sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Riset LP3ES soal Jokowi minta dikritik: 44% sentimen negatif

Sebagian percakapan pengguna internet terdata natural, bukan robot.

Fathor Rasi
Fathor Rasi Sabtu, 20 Feb 2021 10:29 WIB
Riset LP3ES soal Jokowi minta dikritik: 44% sentimen negatif

Riset media sosial Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) periode 12 Februari hingga19 Febuari 2021, mencatat ada 126.970 percakapan di intenet di berbagai medsos terkait pemintaan kritik dari Presiden Jokowi.

Direktur Center for Media dan Democracy LP3ES, Wijayanto, kemudian membeberkan respons warganet atas permintaan Jokowi minta dikritik tersebut.

"Ternyata, muncul 44% sentimen negatif terhadap statement Presiden tersebut, yang meragukan bahwa Presiden benar-benar memiliki kesadaran genuine, di tengah telah semakin seriusnya persoalan kebebasan sipil di Indonesia," katanya dalam rilis webinar bertajulk “Kuasa Digital, Pembungkaman Kritik, Dan Wacana Revisi UU ITE”, diterima Sabtu (20/2).

Sebagain besar, lanjutnya, percakapan pengguna internet terdata natural. Artinya betul-betul interaksi manusia sungguhan, dan bukan robot.

"Yang menarik, ketika dilakukan analis emosi netizen, tenyata lebih besar emosi ketakutan pada 2900 twitt, Anger 1000, dan joy 1100 twitt. Ketakutan telah mendominasi ruang digital netizen," bebernya.

Wijayanto kemudian mencontohkan suasana ketakutan yang tokoh publik, sebagaimana dialami ekonom senior Kwik Kian Gie ketika harus menyampaikan kritik.

"Kwik menyebut suasana ketakutan yang amat dirasakan saat ini ketimbang ketika dia mengkritik di masa orde baru. Atau ketika Jusuf Kalla menyarankan kepada publik agar ditanyakan dulu bagaiman cara mengkritik agar tidak terkena masalah. Ungkapan Jusul Kalla cukup banyak di retweet oleh netizen," ungkapnya.

Contoh lainnya, lanjut Wijayanto, adalah pernyataan Refly Harun melalui akun media sosialnya. Pakar hukum itu menyatakan bahwa kritik yang aman sesuai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Sponsored

"Muncul pertanyaan publik, apakah permintaan kritik tersebut memang suatu poilitical will yang muncul dari kesadaran genuine presidin tentang demokrasi dan kebebasan bicara sipil? Apakah hanya sekadar lip service agar bagi pendukung pihak yang sedang berkuasa tidak dikenakan UU ITE bila melanggar?," tanya Wijayanto.

Publik, sambungnya, lebih berprinsip bahwa pernyataan Presiden Jokowi yang minta dikritik, diikuti dengan permintaan kepada Polri agar tidak semua kasus dilanjutkan, justru dibaca sebagai niat yang meragukan, apakah benar muncul dari usul genuine Presiden.

"Yang patut dicatat adalah muculnya fenomena dimana anak-anak muda telah terlibat aktif dalam percakapan. Bukti bahwa Generasi Z sudah mulai engage pada peristiwa politik. Kewargaan digital baru telah memunculkan kesadaran akan hak-hak warganegara via aktivisme digital oleh anak muda," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid