close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketuam Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor. Foto: Alinea.id/Twitter
icon caption
Ketuam Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor. Foto: Alinea.id/Twitter
Politik
Selasa, 01 Maret 2022 18:17

Rekomendasi Yusril tunda Pemilu 2024 dinilai sulit ditempuh

Menurutnya, tidak semua partai politik sepakat dengan usulan melakukan amandemen UUD 1945.
swipe

Direktur Solulis dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad, menilai tiga opsi yang direkomendasikan pakar hukum tata negara sekaligus Ketuam Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, sulit untuk ditempuh. Menurutnya, tidak semua partai politik sepakat dengan usulan melakukan amandemen UUD 1945.

Melalui sebuah pernyataan, Yusril Ihza Mahendra memberikan tiga opsi untuk menunda pemilu. Pertama, Amandemen UUD 45, kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner. Ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

"Untuk melakukan amandemen, UUD mengamanahkan harus diajukan 1/3 anggota MPR. Dan sidang MPR harus dihadiri 2/3 anggota MPR, serta alasan perubahannya harus kuat dan jelas. Selain itu, amandemen harus disetuji 50% + 1 anggota MPR," kata Suparji dalam keterangannya, Selasa (1/3).

Menurut dia, untuk mengeluarkan dekrit presiden memang memungkinkan. Namun, mengeluarkan dekrit tak hanya mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis, tetapi juga politis.

"Perlu ada keberanian dari Presiden Jokowi untuk mengeluarkan dekrit, karena jika tidak mampu memberikan dalil yang kuat, dekrit justru akan berbalik pada dirinya sendiri," ujarnya.

Sementara, untuk menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana yang diusulkan Yusri, Suparji menilai, langkah ini juga cukup ekstrem. Sebab, kata dia, konvensi ketatanegaraan merupakan tindakan yang bersifat mendasar dan dilakukan dalam menyelenggarakan aktivitas bernegara oleh alat-alat kelengkapan negara, serta belum diatur dalam konstitusi. 

"Konvensi ketatanegaraan harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain preseden yang timbul beebrapa kali. Lalu preseden yang timbul karena sebab secara umum dapat diterima dan ketiga preseden itu karena kondisi politik yang ada. Konvensi ketatanegaraan tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa legitimasi jelas," ucap Suparji.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, Suparji berkesimpulan penundaan pemilu akan sulit dilakukan. Sementara, amandemen 1945, menurutnya, paling mungkin dilakukan, sebab mayoritas partai politik merupakan pendukung pemerintahan Presiden Jokowi.

"Namun tak dapat dipungkiri bahwa sebuah aturan harus mendapat legitimasi di tengah masyarakat. Jika dipaksakan bisa terjadi pro dan kontra  melebihi penolakan terhadap UU Cipta Kerja dan RUU KUHP. Ini harus dipertimbangkan secara matang," katanya.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan