Lewat putusan bernomor MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029. Pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI, serta presiden dan wakil presiden. Adapun pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah.
Dalam putusannya, MK memberikan opsi agar jeda waktu dari pemilu nasional dan daerah didesain kisaran 2-2,5 tahun. Artinya, pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah yang semula akan digelar pada 2029 kemungkinan bakal mundur menjadi 2031.
Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati mengatakan putusan MK itu perlu segera direspons dengan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Neni menilai putusan itu akan bakal menimbulkan beragam persoalan teknis. Salah satunya ialah soal siapa yang mengisi jabatan kepala daerah atau anggota DPRD setelah tahun 2029. Khusus untuk DPRD, tak mungkin pemerinta mengganti semua anggotanya dengan pelaksana tugas.
"Memang dilematis. Satu-satunya solusi memang perlu adanya perpanjangan masa jabatan anggota DPRD, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota. DEEP juga mendorong DPR harus mencari cara paling tepat dalam menghadirkan pemilu nasional dan daerah," kata Neni kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Neni berharap putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang nantinya menjadi rujukan revisi UU Pemilu bisa mengakomodasi keberagaman kondisi sosial-politik di berbagai daerah, menjamin keterwakilan kelompok marjinal, serta memastikan bahwa pemilu bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, melainkan ruang pendidikan politik.
"Pembahasan revisi UU harus dilakukan secara inklusif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, yakni penyelenggara pemilu, partai politik, masyarakat sipil, akademisi, kelompok perempuan dan pemilih muda, serta komunitas adat dan disabilitas. Dengan pendekatan partisipatif dan berbasis bukti, Indonesia dapat menghasilkan sistem pemilu yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan bermakna secara demokratis," kata Neni.
Direktur Citra Institute Yusak Farchan menilai putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 bakal berdampak positif bagi sistem pemilu dan kelembagaan penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu, misalnya, akan selamat dari wacana diubah jadi lembaga ad-hoc karena tak hanya sekali dalam lima tahun.
Selain itu, partai politik juga diuntungkan karena para anggota DPRD berpotensi mendapat "bonus" tambahan masa jabatan karena jeda waktu yang cukup lama antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Tak seperti kepala daerah, pemerintah tak mungkin menyediakan pelaksana jabatan untuk DPRD.
"Jadi, ada kesan enak di DPRD-nya, tapi tidak enak di kepala daerahnya. DPRD-nya yang happy karena dapet bonus jabatan setidaknya dua tahun. Ini yang harus dicari jalan keluarnya oleh pembentuk undang-undang melalui rekayasa konstitusional yang adil dan setara bagi peserta pemilu lokal," kata Yusak kepada Alinea.id.
Implikasi lainnya, lanjut Yusak, ambang batas syarat pencalonan kepala daerah tidak bisa diterapkan. Jika pemilu DPRD dan pilkada dilangsungkan di hari yang sama, maka syarat ambang batas pencalonan kepala daerah sebagaimana tertulis pada Putusan MK 60/2024 kemungkinan tidak bisa diterapkan karena belum ada hasil pemilu.
"Secara politik, arah putusan MK ini memang memperkecil peluang pilkada dipilih oleh DPRD dan juga menghapuskan ambang batas pencalonan kepala daerah sebagaimana penghapusan presidential threshold menjadi nol persen," kata Yusak.