sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menagih komitmen perbankan biayai proyek berkelanjutan

Pembiayaan untuk program ekonomi hijau memang meningkat namun pembiayaan energi kotor belum berkurang.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Kamis, 16 Feb 2023 14:43 WIB
Menagih komitmen perbankan biayai proyek berkelanjutan

Pada 2021 lalu, Kementerian Keuangan mengungkapkan, total kebutuhan biaya dalam rangka mitigasi perubahan iklim sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) mencapai Rp3.779 triliun. Perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk periode 2020-2030 tersebut dibuat berdasarkan referensi dari peta jalan NDC Mitigasi Indonesia yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020.

Di mana dari referensi itu pemerintah memfokuskan kebutuhan dana pada lima sektor yang dapat berkontribusi banyak untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), di antaranya sektor kehutanan Rp93,28 triliun, energi dan transportasi Rp3.500 triliun. Kemudian, sektor industri Rp0,92 triliun, pertanian Rp4,04 triliun, dan pengelolaan limbah Rp181,4 triliun.

Namun, berdasarkan Third Biennial Update Report (BUR) yang diterbitkan 20 Desember 2021 lalu, total dana yang dibutuhkan untuk mencapai target pengurangan emisi GRK sebesar 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan internasional pada 2030 membengkak jadi Rp4.002 triliun.

“Biaya pengurangan C02 dari sektor kehutanan mencapai Rp309,1 triliun, sektor energi Rp3.500 triliun, industri Rp0,93 triliun, limbah Rp185,27 triliun, dan sektor pertanian Rp7,23 triliun,” papar Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dewanthi dalam Laporan Akhir Third BUR, dikutip Alinea.id, Senin (13/2).

Sayangnya, di balik kebutuhan pendanaan yang jumbo untuk memitigasi dampak perubahan iklim ini, alokasi pembiayaan ketahanan iklim nasional dinilai masih tertinggal. Hingga saat ini, kebanyakan dana program pembangunan rendah karbon dialokasikan ke sektor energi dan transportasi.

Pada tahun 2019-2020, sebagian besar pendanaan untuk aksi iklim dalam bentuk utang. Sedangkan pendanaan iklim yang dianjurkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) melalui instrumen-instrumen berbentuk hibah atau pinjaman berbunga rendah justru masih sangat rendah.

Ilustrasi Pixabay.com.

“Meskipun terdapat tren positif pada pembiayaan adaptasi, namun secara keseluruhan pendanaan yang ada masih sangat jauh dari yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim saat ini dan masa depan,” kata Plt Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Vivi Yulaswati dalam Kick-off Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (KLHS RPJPN) Tahun 2025-2045, Kamis (26/1) lalu.

Sponsored

Padahal, peningkatan pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim jelas diperlukan. Tidak hanya oleh pemerintah, namun juga dengan bantuan dunia usaha. Sebabnya, target baru pengurangan emisi GRK menjadi 32% melalui upaya sendiri dan 43% dengan dukungan internasional. Plus, target net zero emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat.

Deputi Direktur The Prakarsa Victoria Fanggidae bilang, peran lembaga jasa keuangan (LJK) dalam hal ini perbankan sangat penting dalam mencapai target-target mitigasi perubahan iklim ini. Pasalnya, perbankan lah yang yang banyak memberikan kredit atau pembiayaan kepada usaha-usaha besar di tanah air.

“Sebenarnya telah banyak inisiatif sukarela bank terkait perubahan iklim, OJK dan Bank Indonesia juga sudah mendorong agar industri perbankan bisa menuju pada praktik pembangunan berkelanjutan dan mencapai target-target yang telah ditetapkan oleh komunitas global dan Indonesia,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (15/2).

Perlu diketahui, untuk mendukung agenda NZE, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan berbagai kebijakan, mulai dari menerbitkan roadmap (peta jalan) keuangan berkelanjutan, merilis Peraturan OJK (POJK) dan aturan turunan terkait keuangan berkelanjutan, hingga yang terbaru meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia (THI) pada awal tahun 2022.

OJK mencatat, total pembiayaan berkelanjutan atau green financing yang disalurkan perbankan nasional hingga Desember 2020 mencapai Rp809, 75 triliun. Pada semester-I 2022, total portofolio kredit hijau perbankan bahkan telah mencapai Rp762,7 triliun.

“Sampai akhir tahun 2022, realisasinya sudah melebihi target yang sebesar Rp746,68 triliun untuk penyaluran kredit atau pembiayaan kegiatan usaha berkelanjutan,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (14/2).

Prinsip-prinsip penerapan keuangan berkelanjutan

1. Prinsip investasi bertanggungjawab
2. Prinsip strategi dan praktik bisnis berkelanjutan
3. Prinsip pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup
4. Prinsip tata kelola
5. Prinsip komunikasi yang informatif
6. Prinsip inklusif
7. Prinsip pengembangan sektor unggulan prioritas
8. Prinsip koordinasi dan kolaborasi

Sumber: POJK Nomor 51 Tahun 2017

Terus meningkat

Dengan hadirnya berbagai proyek hijau yang bertujuan untuk percepatan transisi demi mencapai NDC dan NZE nasional, pembiayaan hijau oleh perbankan pun diperkirakan akan terus mengalami peningkatan. Hal ini pun diamini Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah.

“Di Indonesia, munculnya bursa karbon saya rasa akan diikuti dengan proyek-proyek hijau. Dengan munculnya proyek-proyek ramah lingkungan ini kan jelas butuh pendanaan atau pembiayaan yang hijau juga, yang mana ini bisa disediakan oleh perbankan,” kata Piter, kepada Alinea.id, Senin (13/2).

Tren meningkatnya pembiayaan hijau pun sudah dapat dilihat dari terus tumbuhnya kredit berkelanjutan atau pembiayaan-pembiayaan yang mengedepankan prinsip ESG (Environmental, Social and Governance) alias LST (Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola) yang disalurkan oleh bank-bank nasional.

Manager Program The Prakarsa Herni Ramdlaningrum mengakui, pembiayaan berkelanjutan oleh perbankan nasional memang mengalami kenaikan. Namun, komitmen transisi belum sepenuhnya diikuti dengan ambisi untuk segera keluar dari pembiayaan ke industri yang memicu perubahan iklim.

“Perbankan nasional memang sudah menyalurkan pembiayaan kepada sektor hijau, tapi di  sisi lain mereka juga masih menyalurkan kredit ke perusahaan-perusahaan batu bara atau sektor-sektor usaha yang masih menggunakan energi fosil,” katanya, kepada Alinea.id, Rabu (15/2).

Meningkatnya pembiayaan berkelanjutan tanpa diikuti oleh upaya untuk phase out atau menghentikan sepenuhnya pembiayaan untuk sektor energi kotor jelas menimbulkan kontradiksi dan pertanyaan tentang bagaimana kredibilitas komitmen lembaga keuangan dalam mendukung aksi perubahan iklim. 

“Manajemen portofolio yang mengedepankan tujuan iklim perlu diperbaiki, karena dapat meningkatkan ketahanan dan daya saing lembaga keuangan dalam jangka panjang,” imbuhnya.

Sementara itu, Climate Policy Indonesia (CPI) pernah menyebutkan, bahwa di tingkat ASEAN, Indonesia merupakan negara yang membutuhkan pendanaan hijau terbesar. Dengan perkiraan biaya mencapai US$247 miliar untuk mencapai target NDC yang sebesar 29% di 2030. Namun, dari target tersebut hanya US$13,2 miliar yang tersalurkan oleh pembiayaan swasta antara 2015-2018.

“Ini menunjukkan bahwa Indonesia harus segera memobilisasi pendanaan untuk mencapai NDC-nya,” kata Herni.

Pembiayaan energi kotor

Pemerintah dan OJK dalam hal ini pun dinilai perlu lebih tegas untuk mendorong partisipasi perbankan dalam meningkatkan pembiayaan hijau. Selama ini, Peneliti Senior dari Perkumpulan Prakarsa ini justru melihat kebijakan yang dibuat OJK untuk menggenjot pembiayaan hijau dari sektor perbankan justru masih kurang tegas. 

Dalam Taksonomi Hijau Indonesia misalnya, otoritas masih mengklasifikasikan sektor pertambangan batu bara ke dalam kategori kuning yang artinya tidak berbahaya. Hal ini jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam COP 26 dan target NZE 2060 yang berniat menghentikan penggunaan batu bara sebagai sumber energi.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Foto Pixabay.com.

“Taksonomi hijau sayangnya tidak mendorong bank atau lembaga pembiayaan untuk melaporkan portofolio emisi yang tinggi, seperti batu bara dan gas,” jelas Program Manager Trend Asia Andri Prasetiyo kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Padahal penting bagi perbankan untuk segera bergerak keluar dari investasi batu bara secara keseluruhan. Baik dalam pembiayaan perusahaan yang masih memiliki batu bara dalam portofolionya maupun pembiayaan segala bentuk proyek batu bara.

Tak heran, dengan taksonomi hijau 1.0 ini masih banyak bank-bank nasional yang menyalurkan pembiayaan ke sektor batubara. Seperti terlihat dalam Laporan Pendanaan Bank Nasional untuk Industri Energi Kotor Batubara yang dirilis koalisi kelompok masyarakat sipil #Bersihkan Bankmu dan 350 Indonesia. Empat bank besar (Mandiri, BCA, BRI, dan BNI) telah memberikan pinjaman langsung atau dukungan lain yang membantu perusahaan batu bara mendapatkan pinjaman, baik dari bank lain maupun investor dengan total nilai US$3,5 miliar dalam jangka waktu 2015-2021.

Di mana bank yang paling banyak menyalurkan kredit kepada perusahaan yang bergerak di sektor energi kotor ialah Bank Mandiri, yakni sebesar US$3,19 miliar. Diikuti oleh Bank BCA dengan total pendanaan senilai US$170,46 juta, BRI sebesar US$122,52 juta, dan BNI US$53,36 juta.

“Dengan dukungan pendanaan dari perbankan dan kebijakan dari pemerintah, perusahaan batu bara di Indonesia masih akan akan terus melakukan ekspansi yang menimbulkan emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim,” tutur Finance Campaigner 350 Indonesia Suriadi Darmoko, kepada Alinea.id, Selasa (14/2).

Saat ini, perbankan memang sudah semakin keras menyerukan peningkatan pembiayaan ke sektor hijau. Namun, di sisi lain pembiayaan kepada sektor energi kotor juga masih terus berjalan. “BNI contohnya, selama ini mengaku sebagai pelopor green bank, tapi masih mendanai energi kotor, meskipun ya memang sudah dikurangi alokasi penyaluran kreditnya,” imbuhnya.

Sementara itu, menurut Suriadi, jika memang berniat untuk menjalankan transisi ke energi bersih dan mencapai target NDC dan NZE, bank-bank nasional seharusnya dapat mengikuti bank besar global seperti Standard Chartered dan DBS yang telah berhenti mendanai batu bara. Di saat yang sama, bank pun perlu membuat peta jalan bagi penghentian pinjaman ke energi kotor secara total dan transisi pendanaan ke energi terbarukan.

Pemerintah di sisi lain, seharusnya dapat membuat kebijakan yang mengarahkan Indonesia pada pemenuhan target dalam Kesepakatan Paris, termasuk mengurangi bahkan menghentikan penggunaan batu bara untuk keperluan kelistrikan. “OJK juga harus memberikan panduan tegas agar perbankan Indonesia tidak lagi membiayai perusahaan batu bara,” tegasnya.

Ilustrasi tambang batu bara. Pixabay.com.

Pada kesempatan lain, Pengamat Perbankan Binus University Doddy Ariefianto menilai, komitmen perbankan untuk menyalurkan pendanaan kepada perusahaan atau sektor usaha yang telah menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social and Governance) sudah cukup banyak. Bahkan, tren pembiayaan ke sektor hijau pun terus mengalami peningkatan. Namun, meningkatkan pendanaan kepada sektor energi terbarukan sebenarnya bukan hal yang mudah.

“Karena di negara berkembang seperti Indonesia, teknologi dan finansial untuk memanfaatkan energi ramah lingkungan belum matang dan masih mahal. Jadi, bagi bank pun sebenarnya dilematis kalau harus menghentikan sepenuhnya pendanaan kepada batubara,” jelas Doddy, saat dihubungi Alinea.id, Senin (13/22).

Hal ini pun diamini pula oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae. Menurutnya, bahan baku untuk energi bersih seperti PLTS Atap yang masih impor, kurangnya tenaga ahli di proyek hijau, hingga rumitnya aspek teknikal membuat biaya akuisisi energi hijau masih sangat mahal di Indonesia. 

Dengan kondisi ini, industri jelas tidak akan bisa mendulang untung banyak, mengingat permintaan dari energi bersih yang juga masih terbatas. Hal ini pun tentu bakal membuat perbankan akan berpikir lebih dalam untuk menghentikan pendanaan kepada sektor emas hitam.

“Selain itu juga jangka waktu pengembalian (return) untuk pembiayaan di energi bersih juga cukup panjang. Dengan besarnya investasi awal dan ketidakpastian teknologi, ini bisa saja berdampak pada risiko operasional,” jelasnya.

Terpisah, Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto mengungkapkan dalam hal perkreditan, BRI telah memiliki kebijakan kredit sub-sektor yang bertujuan untuk memitigasi risiko-risiko kredit yang berkaitan dengan lingkungan, sosial, dan tata kelola, yaitu sub-sektor kelapa sawit dan pulp & paper.

“Sampai dengan Desember 2022, tercatat BRI telah menyalurkan kredit kepada kegiatan usaha berkelanjutan sebesar Rp694,9 Triliun, atau setara dengan 67,5% dari total portofolio kredit BRI,” kata Catur, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Rabu (15/2).

Foto Reuters

Dari sisi pendanaan, sejak 2019-2022, perseroan juga telah berhasil menghimpun dana dari penerbitan Sustainability Bond. Di mana dana ini telah disalurkan dalam bentuk kredit ke sektor hijau sebesar 25,7% dan ke sektor sosial sebesar 74,3%. Selain itu, di tahun 2022, BRI menerbitkan Green Bond senilai Rp5 triliun, yang dananya disalurkan ke sektor hijau sedikitnya 70%, dan selebihnya ke sektor sosial.

Sebagai upaya mendukung pencapaian Net Zero Emission Targets Indonesia, BRI telah melakukan berbagai inisiatif, dimulai dari perhitungan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020, mencakup emisi pada Scope 1, Scope 2, dan sebagian Scope 3. Pada tahun 2022, BRI bergabung ke dalam kerja sama global (global partnership) yaitu PCAF (Partnership for Carbon Accounting Financials) demi menyempurnakan perhitungan emisi perusahaan dengan menyertakan perhitungan financed emissions, yaitu emisi tidak langsung yang berasal dari perusahaan-perusahaan yang mendapat pembiayaan dari BRI.

Selain BRI, upaya penghitungan emisi juga telah dilakukan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Hal ini terlihat pada periode pelaporan 2022, di mana bank dengan kode emiten BBNI ini telah melakukan penyesuaian metodologi perhitungan dalam hal klasifikasi sumber emisi untuk menghitung emisi khususnya scope 3 yang meliputi, perjalanan dinas darat, perjalanan dinas udara, dan emisi pembiayaan dengan mengadopsi metodologi dari PCAF.

Di saat yang sama, BNI juga mulai menghitung emisi pembiayaan untuk debitur segmen menengah dan korporasi, yaitu sektor perkebunan perkebunan, industri turunan produk perkebunan, pertambangan dan perdagangan komoditas, industri pengolahan, industri perdagangan, pulp and paper, konstruksi, hingga PLTU.

“Di dalam peta jalan ESG, BNI akan menghitung emisi GRK Scope 1 dan 2 untuk seluruh kantor BNI hingga kantor cabang pembantu (KCP) di seluruh Indonesia, yang saat ini sedang dilakukan penyusunan pedoman dan format pengumpulan data sumber emisi agar ke depan perhitungan emisi dapat dilakukan lebih detail dan presisi," jelas Corporate Secretary BNI Okki Rushartomo, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Sabtu (11/2).

 

 

Berita Lainnya
×
tekid