sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Target nol emisi dan ceruk baru bisnis pengisian daya kendaraan listrik

Peningkatan penggunaan kendaraan listrik sejalan dengan kebutuhan stasiun pengisian daya.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 22 Nov 2021 06:33 WIB
Target nol emisi dan ceruk baru bisnis pengisian daya kendaraan listrik

Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mencapai target net zero carbon emission atau nol emisi pada 2060. Salah satunya adalah dengan akselerasi elektrifikasi kendaraan. Targetnya, Indonesia diharapkan mampu menurunkan tingkat karbondioksida (CO2) hingga 4,6 juta ton berkat peningkatan penggunaan mobil listrik dan 1,42 juta CO2 untuk motor listrik pada 2035.

Komitmen untuk mencapai target tersebut ditunjukkan pemerintah dengan adanya peraturan penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di seluruh instansi pemerintahan. Diharapkan pada 2030 nanti, akan ada pembelian 135 ribu mobil listrik dan 400 motor listrik dari instansi pemerintah.

“Untuk mempercepat popularisasi, pemerintah akan menetapkan peraturan penggunaan EV di instansi pemerintahan. Ini juga untuk mempercepat dan mendukung target penurunan emisi karbon,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Jumat (15/10) lalu.

Di saat yang sama, pemerintah pun menargetkan produksi BEV (Battery Electric Vehicle) hingga 600 ribu unit untuk roda 4 atau lebih dan sebesar 2,45 juta unit BEV untuk kendaraan roda dua pada 2030. Adapun dari produksi kendaraan listrik, Agus berharap dapat menurunkan emisi CO2 hingga 2,7 juta ton untuk kendaraan listrik roda 4 atau lebih dan 1,1 juta ton CO2 untuk kendaraan roda dua.

Terlepas dari target tersebut, tren penjualan kendaraan listrik memang terus mengalami kenaikan selama beberapa tahun terakhir. Ini sejalan dengan pertumbuhan penjualan EV di dunia. Menurut catatan Badan Energi Internasional (The International Energy Agency/IEA), penjualan EV secara global tumbuh hingga 43% dari tahun sebelumnya dan akan semakin masif di tahun-tahun mendatang. Bahkan, IAE juga memproyeksikan jumlah kendaraan listrik pada 2030 akan mencapai 145 juta unit.

Ilustrasi Unsplash.com.

Di Indonesia, meski masih tergolong kecil, namun populasi kendaraan listrik perlahan semakin meningkat dan masih akan terus bertambah ke depannya. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), hingga pertengahan 2021 saja sudah ada 1.478 unit EV untuk kendaraan roda empat, 188 unit roda tiga, dan 7.526 untuk kendaraan roda dua. 

Sedangkan berdasarkan catatan Dewan Energi Nasional (DEN) dalam skenario rendah karbon, diperkirakan akan ada 3 juta unit motor listrik, 127 ribu unit mobil listrik dan 4.500 unit bus listrik pada 2025 nanti.

Sponsored
Pertumbuhan jumlah kendaraan listrik. (Sumber: Gaikindo).
2019 685 unit mobil hybrid, 20 unit PHEV dan 685 unit BEV
2020 1.108 unit mobil hybrid, 6 unit PHEV dan 1.108 unit BEV
Semester-I 2021 1.900 unit, terdiri dari 1.378 mobil hybrid, 38 unit plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) dan 488 unit mobil listrik berbasis baterai (BEV)

Pengamat Transportasi Bebin Djuana menyatakan masa depan transportasi darat dunia ada di penggunaan kendaraan listrik. Mulai dari mobil, motor, bis, sampai kendaraan logistik seperti truk dan mobil box.

"Itu arahnya akan menggunakan listrik. Jadi ke depannya pasti masih akan bertambah produksi dan permintaannya,” ujar dia kepada Alinea.id, Jumat (19/11).

Dengan melonjaknya permintaan dan produksi kendaraan listrik, tentu akan berpengaruh pula pada peningkatan kebutuhan infrastruktur kendaraan listrik lainnya, seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penggantian Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). 

Tak heran, jika untuk mengakomodir seluruh penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis motor (KBLBB), pemerintah menargetkan pembangunan 572 unit SPKLU dan 3.000 unit SPBKLU di 2021. Kemudian, jumlahnya akan bertambah pada 2025, dengan target pembangunan 6.318 unit SPKLU dan 67.000 unit SPBKLU. Lalu, di tahun 2030 jumlah SPKLU menjadi 31.859 unit dan SPBKLU mencapai 67.000 unit.

Stasiun pengisian daya kendaraan listrik. Unsplash.com.

Adapun hingga September 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sudah ada 187 unit SPKLU yang tersebar di 155 lokasi dan untuk SPBKLU jumlahnya telah mencapai 153 unit dan tersebar di 86 lokasi.

“Untuk pembangunannya, ini enggak mungkin dilakukan pemerintah sendiri, pasti akan ada dari swasta juga,” ungkapnya.

Kondisi tersebut, lanjut Bebin, berpotensi menumbuhkan peluang bisnis baru bagi masyarakat. Apalagi, saat ini belum banyak pengusaha atau pihak swasta yang terjun langsung untuk menyediakan SPKLU dan SPBKLU. Padahal, jika melihat pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia, bisnis pengisian daya KBLBB bisa jadi akan sangat menguntungkan.

Ihwal keuntungan, hal itu bisa didapatkan dari margin antara harga pembelian listrik dari PLN sebesar Rp740 per kilo watt hour (kWh). Kemudian, harga jual listrik oleh investor atau operator SPKLU kepada end user atau pemilik kendaraan listrik yang senilai Rp2.400. Dengan asumsi tersebut, setidaknya pengusaha SPKLU bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp1.700 per kWh. 

Tidak hanya itu, keuntungan dari margin yang didapatkan tersebut, akan semakin besar sejalan dengan kian banyaknya transaksi yang bisa dilakukan oleh SPKLU. Namun demikian, banyaknya transaksi akan sangat dipengaruhi oleh besarnya daya pengisian kendaraan listrik per jam.

Bebin bilang, untuk mendapatkan keuntungan maksimal, setidaknya pengusaha SPKLU harus menerapkan teknologi fast charging yang mampu mengisi daya 50 kilo Watt (kW) per jam atau bahkan 100 kW per jam.

"Di Indonesia kita ada tiga model SPKLU, yang spesifikasi ultra fast charging 125 kW, fast charging 50 kW dan normal charging 25 kW. Kalau di luar, yang fast charging itu aja minimal 100 kW per jam," urai Bebin.

Contoh stasiun pengisian daya dengan ketiga spesifikasi SPKLU itu terlihat di PLN UID Jakarta Raya yang memiliki tiga unit isi ulang dan empat unit SPKLU di UP3. Masing-masing satu unit di Bulungan, Lenteng Agung, Tanjung Priok dan Jatinegara yang dapat mencapai transaksi hingga ribuan kali.

Berdasarkan data PLN Jakarta Raya, hingga 27 September 2021 total transaksi di tujuh unit SPKLU di Jakarta mencapai 2.877 kali transaksi dengan total energi yang sudah didistribusikan mencapai 50.687 kWh.

Iming-iming insentif

Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana, dalam kesempatan lain mengatakan, untuk menarik minat pengusaha untuk berinvestasi pada SPKLU dan SPBKLU, pemerintah telah memberikan berbagai insentif dan kemudahan perizinan. Salah satunya adalah dengan pemberian insentif tarif curah sebesar Rp714 per kWh untuk badan usaha SPKLU dengan tarif penjualan oleh operator maksimal Rp2.467 per kWh. 

Selanjutnya, pemerintah juga akan memberikan keringanan biaya penyambungan dan jaminan langganan tenaga listrik. Hingga pembebasan rekening minimum selama dua tahun pertama bagi badan usaha SPKLU yang menggandeng PT PLN (Persero).

Dari sisi lahan, Rida bilang, pihaknya juga telah memberikan kemudahan untuk izin lahan SPKLU dan SPBKLU melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral. Dengan adanya beleid itu, nantinya pengusaha hanya membutuhkan bukti kepemilikan lahan SPKLU dan SPBKLU saja untuk mendapatkan izin lahan. 

"Sebelumnya penetapan wilayah usaha SPKLU membutuhkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah, saat ini dapat digantikan dengan dokumen bukti kepemilikan lahan SPKLU atau perjanjian kerja sama dengan pemilik lahan SPKLU," jelas Rida, kepada Alinea.id, Jumat (19/11).

Ilustrasi Unsplash.com.

Meski begitu, untuk pengusaha yang telah berinvestasi pada SPKLU dan SPBKLU, diminta memiliki kewajiban pelaporan dengan menyediakan sistem informasi yang terintegrasi dengan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan. Menurut Rida, sistem informasi tersebut pada saatnya akan memudahkan konsumen pemilik kendaraan listrik untuk mencari SPKLU atau SPBKLU.

Terlepas dari berbagai insentif dan kemudahan yang diberikan pemerintah tersebut, Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Khoirunurrofik memberikan pandangan berbeda. Menurutnya, untuk menggenjot pertumbuhan mobil listrik, pun dengan ketersediaan SPKLU dan SPBKLU, pemerintah juga harus memberikan diskon untuk pembelian alat charging EV. Sebab, saat ini harga alat charging EV masih tergolong sangat mahal. 

"Buat charging rumahan saja itu bisa puluhan juta Rp20-an juta. Apalagi yang untuk SPKLU sama di SPBKLU, itu bisa sampai ratusan juta," kata dia, Kamis (18/11).

Benar saja, harga charger EV milik dealer PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia (MMKSI), memiliki nilai investasi sebesar Rp500 juta. Distributor resmi kendaraan penumpang dan niaga ringan Mitsubishi di Indonesia dari Mitsubishi Motors Corporation (MMC) itu memiliki fasilitas charging yang dibangun dua tahun lalu.

Fasilitas quick charger ini sendiri bertipe CHAdeMO (DC) dan mampu mengisi baterai Outlander PHEV hingga 80% dalam kurun waktu 25 menit. Selain itu, ada pula alat charging EV yang dibanderol dengan harga lebih murah, seperti dua jenis charging yang diproduksi oleh PT Powerindo Prima Perkasa. 

Keduanya antara lain tipe AC atau pengecasan normal dan tipe DC atau pengecasan cepat (quick charging), yang senilai Rp40 juta untuk tipe AC dengan dua nozel dan Rp18 juta untuk tipe AC dengan satu nozel. Adapun untuk tipe DC bisa dibanderol dengan harga hingga 10 kali lipat dari tipe AC.

"Itu di tahun 2019, ya. Sekarang pun meskipun turun tapi juga enggak drastis," imbuhnya.

Dengan harga selangit, lanjut Rofik, jelas saja jika charging station menjadi salah satu tantangan terbesar pengembangan kendaraan listrik di tanah air. Selain juga harga kendaraan listrik, khususnya motor dan mobil listrik yang juga masih sangat mahal. Padahal, jika melihat daya beli masyarakat Indonesia, setidaknya seseorang hanya mampu membeli mobil dengan harga di kisaran Rp300 juta hingga Rp400 juta.

"Makanya, perlu ada diskon untuk charging station, khususnya untuk yang bisa ditempatkan di rumah, yang satu nozel," tegas Rofik.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Berita Lainnya
×
tekid