sosial, kapasitas kepemimpinan, dan rekam jejak di komunitas, namun tidak punya akses ke jejaring elite nasional," kata Memed.

Memed berkata bila pemisahan politik nasional dan politik daerah bisa menjadi titik balik reformulasi politik daerah dalam beberapa aspek. Salah satu yang mesti didorong ialah agar parpol membangun struktur kaderisasi yang berbasis kedaerahan, bukan sekadar mengimpor tokoh dari pusat atau tokoh yang populer secara instan. 

"Ruang politik yang lebih longgar memberi peluang bagi munculnya isu-isu khas daerah—seperti tata kelola sumber daya lokal, layanan publik, pendidikan, hingga pelibatan warga marginal. Dengan fokus yang tidak terpecah, publik memiliki kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam diskusi calon dan kebijakan di daerah," kata Memed. 

Perubahan skema pemilu, lanjut Memed, tidak serta-merta menjamin perubahan substansial dalam konstelasi demokrasi lokal. Politik uang, dominasi patron, dan oligarki lokal tetap menjadi ancaman serius dalam setiap gelaran pemilu. 

Menurut Memed, ada banyak hal yang harus dibenahi, semisal sistem pembiayaan politik, penguatan Bawaslu, dan keterbukaan informasi dalam pencalonan. Civil society lokal juga harus dikembangkan untuk menyokong proses demokrasi lokal. Pemilu lokal juga harus dipastikan meningkatkan partisipasi publik.
 
"Mendorong model kampanye berbasis isu ketimbang visual dan popularitas. Selain itu, ada transparansi anggaran dan program. Ini Supaya rakyat tahu apa yang akan diperjuangkan calon dalam APBD dan kebijakan daerah," kata Memed. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan