sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Omnibus law bakal hapus upah minimum hingga uang pesangon?

Serikat pekerja menyebut omnibus law merupakan cara untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja. 

Laila Ramdhini
Laila Ramdhini Senin, 30 Des 2019 19:05 WIB
Omnibus law bakal hapus upah minimum hingga uang pesangon?

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan omnibus law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, omnibus law merupakan cara untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan, berdasarkan pernyataan Menteri Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan, KSPI mencatat setidaknya ada lima hal mendasar yang disasar omnibus law.  

Pertama, menghilangkan upah minimum untuk pekerja. Hal ini, kata Said, terlihat dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum. 

Padahal, dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

"Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," kata Said dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (30/12)/

Kedua, menghilangkan pesangon. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang besarnya mencapai 6 bulan upah. 

Terkait hal ini, Said Iqbal mengatakan, bahwa di dalam UU No 13 Tahun 2003; sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang kena PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 16 bulan upah. Selain itu,  mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15% dari toal pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.

"Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 36 bulan upah lebih," ujarnya.

Sponsored

Ketiga, fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing diperluas. Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja. 

Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, kata Said, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa dioutsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas.  

"Kita menafsirkan, istilah fleksibilitas pasar kerja adalah tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini, outsourcing dibebaskan di semua lini produksi," kata pria yang juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) itu.

Keempat, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi tenaga kerja asing  (TKA) unskill. Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. 

Selain itu, waktunya dibatasi misalnya 3 – 5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Selain itu harus ada transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan si TKA tadi. 

Namun sayangnya, kata Said, dalam omnibus law ada wacana, semua persyaratan tadi dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia.  

Kelima, jaminan sosial terancam hilang. Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Menurut Said, hal ini akibat dari adanya sistem kerja yang fleksibel tadi. Sebagaimana kdiketahui, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.

"Mencermati wacana omnibus law, tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ini adalah bagian untuk menghilangkan kesejahteraan para pekerja. Oleh karena itu, ini bukan hanya permasalah pekerja. Tetapi juga permasalahan seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.

Dongkrak investasi dan lapangan kerja

Di sisi lain,  Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan penerapan skema pembayaran upah per jam dalam RUU omnibus law akan mendorong peningkatan investasi yang sekaligus membawa dampak terhadap penciptaan lapangan kerja. 

Menurut Agus, sistem upah yang dihitung per jam bukanlah hal yang baru dalam dunia tenaga kerja. Sebab, sejumlah negara sudah menggunakan skema tersebut. 

Dilansir dari situs World Population Review, ada sepuluh negara memberikan upah per jam dengan nilai besar. Kesepuluh negara itu, yakni Luksemburg, Australia, Prancis, Selandia Baru, Jerman, Belanda, Belgia, Inggris, Irlandia, dan Kanada.

Agus menegaskan, untuk sektor industri, akan tetap mengikuti pola gaji minimum bulanan. Namun, sektor penunjang industri, seperti sektor jasa dan perdagangan dapat memanfaatkan penerapan upah per jam. 

“Jadi, penerapan gaji per jam ini untuk pekerja jasa dan pekerja paruh waktu. Misalnya konsultan. Skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Senin (30/12).
 

Berita Lainnya
×
tekid