sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gastrodiplomasi RI: Saat rendang kalah pamor dibanding kimchi dan tom yam

Upaya pemerintah membangun kecintaan terhadap Indonesia lewat kuliner masih minim.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Rabu, 29 Jul 2020 12:12 WIB
Gastrodiplomasi RI: Saat rendang kalah pamor dibanding kimchi dan tom yam

Sembari rebahan di sofa, Caca Anastya asyik mengunyah makanan ringan. Sementara tangannya sibuk mengambil makanan, mata dara berusia 18 tahun itu terpaku pada layar televisi. Di layar, sebuah drama Korea sedang diputar. 

"Ini saya sudah makan," teriaknya kegirangan tatkala potongan scene dalam drama Korea itu menampilkan kimchi, makanan khas Korea yang rasanya super pedas.

Seperti kebanyakan generasi milenial Indonesia, Caca keranjingan K-Pop dan rajin menonton drama Korea. Kecintaan terhadap makanan Korea datang belakangan. 

"Tidak susah mencarinya (makanan Korea) karena di mal-mal besar pasti ada," ujar Caca saat berbincang dengan Alinea.id di kediamanya di kawasan Sunter, Jakarta Timur, Senin (27/7) sore.

Meski menyukai makanan Korea, Caca mengatakan, masakan Indonesia tetap nomor satu. Itulah kenapa ia mengambil jurusan manajemen kuliner di salah satu kampus di Jakarta. "Masakan kita itu kaya rasa. Enak dan gurih," kata Caca. 

Caca merupakan satu dari sekian banyak orang Indonesia yang "jatuh cinta" dengan negara asing karena familiar dengan budaya negara tersebut. Kecintaan Caca terhadap kuliner Korea bisa dikata merupakan buah kesuksesan gastrodiplomasi.  

Secara sederhana, gastrodiplomasi ialah 'tindakan memenangkan hati dan pikiran melalui perut'. Menurut pakar gastrodiplomasi Universitas Jember Agus Trihartono, gastrodiplomasi termasuk bagian dari soft power sebuah negara. 

"Kemampuan memenangkan hati dan pikiran publik internasional dengan memakai budaya di antaranya dengan kuliner atau yang dikenal sebagai gastrodiplomasi," kata Agus kepada Alinea.id saat dihubungi, Minggu (26/7) malam.

Sponsored

Menurut Agus, gastrodiplomasi ialah bagian dari diplomasi budaya dan diplomasi publik. Ia mencontohkan diplomasi publik yang sukses semisal branding Amerika Serikat sebagai negara demokrasi atau Jepang sebagai negara modern yang tetap memegang teguh kultur mereka. 

"Kecintaan pada negara lain ujuk-ujuk saja di kepala kita, baik lewat film, sepak bola, dan makanan. Itu kan soft power. Itu instrumen dari public diplomacy dan culture diplomacy," katanya.

Selain Korea Selatan, menurut Agus, sejumlah negara tetangga juga telah mempraktikan gastrodiplomasi sejak bertahun-tahun lalu. Ia mencontohkan Thailand dengan program Global Thai yang diluncurkan pada 2002. 

Lewat kampanye kuliner itu, Thailand mampu mendongkrak jumlah restoran dan mempopulerkan beragam makanan khas negara berjuluk Negeri Gajah Putih itu ke seluruh dunia. "Gara-gara ini juga dia berhasil merubah citra negaranya dari 3S: sex, sun, and sand. Dia ubah image itu," jelas Agus.

Ilustrasi pasar malam, salah satu jualan Taiwan dalam strategi gastrodiplomasi. Foto Pixabay

Gastrodiplomasi juga dipraktikan Taiwan, Peru, Vietnam, dan Jepang. Jika Taiwan dan Peru mengandalkan peran pemerintah, gastrodiplomasi Vietnam bertumpu pada jaringan diaspora. Adapun Jepang lebih mengandalkan chef lulusan sekolah masakan Jepang. 

"Jika dibandingkan, peran pemerintahnya dalam pengembangan gastrodiplomasi di kedua negara (Jepang dan Vietnam) tersebut relatif minim," jelas Agus.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Praktik gastrodiplomasi, kata Agus, sebenarnya sudah ada sejak era Soekarno. Ketika Indonesia menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Afrika di Bandung pada 1955, misalnya, Soekarno menjajakan makanan khas Indonesia sebagai salah satu strategi untuk "mengambil hati" petinggi negara lain.

"Soekarno yakin dengan keanekaragaman makanan kita. Dia cerdas sekali. Dan dampaknya juga  luar biasa bagi Indonesia, (jadi) percaya diri," katanya.

Tak hanya itu, Soekarno juga pernah meminta istrinya, Hartini, mengumpulkan resep-resep makanan khas Nusantara. Kumpulan resep itu kemudian dibukukan oleh pemerintah dengan judul Mustika Rasa. "Sampai sekarang saya kira belum ada karya lain (buku makanan) yang resmi sebagai dokumen negara," jelas Agus. 

Sayangnya, gastrodiplomasi tak berkembang banyak sejak era Soekarno. Padahal, dengan kekhasan dan varian makanan yang jumlahnya lebih dari 3.000, Indonesia punya potensi besar untuk menjual kulinernya di kancah internasional.

Pada 2017, rendang bahkan pernah terpilih sebagai makanan paling enak di seluruh dunia oleh CNN Travel. Bersama nasi goreng, makanan khas Minang itu didapuk sebagai kuliner paling lezat via polling Facebook yang digelar CNN Travel. 

Saat ini, kata Agus, Jokowi telah menetapkan lima makanan khas Indonesia untuk dijual di luar negeri. Namun, hitung-hitungannya masih cenderung ekonomi. "Pokoknya semua menghasilkan ekonomi. Tapi, enggak-apa-apa. Poinnya baru dia yang mulai lagi setelah Soekarno yang bicara soal kuliner," imbuhnya. 

Ilustrasi satai, makanan favorit sebagian besar masyarakat Indonesia. Foto Pixabay

Tantangan gastrodiplomasi Indonesia

Dubes Indonesia untuk Prancis Arrmanatha Nasir mengakui ada banyak tantangan yang harus dilewati untuk mengembangkan gastrodiplomasi di luar negeri. Salah satunya ialah mendongkrak jumlah restoran. 

Di Paris, Prancis, misalnya, hingga kini tercatat hanya ada lima restoran Indonesia. Angka itu sangat kecil jika dibandingkan dengan 87 restoran Thailand di kota yang sama. 

"Kalau kita melihat Thailand, mereka itu sangat jelas strategi nasionalnya saat membawakan Global Thai. Jadi, strategi mereka menjadi rujukan banyak negara," kata Tata, sapaan akrab Arrmanatha, dalam webinar Ambassador Talk Series#2, Jumat (24/7).

Kendala lainnya ialah soal distribusi bumbu masakan. Menurut Tata, kuliner Indonesia sulit dibikin oleh warga biasa di negara lain lantaran terbatasnya bumbu untuk membuat masakan-masakan kaya rempah khas Indonesia. "Kadang-kadang tidak ada bumbu dan sulit untuk mendapatkannya. Ini tantangan," imbuhnya. 

Sejauh ini, Tata menemukan, gastrodiplomasi Indonesia juga terganjal persoalan ketidakseragaman makanan. Tidak semua restoran Indonesia di luar negeri menjual lima makanan khas yang ditetapkan sebagai national food oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), yakni rendang, soto, nasi goreng, gado-gado, dan satai. 

Walhasil, meskipun orang-orang Prancis mengerti cita rasa makanan Indonesia, menurut Tata, mereka sering bingung ketika menyaksikan beragam dan berbedanya kuliner yang ditawarkan setiap restoran Indonesia di negara tersebut. 

"Beda kalau mereka masuk restoran Thailand, seperti tom yam hampir ada semua di restoran. Memang ada lima jenis yang diunggulkan, namun tidak semua resto kita membawa berbagai makanan itu. Jadi, identifikasi orang terhadap kita sering hilang," katanya.

Dubes Indonesia untuk Polandia Siti Nugraha Maulidiah berpendapat serupa. Menurut Siti, animo warga Polandia terhadap masakan Indonesia terus meningkat. Sayangya, upaya mempopulerkan kuliner Indonesia terganjal minimnya bumbu masak khas Nusantara yang tersedia di negara tersebut.

Karena itu, ia berharap pemerintah dan pengusaha mendorong ekspor rempah-rempah ke negara-negara Eropa, termasuk ke Polandia. "Kita di sini susah untuk mendapatkannya (bumbu untuk membuat makanan)," kata dia.

Di Polandia, Siti menjelaskan, gastrodiplomasi dibungkus dalam kegiatan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Makanan-makanan khas Indonesia disajikan Kedubes di Warsawa secara rutin pada gelaran festival, pameran, dan kegiatan sosial lainnya. 

"Tidak makanan itu-itu saja, macam-macam. Dan, biasanya pengunjung-- apalagi kalau gratis--pasti banyak yang datang. Kegiatan lainnya seperti fashion show dan promosi wisata. Kami sediakan masakan Indonesia. Kemudian saat melakukan jamuan di Warsawa," kata dia. 

Ilustrasi nasi goreng, makanan khas nusantara. Foto Pixabay

Peran semua pemangku kepentingan dibutuhkan

Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Teuku Faizasyah mengatakan gastrodiplomasi Indonesia masih kalah kualitasnya jika dibandingkan negara lain seperti Thailand dan Korsel. Ia pun mendorong semua pemangku kepentingan turut terlibat dalam upaya memperkuat gastrodiplomasi. 

"Katakan negara lain ada pasokan bumbu dan dijangkau melalui maskapai penerbangan mereka, misalnya. Indonesia mungkin belum sampai ke situ. Tapi, kita mendorong kalau ada yang membuka restoran atau membuka cabang ke luar negeri biasanya kita fasilitasi," kata Faizasyah saat dihubungi Alinea.id, Selasa (28/7).

Faizasyah mengakui jumlah restoran yang menjual kuliner Indonesia di luar negeri belum banyak. Selain karena kuliner nusantara kalah populer, WNI diaspora juga kalah jumlah jika dibandingkan diaspora negara-negara tetangga. 

"Harus ada brand. Seperti kita bicara rendang, ya, bagaimana dikenalkan rasanya itu upaya tersendiri. Namun, selama ini para dubes kita di luar negeri, saat resepsi, kegiatan yang mengudang ke wisma, atau rumah diplomat biasanya menghidangkan makanan-makanan Indonesia," jelasnya.

Di Kemenlu, Faizasyah menyebut tidak ada badan khusus yang menangani gastrodiplomasi. Walau demikian, Kemenlu terus mendorong dan memfasilitasi warga Indonesia yang hendak membuka restoran di luar negeri. 

Lebih jauh, Faizasyah mengatakan, kuliner Nusantara umumnya sudah diterima luas di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Malaysia. Di kawasan Asia Tenggara, makanan-makanan khas Indonesia juga potensial dipopulerkan dan dijual. 

"Tapi, itu kalau kita fokus di gastrodiplomasi terkait aspek ekonominya, ya. Harus sanggup menyuntik dana yang tidak kecil dan harus melihat potensi pasar. Terus terang bukan satu hal yang mudah," jelas Faizasyah.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Duta Besar RI untuk Australia, Y. Kristiarto S. Legowo mengatakan, setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi agar kuliner Indonesia bisa dijadikan alat gastrodiplomasi. Pertama, kuliner harus universally delicious alias bisa diterima semua lidah. 

"Kedua, unik. Ketiga, disajikan dengan menarik. Terakhir, jangan lupa harus mempromosikan budaya Indonesia sebagai pembeda dengan makanan dari negara lain," kata Kristiarto. 

Berkaca dari pengalaman 35 tahun menjadi diplomat, Duta Besar RI untuk Austria dan Perserikatan Bangsa Bangsa Darmansjah Djumala berpendapat, perlu ada perubahan strategi gastrodiplomasi Indonesia. 

Selama ini, diplomasi Indonesia kerap hanya menonjolkan keragaman budaya, keindahan alam, kecantikan seni budaya, dan kelezatan makanan. Khusus untuk kuliner, ia menyarankan, diplomasi ditopang narasi historis di balik kemunculan-kemunculan kuliner khas. 

"Jadi, setiap makanan punya aspek sejarah, setiap makanan punya filosofi dan aspek latar belakang kebudayaan. Ini yang saya maksud go beyond the meter of food itself. The story of the food itsef," jelas dia.
 

Berita Lainnya
×
tekid