sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Update: Kredit macet fintech lending dan solusinya

Rasio kredit macet fintech terus merangkak naik sejak Mei 2019.

Annisa Saumi Nanda Aria Putra
Annisa Saumi | Nanda Aria Putra Rabu, 04 Sep 2019 06:48 WIB
Update: Kredit macet fintech lending dan solusinya

Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perusahaan teknologi finansial (financial technology/fintech) peer-to-peer (p2p) lending pada Agustus 2019 mencapai 2,52%.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat NPL fintech merangkak naik dalam tiga bulan terakhir. Pada Mei, NPL masih bertengger di angka 1,57%, naik menjadi 1,75% pada Juni, dan 2,52% di Juli.

Fintech p2p lending memiliki konsep bisnis yang mempertemukan para pemberi pinjaman (lender) atau investor dengan peminjam (borrower). Instrumen investasi yang ditawarkan pun beragam, mulai dari pinjaman perorangan, proyek infrastruktur, usaha kecil dan menengah (UKM), hingga properti.

Pengembalian dana dan bunga yang dijanjikan pun cukup menggiurkan. Dengan proses pendaftaran, verifikasi, dan modal yang cukup terjangkau, berinvestasi di fintech lending ini terasa menggiurkan. Namun, belakangan dengan angka kredit macet tersebut, pemberi pinjaman cukup resah. Beberapa investor mengeluhkan pengembalian dana yang berlangsung lama atau molor dari jadwal, bunga yang lebih rendah dari awal perjanjian, dan sebagainya. 

Salah satu investor p2p lending yang Alinea.id hubungi, Insaf Albert Tarigan, mengatakan dirinya juga meminjamkan dana belasan juta di p2p lending. Insaf ikut mendanai tiga campaign di fintech, salah satunya campaign pendanaan proyek infrastruktur. Insaf mengatakan dirinya menginvestasikan dana sekitar Rp10 juta pada campaign tersebut. 

"Di campaign itu sempat macet pendanaannya. Tapi enggak lama sih," kata Insaf di Jakarta, Selasa (3/8).

Insaf mengatakan transparansi peminjam di p2p lending tak sama dengan perusahaan terbuka yang bisa dilihat rekam jejak keuangannya. Insaf mengaku sempat kesulitan mencari-cari informasi mengenai peminjamnya.

Meskipun demikian, Insaf mengatakan dirinya masih akan terus berinvestasi di p2p lending. Namun, Insaf memandang untuk investor baru seperti dirinya, keterlambatan pembayaran tersebut menjadi sentimen kurang bagus p2p lending.

Sponsored

"Malah saya mengalihkan lagi investasi saya ke saham," ujar Insaf.

Penyelesaian kredit macet

Perusahaan fintech p2p lending mengaku tidak tinggal diam untuk melakukan penyelesaian kredit bermasalah tersebut. Co-founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan perusahaan mengantisipasi pinjaman macet dengan mengasuransikannya ke Askrindo. 

Reynold menjelaskan objek pertanggungan yang dijamin asuransi ini adalah proyek pendanaan berbasis invoicing (pre-financing dan post financing).

Selain itu, Modalku juga mengantisipasi adanya modal macet dengan tim yang terus berkomunikasi dengan setiap peminjam mereka.

"Kami selalu berupaya untuk melakukan pengumpulan kembali pembayaran yang belum terpenuhi, serta mencari solusi yang paling baik buat kedua belah pihak agar pembayaran kembali dapat terpenuhi," kata Reynold.

Saat ini, Reynold mengatakan sejak Januari 2019 hingga Agustus 2019, angka kredit bermasalah Modalku mencapai 1%.

Hingga Agustus 2019, Modalku telah mencairkan pinjaman sebesar Rp8,38 triliun sejak berdiri pada 2015. Adapun jumlah pinjaman Modalku sejak 2015 telah mencapai 932.647 pinjaman yang tak terbatas di Indonesia saja, melainkan juga di Singapura dan Malaysia.

Sementara itu, Co-Founder dan CEO Akseleran Ivan Tambunan mengatakan pihaknya mengantisipasi kredit macet melalui dua cara. Cara pertama, Akseleran menyeleksi pinjaman dengan ketat menggunakan credit scoring model. 

Credit scoring model tersebut mencakup berbagai aspek, termasuk aspek keuangan, agunan, dan credit history dari penerima pinjaman.

Ketika terjadi keterlambatan pembayaran, Akseleran akan melakukan desk and field collection terhadap penerima pinjaman yang telat.

Cara kedua, apabila peminjam telat membayar 90 hari, Akseleran akan menunjuk kuasa hukum untuk menyelesaikan hal tersebut. Kuasa hukum nantinya akan mengeksekusi agunan, mengajukan pailit, atau dalam hal terdapat unsur pidana, mengajukan laporan polisi terhadap penerima pinjaman. 

"Proses collection tentu tidak instan, tapi dengan proses yang ada sampai saat ini recoverynya masih sangat bagus," kata Ivan.

Sama seperti Modalku, Ivan juga menjelaskan Akseleran menyediakan asuransi kredit atas pinjaman-pinjaman tertentu. Sehingga, nantinya pemberi pinjaman bisa memilih pinjaman yang ada asuransinya. 

Kendati demikian, Ivan mengatakan asuransi kredit menjamin pengembalian 85% pokok pinjaman. Jadi, tetap ada risiko juga sebesar 15%. 

"Ke depannya kami berencana untuk menyertakan asuransi kredit untuk seluruh pinjaman yang ditawarkan di platform Akseleran, sehingga pemberi pinjaman lebih terlindungi," tutur Ivan.

Ivan menuturkan sepanjang semester I-2019 Akseleran telah menyalurkan sejumlah Rp346,2 miliar pinjaman. Pinjaman-pinjaman terbesar, kata Ivan, datang dari sektor seperti mining/oil and gas, engineering/construction, bussiness process outsourcing, logistik, dan retail. Sementara itu, posisi kredit macet Akseleran berada pada angka 0,66% dari total penyaluran. 

Ilustrasi investasi/ Shutterstock

Antisipasi dengan Pusdafil

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengantisipasi peminjam nakal dengan menerapkan Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil). Dengan Pusdafil tersebut, perusahaan-perusahaan fintech bisa saling berbagi data peminjam nakal mereka.

Sebelumnya, AFPI bersama OJK mengatakan Pusdafil ini akan diintegrasikan secara menyeluruh pada September 2019.

Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan untuk saat ini, Pusdafil tersebut masih dalam proses pengembangan dan penyempurnaan.

"Untuk September ini masih jadi percobaan bagi beberapa pemain fintech," kata Sunu.

Nantinya, Pusdafil tersebut akan membagikan data yang mencakup jumlah pemberi pinjaman hingga kredit macet perusahaan fintech.

Untuk kesiapan mengintegrasikan Pusdafil, Ivan mengatakan selain data NIK nasabah, pihaknya juga harus menyiapkan posisi pinjaman nasabah serta status pinjaman nasabah.

"Status pinjamannya dibagi menjadi lancar, telat, atau macet," kata Ivan.

Sinergi dengan asosiasi

Ditemui secara terpisah, Kepala Group Inovasi Keuangan Digital (IKD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono mengatakan kredit macet yang dialami sejumlah penyelenggara keuangan digital (fintech) dapat diatasi dengan kerja sama antara asosiasi dan juga regulator.

Menurut Triyono, dalam POJK No 13/2018 telah mengakomodir hal-hal yang harus dilakukan oleh regulator maupun pelaku fintech. Salah satunya, katanya, dengan supervisory technology (SupTech).

"Intinya supertech itu adalah sebuah sistem yang bisa menciptakan otomatisasi, katakanlah dalam hal reporting, mereka akan bisa melaporkan kepada kami secara langsung," katanya.

Dia melanjutkan, kerja sama juga diperlukan dengan memanfaatkan asosiasi keuangan digital sebagai penyelenggara untuk melakukan pengawasan.

"Kemudian kami juga terapkan market conduct system, artinya kami menggunakan asosiasi sebagai kepanjangan tangan OJK untuk melakukan pengawasan," ujarnya.

Lebih lanjut, Triyono mengungkapkan, sudah ada sejumlah proposal asuransi yang masuk untuk menjamin kelancaran dalam dunia usaha keuangan digital dan menghindari fintech dari kerugian besar akibat kredit macet.

Ia mengatakan, Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia atau Perum Jamkrindo sudah menyatakan keinginannya untuk terjun dalam dunia fintech.

"Kalau yang peer to peer lending (p2p) saya kira sudah ada beberapa proposal terkait itu. Asuransi sudah bisa masuk dan Jamkrindo sudah bisa masuk tentunya dangan syarat-syarat tertentu," tuturnya. 

Berita Lainnya
×
tekid