sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Omnibus Law dinilai tidak pro pembangunan berkelanjutan

Omnibus Law dinilai hanya menyederhanakan regulasi tanpa memperhitungkan aspek ekonomi dan lingkungan.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Selasa, 21 Jan 2020 10:15 WIB
Omnibus Law dinilai tidak pro pembangunan berkelanjutan

Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law terkesan terburu-buru. Bahkan, dikhawatirkan tidak mengakomodir semua aspek penting terkait industri tambang berkelanjutan.

Maryati mengatakan di dalam UU Omnibus Law tercantum pasal-pasal yang terkait kemudahan perizinan pertambangan. Dia khawatir, UU Omnibus Law hanya mengakomodir kemudahan bisnis, bukan mengedepankan keberlanjutannya.

"Jadi khawatir kalau pembahasannya terburu-buru hanya sekedar entry to bisnis, tapi bukan sustainability business," katanya di Balai Kartini, Jakarta, Senin (20/1).

Padahal, kata Maryati, untuk jangka panjang yang perlu diperhatikan yakni kesiapan berbagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap penyederhanaan regulasi pertambangan di UU Omnibus Law yang baru.

"Long life untuk sustainability business itu adalah dengan kelembagaan yang kuat, environment investasi yang kuat, termasuk kesiapan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Bukan hanya asal cepat," ucapnya.

Selain itu, menurut dia, yang harus menjadi perhatian pemerintah selain mempermudah perizinan adalah memperhatikan fungsi sosial masyarakat.

Hal ini, katanya, terkait dengan keselamatan lingkungan tempat tinggal masyarakat di area pertambangan. Dengan mempermudah izin, lanjutnya, akan membuka lebar pintu masuk tambang yang berbahaya bagi lingkungan.

"Saya harap pemerintah tidak menyingkirkan fungsi-fungsi sosial masyarakat dan lingkungan hidup, karena itu menjadi kekhawatiran bersama," terangnya.

Sponsored

Maryati pun menuturkan, jika aspek lingkungan tersebut tidak menjadi perhatian khusus pemerintah, maka dalam 10 tahun mendatang, bukan transformasi ekonomi yang akan dicapai pemerintah tapi jebakan ekonomi.

"Kalau Indonesia mengabaikan dalam hal-hal seperti itu, dalam 5-10 tahun ke depan bukan melakukan transformasi ekonomi, tapi trap ekonomi. Mungkin itu perlu dilihat dengan baik," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid