sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

UU MD3 membuat DPR dan rakyat kian berjarak

DPR boleh dikritik, asal jangan terlalu kencang. Kritik dibolehkan asal tak ada unsur 'merendahkan', definisi yang belum jelas batasannya.

Arif Kusuma Fadholy
Arif Kusuma Fadholy Sabtu, 17 Feb 2018 16:12 WIB
UU MD3 membuat DPR dan rakyat kian berjarak

Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang disahkan pada Senin (12/2), terus menimbulkan polemik. Aturan anyar ini dinilai sejumlah pihak, memuat pasal karet yang membuat DPR kian tak tersentuh hukum, di antaranya pasal 122 huruf (k) dan pasal 73 .

Pasal 122 (k) mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum, dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Bagian itulah yang dikhawatirkan akan membelenggu kritik masyarakat terhadap para wakil rakyat di Senayan. Namun, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani membantah keras stigma ini.

"Kami butuh kritik, sebisa mungkin kritik yang bukan menghina. Teruslah mengritik DPR," ujar Arsul di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (17/2).

Menurut kader PPP ini, DPR hanya ingin ada batasan dalam setiap kritik yang digulirkan masyarakat. “Ada usulan dari tim ahli pemerintah soal muatan kritik. MKD yang kemudian melakukan kajian, apakah kritik itu merendahkan DPR atau tidak,” terangnya.

Ia tak memungkiri, definisi ‘merendahkan’ menjadi sangat abstrak. Namun setidaknya, kritik yang masuk harus tetap disaring. “Harus ada penjelasan panjang terkait muatan kritik, mana yang menghina atau merendahkan DPR,” tandasnya.

Peneliti Senior Formappi, Lucius Karus mengatakan, selama ini DPR tidak peduli dengan kritik. "DPR tidak berubah dari tahun ke tahun, padahal banyak kritik mengalir. Kritik dianggap DPR biasa saja. Apalagi dengan adanya UU MD3 ini, maka menjadi semacam peresmian ketidakpedulian itu," ujar Lucius.

Menurutnya, banyak anggota parlemen yang sakit hati dengan adanya kritik-kritik ini. Lantas kritik itu dihilangkan lewat regulasi yang memaksa. Hal tersebut kontradiktif dengan marwah DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. “Mestinya jika DPR adalah lembaga baik dan terhormat, mereka harus terima kritik jika ada penyimpangan,” tandasnya.

Sponsored

Dengan munculnya pasal ini, maka DPR semakin terlihat ingin menjauhkan diri dari rakyat. "Dengan disahkannya UU MD3, DPR seperti menutup diri dan menjauhi rakyat. Bukan hanya DPR, tapi juga pemerintah," tuturnya.

Upaya membuat jarak ini juga tampak dari pasal 73 UU MD3. Dalam pasal ini disebutkan, DPR berhak memanggil secara paksa setiap orang dengan menggunakan kepolisian. Aturan ini sendiri muncul berkat usulan Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Angket KPK). Alasannya, pada rapat pansus sebelumnya bulan Oktober 2017, KPK dua kali absen dari panggilan pansus. KPK sendiri saat itu mengaku tengah menunggu putusan MK ihwal gugatan uji materi UU MD3.

Ketidakhadiran KPK membuat tim pansus meminta Polri untuk memanggil paksa KPK. Namun permintaan ini ditolak Kapolri Jenderal Tito Karnavian, lantaran UU MD3 belum memiliki hukum acara yang jelas untuk pemanggilan paksa.

Terkait ini, Arsul angkat suara, “Sebetulnya panggilan paksa tersebut awalnya bukan untuk semua orang, tapi untuk pejabat pemerintah. Kemudian, pada perkembangannya diganti setiap orang,” ujarnya.

Pengamat Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menerangkan, UU MD3 ini sebetulnya adalah penegasan sikap DPR yang maunya dikritik, tapi tidak terlalu keras. “DPR diisi orang-orang cerdas. Karena itulah anggotanya paham bagaimana cara melindungi diri,” ungkapnya.

Jika dalam beberapa kali kesempatan, Ketua DPR berpesan untuk terus mengritik DPR. Menurut Hendri, itu adalah upaya DPR memperhalus kritik, laiknya era Orde Baru. Bahkan di era tersebut, Soeharto tak akan ragu mengebiri setiap orang yang mengritik. Semua ini, lanjutnya, mengarah ke situ.

"DPR itu mau dikritik, tapi jangan kencang-kencang. DPR tidak ingin direndahkan, lewat kata-kata yang dibungkus kritik. PR DPR adalah menjelaskan, mana yang tergolong merendahkan, mana yang bukan, agar masyarakat tidak bingung,”pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid