sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

CORE prediksi ekonomi RI tumbuh hanya 5,1%

Center of Reform on Economics (CORE) memandang bahwa pemerintah perlu melakukan mitigasi dini untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Rabu, 25 Apr 2018 07:12 WIB
CORE prediksi ekonomi RI tumbuh hanya 5,1%

Center of Reform on Economics (CORE) memandang bahwa pemerintah perlu melakukan mitigasi dini untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. CORE memperediksi, ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh 5.1% pada tahun 2018.

Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal menjelaskan, setidaknya ada lima mitigasi yang harus dilakukan pemerintah. Di antaranya, dari sektor konsumsi, meningkatkan ekspor, meningkatkan potensi investasi sektor primer dan manufaktur, anggaran belanja, dan stabilisasi moneter. 

Jika dilihat dari konsumsi pada 2017, Faisal melihat pemerintah telah baik untuk mendorong konsumsi dari masyarakat menengah bawah, dengan program bantuan sosial tunai, padat karya tunai dan sebagainya. Kemudian, PR pemerintah saat ini adalah cara untuk mendorong konsumsi dari kelas menengah atas. 

"Menengah atas ini harusnya punya kontribusi paling besar terhadap pertumbuhan konsumsi tahun lalu. Namun dilihat dari tiga bulan pertama 2018, belum ada optimisme dari dari kalangan mengengah ke atas," ujar Faisal, Selasa (24/4). 

Karena itu, dia mengimbau agar pemerintah dapat memberikan sinyal positif kepada kelas menengah atas dan pengusaha, supaya mereka tidak khatwatir lagi untuk belanja. 

Selain itu, juga agar lebih progresif dalam mengejar penerimaan pajak dari para masyarakat kelas atas. Dengan begitu, pemerintah setidaknya lebih gampang untuk menyasar masyarakat kelas menengah bawah dan atas. 

Sementara dari kontribusi net-ekspor, Faisal melihat bahwa meningkatkanya proteksionisme khususnya oleh negara-negara maju, akan berpotensi memperlambat pertumbuhan perdagangan dunia dan mempersempit peluang Indonesia untuk meningkatkan penetrasi Ekspor. 

"Proteksionisme dan juga perang dagang yang terjadi saat ini mesti direspons oleh pemerintah dengan mempercepat diversifikasi tujuan ekspor. Hingga saat ini pertumbuhan ekspor ke pasar non-tradisional masih jauh lebih rendah dibanding pasar tradisional," terang Faisal. 

Sponsored

Diketahui bahwa pada triwulan pertama tahun ini, ekspor ke negara tujuan utama (Asean, China, AS, Jepang, India, dan Uni Eropa) mampu tumbuh 12,3%. Namun, ekspor ke negara-negara non-tradisional hanya tumbuh 1,4%.

Pada sektor manufaktur, investasi yang menurun sepanjang tahun lalu berpotensi meningkat marjinal pada tahun ini. Hal ini terlihat dari peningkatan Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur dari Nikkei maupun peningkatan Prompt Manufacture Index (PMI) dari Bank Indonesia. 

PMI Nikkei pada kuartal I-2018 mencapai 50,7, naik tipis dibandingkan dengan kuartal I-2017 yang mencapai 50,1.

Sementara itu, PMI Bl pada Q1 2018 naik 4,02 poin dari Q1 2017 menjadi 51,95. Nilai indeks PMI di atas 50, menujukkan adanya ekspansi produksi yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang melihat adanya perbaikan permintaan. 

"Hal ini akan mendorong investasi di sektor manufaktur yang lebih baik di Q1 2018 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu," terang Faisal. 

Dia melanjutkan, pembiayaan fiskal sangat rentan terhadap sudden capital outflow, hal ini tidak terlepas dari cukup tingginya kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN). Jika The Fed kembali menaikkan FFR selama 2018, bisa dipastikan imbal hasil (yield) surat utang AS berpotensi akan meningkat. 

Peningkatan ini akan diikuti meningkatnya yield surat utang negara berkembang termasuk Indonesia. Sejauh ini yield surat utang Indonesia telah mencapai 6,6%, salah satu yang terbesar diantara negara peer-country

Saat ini saja, kata dia, rata-rata belanja pembayaran bunga utang menyumbang 29% terhadap total belanja pemerintah pusat. Rata-rata share pembayaran bunga utang selama tiga tahun terakhlr mencapai 29%, jauh di bawah rata-rata share realisasi belanja modal dan bantuan soslal yang hanya mencapal 5% dan 6%. 

Terkahir, Faisal melihat bahwa penahanan suku bunga dalam negeri, yakni sebesar 4,25% dianggap masih rendah, sementara suku bunga di luar negeri merangkak naik menyiratkan semakin tipisnya interest rate differential

"Kondisi ini di tengah terus membaiknya perekonomian AS akan dapat menyebabkan capital outflow yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada nilai tukar. NiIai tukar rupiah pada akhirnya akan sangat bergantung kepada kemampuan Bank Indonesia memainkan instrumennya, termasuk instrumen intervensi memanfaatkan cadangan devisa yang tersedia cukup besar," ujar Faisal. 

Kegagalan BI mempertahankan ekspektasi nilai tukar dapat memicu kepanikan yang berujung kepada krisis nilai tukar. Upaya BI menahan suku bunga acuan untuk tetap rendah guna memacu pertumbuhan ekonomi patut diapresiasi. 

Namun demikian, keberhasilan upaya BI tersebut akan bergantung kepada laju pertumbuhan kredit. Walaupun BI berupaya mempertahankan suku bunga acuan tetap rendah, laju pertumbuhan kredit pada tahun 2018 diperkirakan tidak akan mengalami lonjakan yang signifikan, yaitu sekitar 11,0%-11,5%. 

Berita Lainnya
×
tekid