sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rupiah anjlok terlemah sejak 2015 ke level Rp14.662/US$. Berbahayakah?

Meski kurs rupiah anjlok terlemah sejak September 2015 ke level Rp14.662 per dollar Amerika Serikat, Bank Indonesia menilai masih terkendali

Cantika Adinda Putri Noveria Eka Setiyaningsih
Cantika Adinda Putri Noveria | Eka Setiyaningsih Sabtu, 25 Agst 2018 02:02 WIB
Rupiah anjlok terlemah sejak 2015 ke level Rp14.662/US$. Berbahayakah?

Meski kurs rupiah anjlok terlemah sejak September 2015 ke level Rp14.662 per dollar Amerika Serikat, Bank Indonesia menilai masih terkendali.

Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sejak awal tahun telah mencapai 8,07% year-to-date (ytd). BI mencatat, pelemahan rupiah masih lebih baik bila dibandingkan dengan negara-negara emerging market lain, bahkan jauh lebih rendah dari 2013 dan 2015.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, depresiasi rupiah sebesar 8% nyaris sama dengan peso Filipina. Bahkan, depresiasi rupiah lebih rendah dari rupee India yang terkoreksi 9% ytd.

"Kalau kita lihat masalah stabilisasi nilai tukar itu, jangan hanya dilihat dari rupiahnya sendiri. Tapi, bandingkan dengan negara lain juga. Sehingga stabilitas nilai tukar, kami sampaikan year to date-nya itu relatif lebih rendah dengan negara lain," kata Perry saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (24/8). 

Dia menjelaskan, pengerekan suku bunga acuan BI 7-days reverse repo rate (BI 7DRRR) menjadi instrumen untuk menarik pasar keuangan. Kebijakan itu telah menumbuhkan masuknya dana asing, khususnya pada Surat Berharga Negara (SBN) jangka panjang.

"Pemerintah bersama BI akan terus melakukan langkah-langkah stabilisasi," tegas Perry. 

Dikutip dari Bloomberg, pada perdagangan akhir pekan di pasar spot, Jumat (24/8), kurs rupiah ditutup melemah 0,08% sebesar 11 poin ke level Rp14.648,5 per dollar AS. 

Sepanjang hari, rupiah diperdagangkan pada rentang Rp14.648,5-Rp14.662 per dollar AS. Bahkan, rupiah menyentuh level tertinggi dalam setahun terakhir dan sejak September 2015 yang pernah bertengger pada level Rp14.693 per dollar AS.

Sponsored

Di pasar spot, rupiah telah terdepresiasi 8,07% ytd. Selama 52 pekan, rupiah tercatat bergerak pada rentang Rp13.126-Rp14.662 per dollar AS.

Sementara, kurs referensi Jakarta Interbank spot dollar rate (Jisdor), rupiah berada pada level Rp14.655 per dollar AS. Posisi itu melemah dari sebelumnya Rp14.620 per dollar AS.

Kendati demikian, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, pada Jumat (24/8) sore bergerak menguat sebesar 15 poin menjadi Rp14.630 dibanding sebelumnya Rp14.645 per dollar AS.

Proyeksi ke depan

Secara terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira, menilai untuk mengendalian moneter tidak hanya mengandalkan suku bunga acuan. Hal itu dapat berakibat pada ruang pengetatan moneter BI semakin terbatas. 

Dia menilai, jika BI terus menerus menaikkan suku bunga acuan, efek terhadap sektor ril bakal kurang baik. Di sisi lain, inflasi juga terbilang masih rendah. 

"Seharusnya bunga acuan merupakan respons terhadap naiknya inflasi agar tidak overheat ekonominya," ujar Bhima saat berbincang dengan Alinea.id belum lama ini. 

Bhima menyarankan pemerintah untuk menekan defisit transaksi berjalan, dan defisit perdagangan. Sejauh ini, kata dia, rencana pengendalian impor, baru sebatas wacana. Sedangan regulasi belum keluar. 

Pada kesempatan berbeda, Ekonom The Development Bank of Singapore (DBS) Group Research Radhika Rao, dalam risetnya menjelaskan alasan bank sentral mengerek suku bunga acuan adalah kecepatan depresiasi kurs rupiah dan kebutuhan untuk menahan ketidakstabilan pasar uang. 

Mata uang rupiah telah berada di bawah tekanan sejak awal tahun, dengan peningkatan penjualan yang terjadi pada pekan ini ketika krisis Turki terungkap. 

Selain menaikkan suku bunga acuan, BI pun melakukan intevensi di pasar valuta asing dan obligasi. Intervensi tersebut mengakibatkan cadangan devisa menjadi taruhannya. Terhitung sejak Januari hingga Juli 2018, cadangan devisa menguap hingga US$18 miliar dan saat ini tinggal US$118 miliar.

Di sisi lain, tekanan tidak hanya dari global. Dari domestik, melebarnya defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2018 yang mencapai 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), mengakibatkan tekanan pada rupiah semakin kuat.

Adapun, usaha yang terarah diberlakukan untuk menopang pasokan dollar AS melalui, pertama membatasi impor kapital dan mengganti dengan alternatif domestik.

"Kedua, badan usaha milik negara yang bergerak di bidang energi, PT Pertamina, telah ditetapkan sebagai pembeli utama untuk pasokan BBM lokal, dalam upaya untuk mengurangi permintaan impor BBM," ungkap Radhika.

Terakhir, yaitu mengambangkan penerbitan obligasi dollar AS juga telah didiskusikan, namun kemungkinan hanya menjadi upaya terakhir.

Dia menilai, ancaman hingga detik ini belum usai. Arah kebijakan Federal Reserve yang akan menaikkan suku bunga acuan hingga dua kali pada sisa tahun berjalan, memunculkan spekulasi BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan. 

Menurut dia, kenaikan suku bunga acuan pada Rabu lalu bukan akhir sikap agresif BI. Terlebih, memasuki tahun politik, diperkirakan pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM sehingga mengancam defisit transaksi berjalan di akhir 2018 semakin besar. Oleh karena itu, kenaikan suku bunga acuan menjadi jalan terakhir menyelamatkan rupiah.

 
Berita Lainnya
×
tekid