sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rahasia di balik gaduh Erick Thohir ihwal Telkom dan Telkomsel

Pernyataan Erick Thohir untuk 'menghilangkan' Telkom disinyalir syarat kepentingan bisnis pejabat di kabinet.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Selasa, 18 Feb 2020 07:07 WIB
Rahasia di balik gaduh Erick Thohir ihwal Telkom dan Telkomsel

Sindiran Menteri Badan Usaha Milik Negera (BUMN) Erick Thohir menyoal kinerja PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) yang kurang moncer menimbulkan banyak respons di kalangan investor.

Erick ketika itu (12/2) menyebut bahwa Telkom sebagai induk terlalu bergantung kepada anak usahanya, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel). Nyaris 70% penghasilan Telkom, kata dia, disumbang oleh Telkomsel.

“Enak di Telkom, Telkomsel dividen, revenue Telkomsel digabung ke Telkom hampir 70%, mendingan enggak ada Telkom, mending Telkomsel langsung dimiliki Kementerian BUMN, dividennya jelas,” terang Erick seperti disadur Tempo.co di Menara Mandiri, Jakarta, Rabu (12/2).

Sebagian pihak menilai bahwa pernyataan Erick tidak pantas karena Telkom merupakan perusahaan publik yang setiap gerak-geriknya selalu menjadi sorotan investor. Dan sudah barang tentu, apa yang disampaikan Erick itu akan berdampak pada pergerakan harga saham Telkom di lantai bursa.

Terbukti, pascasindiran Erick itu, kinerja saham bersandi TLKM ini mulai turun secara gradual. Selama dua hari berturut-turut, 13-14 Februari 2020, pergerakan saham Telkom merosot 90 poin atau turun 2,4%.

Bukan tidak mungkin, pelemahan ini bakal terus berlanjut mengingat sentimen yang ditimbulkan akibat pernyataan Erick belum diketahui secara luas oleh investor. Hal tersebut diakui pengamat pasar modal sekaligus Direktur Anugerah Investama Hans Kwee.

Menurut Hans, saat ini pasar masih terlihat adem ayem karena sebagian besar investor belum mengetahui isu yang disampaikan Erick. Bisa jadi, kata dia, ke depannya akan terjadi pelemahan lebih dalam atau justru penguatan. Tergantung pasar mencernanya.

“Kalau sekarang sih mungkin belum banyak yang tahu ya. Enggak tahu nanti kalau sudah tahu. Pasti pasar akan mencerna soal pernyataan itu. Untung enggak mereka. Tapi kalau sejauh ini sih, saya enggak melihat pasar panik,” kata Hans saat dihubungi Alinea.id, Kamis (13/2).

Sponsored

Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira justru menilai, pernyataan mantan bos Inter Milan itu bagus bagi korporasi. Hal ini, menurut dia, akan menyentil para direksi untuk bisa segera melakukan transformasi bisnis supaya Telkom mampu menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan dengan anak usahanya.

“Saya setuju sama Pak Erick ya. Maksudnya begini, dengan anak usahanya yang lebih bagus Telkomsel, seharusnya Telkom malu. Dan sebagai induknya seharusnya melakukan transformasi untuk melakukan efisiensi, untuk melakukan inovasi bisnis begitu ya,” terang Bhima pekan lalu.

Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Menteri BUMN Erick Thohir saat peresmian landasan pacu tiga Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta), East Connection Taxiway (ECT), terminal tiga dan gedung VIP Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, Kamis (23/1). / Antara Foto

Salah kaprah Erick Thohir

Namun di balik itu, Bhima berupaya mengingatkan supaya Erick tidak terburu-buru untuk mengambil keputusan meniadakan Telkom dan menggantikannya dengan Telkomsel. Sebab, perubahan yang disampaikan Erick itu tidak mudah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Untuk itu, lanjut dia, sebaiknya Erick mempertimbangkan untuk merombak jajaran direksi terlebih dahulu mengingat waktu pembahasan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sudah dekat.

“Kalau saya lihat transformasi dari Telkomsel yang cukup bagus, maka direksi dan orang-orang di Telkomsel seharusnya sebagian bisa dibagi ke induk Telkomnya, sehingga Telkomnya juga bisa ikut bertransformasi. Itu saja dulu sih,” tambahnya.

Selain itu, jika dilihat secara struktur, perubahan Telkomsel menjadi induk usaha BUMN juga disinyalir malah akan menyulitkan perusahaan dalam melakukan akselerasi bisnis.

Pasalnya, dalam Undang-Undang (UU) 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara tercatat bahwa setiap perusahaan BUMN perlu mendapatkan restu lebih dulu dari menteri, dewan pengawas, komisaris, dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk menggunakan laba ataupun asetnya bagi keperluan bisnis.

Sebaliknya, jika Telkomsel menjadi anak usaha, mereka bisa lebih leluasa dalam mengembangkan bisnisnya atau berinovasi ke berbagai lini. Hal ini memungkinkan, karena Telkomsel tidak terikat oleh peraturan berbelit seperti halnya BUMN.

Lagipula, jika betul Erick ingin menjadikan Telkomsel sebagai BUMN, artinya negara harus membeli terlebih dahulu 35% saham Telkomsel yang dimiliki oleh Singapore Telecome Mobile Pte. Ltd. Dengan total aset Rp85,6 triliun yang dimiliki Telkomsel per September 2019, maka pemerintah setidak-tidaknya harus mengeluarkan dana Rp29,6 triliun untuk membeli Telkomsel.

Biaya itu belum ditambah dengan perhitungan book value dan nilai valuasi perusahaan yang diperkirakan juga cukup mahal. Masalahnya, mampu atau tidak Indonesia membeli Telkomsel dengan harga setinggi itu.

“Dengan performa Telkom yang terus menurun, pertanyaannya emang punya duit untuk membeli sahamnya Telkomsel yang dimiliki asing, atau di luar pemerintah? Janji buy back Indosat saja enggak mampu, kok,” tutur Ekonom Indef Enny Sri Hartati saat berbincang dengan reporter Alinea.id secara terpisah.

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khoeran menambahkan, pembagian dividen yang lebih besar dari anak usaha BUMN juga tidak serta merta bisa menjadikan Telkomsel sebagai induk perusahaan. Justru, kata dia, yang terbaik adalah dengan mengembangkan inovasi baru di tubuh Telkom supaya sang induk bisa memberikan lebih banyak kontribusi.

“Kalau bisnis di bidang selular ini lebih baik, dan memberikan keuntungan bukan kemudian dia (Telkomsel) bisa serta merta menjadi induk perusahaan, tapi bagaimana bisa melahirkan produk-produk baru, yang itu bisa memberikan penghasilan lebih besar buat Telkom,” katanya pada kesempatan berbeda.

Sebagai informasi, Komisi VI DPR RI membidangi perindustrian, perdagangan, koperasi usaha kecil menengah (UKM), BUMN, investasi, dan standardisasi nasional. Kementerian BUMN merupakan mitra dari Komisi VI DPR.

Komisaris PT Merdeka Copper Gold Tbk (Perseroan) (MDKA) Garibaldi Thohir (kedua kiri), menunjuk Komisaris Independen yang baru Budi Bowoleksono (ketiga kiri), disaksikan Komisaris Heri Sunaryadi (kiri), Presiden Direktur Tri Boewono (keempat kiri), Komisaris yang digantikan Sakti Wahyu Trenggono (keempat kanan), Direktur Hardi Wijaya Liong (ketiga kanan), Direktur Independen Chrisantus Supriyo (kedua kanan) dan Direktur Michael Soeryadjaya, sebelum Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa MDKA, di Jakarta, Senin (13/1). Selain menyetujui penunjukkan Budi Bowoleksono menjadi Komisaris Independen menggantikan Mahendra Siregar dan Sakti Wahyu Trenggono yang mengundurkan diri karena ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Wakil Menteri Luar Negeri dan Wakil Menteri Pertahanan, RUPSLB MDKA juga menegaskan dan menyatakan kembali keputusan RUPSLB terdahulu atas rencana penambahan modal melalui mekanisme rights issue dan private placement dengan telah berlakunya nilai nominal baru yang merupakan hasil dari Stock Split. / Antara Foto

Konflik kepentingan

Di sisi berbeda, sindiran Erick kepada Telkom juga disinyalir syarat kepentingan bisnis. Seperti diketahui, pada April 2019 lalu, kakak kandung Erick Thohir, yakni Garibaldi ‘Boy’ Thohir telah menyuntikkan dana besar ke PT Hutchison 3 Indonesia (Tri Indonesia) melalui skema penyerapan saham hasil penerbatan saham baru (rights issue) perseroan senilai Rp47 triliun.

Tri Indonesia bermain di bisnis yang sama dengan Telkomsel sebagai penyedia jaringan seluler. Ekspansi bisnis Tri menjadi lebih leluasa dengan kucuran dana segar tersebut.

Masih di dalam tubuh BUMN, juga ada nama Arya Sinulingga yang menjadi Staf Khusus (Stafsus) Kementerian BUMN. Nama Arya terafiliasi dengan Grup MNC milik Hary Tanoesoedibjo.

Arya sempat menjabat sebagai Direktur Holding PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNCN) sebelum akhirnya bergabung sebagai Stafsus di Kementerian BUMN. Tidak hanya Arya, ada nama putri Hary Tanoe, yakni Angela Tanoesoedibjo yang menjabat sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Kabinet Indonesia Maju.

Salah satu anak usaha MNC, yakni MNC Play bermain di sektor yang sama dengan lini bisnis Telkom, yaitu IndiHome. Keduanya sama-sama bermain di bisnis fiber optik dan TV berlangganan.

Selain itu, dari sisi kabinet juga ada nama Wahyu Sakti Trenggono, Wakil Menteri Pertahanan yang terafiliasi dengan perusahaan menara pemancar, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG). ‘Mas Treng’ begitu dirinya disapa bahkan dikenal sebagai ‘Raja Menara’ di Indonesia.

Pada 2015 silam, PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) anak usaha dari Telkom sempat berencana untuk melakukan tukar guling saham (share swap) dengan TBIG. Alasannya kala itu, industri menara di Indonesia sudah hiperkompetisi dan lokasi menara saling tumpang tindih.

Untuk menyelesaikan persoalan itu maka diperlukan aksi tukar saham dengan TBIG supaya kinerja perusahaan menara bisa lebih maksimal. Meski pada akhirnya, rencana tersebut dibatalkan karena tidak mendapatkan persutujuan dari komisaris.

Ilustrasi Telkom. / Facebook @TelkomIndonesia

Kinerja Telkom

Terlepas dari ada atau tidaknya kepentingan bisnis terkait rencana peniadaan Telkom dan menjadikan Telkomsel sebagai BUMN tersebut, kinerja Telkom selama tiga tahun terakhir memang tidak ciamik.

Pada 2018, laba bersih Telkom hanya menyentuh angka Rp18,03 triliun, melorot 18% dari tahun sebelumnya yang berada di angka Rp22,14 triliun. Pun demikian dengan pertumbuhan pendapatan perseroan yang tidak sampai dobel digit.

Tercatat pertumbuhan pendapatan perseroan pada 2018 hanya terungkit tipis 1,5% dari Rp128,25 triliun menjadi Rp130,78 triliun. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan pada periode 2016-2017 yang naik 8,6% dari Rp116,33 triliun.

Pada 2019, pertumbuhan pendapatan Telkom sedikit membaik dengan peningkatan 3% dari Rp99,03 triliun per September 2018 menjadi Rp102,63 triliun di periode yang sama 2019. Sementara dari sisi laba tahun berjalan di triwulan tiga, performa Telkom menanjak dengan pertumbuhan 14% dari Rp14,23 triliun menjadi Rp16,459 triliun.

Sementara itu jika dihitung secara lima tahunan mulai dari 2014 - September 2019, baik pertumbuhan laba maupun pertumbuhan pendapatan, Telkom justru terbenam di angka singel digit. Pertumbuhan pendapatan Telkom lima tahun terakhir hanya terkerek tipis 8,3%, sedang pertumbuhan labanya merangkak 8,8%.

Pada periode lima tahunan juga, sejak 12 Februari 2016–14 Februari 2020 harga saham Telkom berhasil tumbuh sebesar 17,53% dari Rp3.285 per lembar saham menjadi RpRp3.640 per lembar saham. Saat ini, kapitalisasi pasar saham TLKM mencapai Rp357,61 triliun.

Infografik syarat kepentingan pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir. Alinea.id/Oky Diaz Fajar

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid