sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nixon, Putin, dan "rekayasa" kegilaan mereka

Presiden Rusia Vladimir Putin kembali mengumbar ancaman bakal menjatuhkan bom nuklir ke Ukraina. Apakah dia benar-benar gila?

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Minggu, 06 Nov 2022 17:42 WIB
Nixon, Putin, dan

Saat Richard Nixon diinaugurasi jadi Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 1969, Perang Vietnam telah berusia sekitar 14 tahun. Beberapa bulan sebelumnya, pertemuan-pertemuan antara delegasi Vietnam dan AS untuk membahas deeskalasi konflik telah diinisiasi di Paris, Prancis. Namun, negosiasi-negosiasi itu tak membuahkan hasil. 

Di dalam negeri, gelombang protes anti-Perang Vietnam terus melanda sejumlah kota di AS. Jenuh akan perang yang tak berkesudahan, publik ingin militer AS segera ditarik dari Vietnam. Apalagi, jumlah prajurit AS yang mati karena perang itu melonjak hingga belasan ribu orang per tahun sejak 1966.

Turut merasakan imbas politis Perang Vietnam saat jadi Wapres AS, Nixon kian tak sabaran. Ia ingin ada solusi "kilat" untuk mengakhiri perang itu. Sekitar enam bulan setelah Nixon resmi berkantor di Gedung Putih, rencana menggelar operasi militer bertajuk Duck Hook pun disusun anak-anak buah Nixon. 

Dalam sebuah dokumen resmi yang kini telah dirilis ke publik, operasi itu dijelaskan bakal berupa serangkaian pengeboman instalasi militer dan simpul-simpul perekonomian di sekitar Hanoi, pelabuhan di Haiphong, serta tanggul-tanggul di kawasan yang dikuasai kelompok komunis Vietnam. Opsi bom nuklir juga dibuka. 

"Karena kita tak bisa memprediksi pada titik mana Hanoi (ibu kota Vietnam Utara ketika itu) akan merespons positif, kita harus siap menjalankan semua opsi. Untuk mempengaruhi Hanoi, aksi yang dijalankan harus brutal," tulis penasihat keamanan Nixon, Henry Kissinger, dalam sebuah memo rahasia kepada Nixon.

Nixon sepertinya setuju dengan gagasan Kissinger. Pada pertemuan rahasia dengan delegasi Vietnam Utara di Paris pada awal Agustus 1969, Kissinger mengungkap eksistensi rencana operasi Duck Hook. Ia mengancam AS bakal mengeksekusi operasi itu.

"Jika hingga 1 November tak ada kemajuan signifikan yang tercapai menuju sebuah solusi, kami terpaksa--meskipun penuh keengganan--mengambil langkah-langkah dengan konsekuensi terburuk," ungkap Kissinger sebagaimana dinukil dari The Price of Power: Kissinger in the Nixon White House (1983).

Gertak sambal Nixon kian menjadi-jadi. Pada awal Oktober 1969, Nixon mengirim instruksi rahasia kepada armada militer AS di Pasifik untuk bersiaga menghadapi kemungkinan konfrontasi dari militer Uni Soviet, sekutu Vietnam Utara dalam Perang Vietnam. 

Sponsored

Dalam salah satu kawat rahasia, Nixon memerintahkan agar Strategic Air Command (SAC) menunda misi-misi pelatihan dan menambah jumlah pesawat B-52 bersenjatakan bom nuklir. Pada akhir Oktober 1969, belasan pesawat B-52 diterbangkan dalam pola lingkaran dari Washington ke Uni Soviet dalam aksi unjuk kekuatan. 

Aksi-aksi militer itu tak diketahui publik AS. Sebagian besar petinggi militer AS bahkan tidak tahu alasan Nixon menyiagakan angkatan perang. Kepada kepala stafnya, H.R Haldeman, sang presiden mengungkap aksi-aksi gagah-gagahan itu ditujukan untuk menekan Vietnam Utara supaya kembali meja perundingan. 

"Aku menyebutnya madman theory (teori orang gila), Bob (sapaan Haldeman). Aku ingin Vietnam Utara percaya bahwa aku berada pada titik di mana aku bersedia melakukan apa saja untuk mengakhiri perang," ujar Nixon seperti dikutip dari The Ends of Power yang ditulis Haldeman dan Joseph DiMona dan terbit pada 1978. 

Manuver-manuver militer AS bikin Soviet kebingungan. Pada 20 Oktober 1969, Duta Besar Uni Soviet untuk AS Dobrynin mendadak dikirim untuk bertemu dengan Nixon dan Kissinger. Dobrynin menawarkan agar AS dan Uni Soviet segera memulai Strategic Arms Limitation Talks (SALT). Ia juga mengingatkan metode "kekerasan" yang digunakan AS dalam menuntaskan konflik di Vietnam tak akan berhasil. 

Ketika itu, Nixon bersikukuh tak akan mengubah kebijakannya. "Jika Uni Soviet tak mau membantu kami mencapai perdamaian, AS akan memakai metodenya sendiri untuk mengakhiri perang ini. Kami tidak akan diam saja," kata Nixon

Meskipun tak sukses menekan Vietnam Utara, aksi gila Nixon mendorong Soviet menginisiasi pembahasan mengenai pengendalian senjata nuklir dengan AS pada November 1969. SALT menjadi penanda dimulainya periode relaksasi ketegangan antara AS dan Soviet atau yang dikenal dengan sebutan era detente

Operasi Duck Hook pun "terlupakan". Pada 1 November 1969, Nixon memutuskan untuk membatalkan rencana operasi militer itu. Meski begitu, Nixon tetap setia pada teorinya. Berulang kali Nixon muncul di depan publik dengan mengumbar ancaman menjatuhkan bom nuklir di Vietnam. 

Pada 27 Januari 1973, kesepakatan damai akhirnya dicapai antara AS dan komunis Vietnam. Di antara poin-poin lainnya, AS hanya meminta gencatan senjata selagi pasukannya ditarik dari Vietnam dalam traktat yang ditandatangani di Paris itu. Hingga perang berakhir, ancaman nuklir Nixon tak pernah terealisasi. 

Mantan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon. /Foto dok. Nixon Foundation

Dari Trump ke Putin 

Meskipun kerap diasosiasikan sebagai ciri khas pemerintahannya, teori orang gila bukan temuan Nixon. Pada ranah akademisi, pakar game theory sekaligus penerima anugerah nobel di bidang ekonomi Thomas C. Schelling didapuk sebagai penemu teori itu. 

Adapun pada ranah praktisi, John Foster Dulles, mantan Menlu AS pada era Dwight Eisenhower (1953-1961), dirujuk sebagai pencipta pendekatan resolusi konflik jenis itu di dunia nyata. 

Dulles dianggap berjasa mengakhiri perang Korea pada 1953 dengan mengumbar klaim Eisenhower cukup "tangguh" untuk penggunaan senjata nuklir di Semenanjung Korea. Saat negosiasi damai untuk mengakhiri perang tengah berlangsung, Dulles mengungkap kesiapan AS memperluas perang jika kesepakatan damai tak tercapai. 

Politikus-politikus AS, khususnya dari kalangan Partai Demokrat, meyakini ancaman Dulles sampai ke telinga Mao Zedong. China dan Uni Soviet, sekutu Korea Utara (Korut) dalam perang, lantas menekan Korut agar setuju dengan poin-poin kesepakatan damai yang disusun AS untuk mengakhiri perang itu. 

"Saya percaya Soviet takut kepada Ike (sapaan Eisenhower) karena apa yang diancam Dulles bakal dilakukan AS di Korea," kata mantan Presiden AS Lyndon B Johnson seperti dikutip dari The Memoirs of Richard Nixon yang terbit pada 1978. 

Nixon juga bukan satu-satunya presiden AS yang dianggap pengguna teori orang gila. Saat forum renegosiasi United States-Korea Free Trade Agreement (KORUS FTA) tengah berlangsung pada April 2017, Presiden AS Donald Trump menggunakan reputasinya sebagai orang gila untuk menekan Korsel agar setuju dengan konsensi yang diminta AS. 

Ketika itu, Trump meminta para negosiator AS untuk mewanti-wanti delegasi Korsel. "Jika mereka tak memberikan konsensi sekarang, orang gila ini akan keluar dari kesepakatan. Orang ini sangat gila sehingga dia bisa keluar dari pembicaraan kapan pun," kata Trump. 

Trump juga dianggap mempraktikan teori orang gila saat tensi antara dua negara penghuni Semenanjung Korea meningkat pada pertengahan 2018. Ia mengancam akan menghapus Korea Utara dari peta dunia jika Pyongyang tidak mau bernegosiasi untuk membahas program nuklir negara itu. 

Ketika itu, ancaman Trump sempat ditanggapi dingin oleh pemimpin Korut Kim Jong-un. Kim menyebut Trump pikun dan menyatakan siap 'menghadapi AS dengan api'. Meski sempat saling ejek, keduanya akhirnya bertemu untuk membahas persoalan nuklir Korut pada 2019. 

Di Ukraina, pendekatan teori orang gila juga dianggap tengah dipraktikan Presiden Rusia Vladimir Putin. Maret lalu, Putin memerintahkan Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Militer Rusia untuk menyiagakan kekuatan nuklir Rusia untuk menghadapi ancaman dari NATO. 

"Tak hanya menggelar sanksi ekonomi ilegal terhadap negara kita, tetapi pejabat-pejabat tinggi negara-negara anggota NATO juga membiarkan diri mereka membuat pernyataan-pernyataan agresif terhadap negara kita," kata Putin dalam pernyataan resminya. 

Sebelumnya, Putin juga rutin mengumbar pernyataan gila terkait Ukraina. Ia menyebut Ukraina sebagai negara fiktif, dikuasai kaum Nazi, dan mengklaim kedatangan Rusia ke Ukraina hanya sekadar memenuhi undangan publik Ukraina yang ingin kembali bersatu dengan Rusia sebagaimana pada era Uni Soviet. 

Teranyar, Putin dan sejumlah pejabat Kremlin mengklaim Ukraina tengah membuat bom radioaktif untuk menghabisi para prajurit Rusia yang kini telah menguasai sejumlah daerah di Ukraina. Klaim terhadap ancaman itu ditindaklanjuti Rusia dengan gelaran uji coba senjata nuklir pada Oktober lalu. 

"Kami tahu mengenai adanya rencana-rencana untuk menggunakan bom kotor oleh Ukraina sebagai bentuk provokasi," kata Putin seperti dikutip dari ABC

Dalam sebuah opini di The Forbes, penulis buku Winning and Losing the Nuclear Peace, Michael Krepon mengatakan ancaman nuklir Rusia mengindikasikan keputusasaan Putin akan jalannya perang di Ukraina. Saat memulai invasi sekitar 6 bulan lalu, Putin meyakini perang bakal berakhir cepat dengan kemenangan Rusia. 

"Jika dia belum benar-benar gila, Putin tahu ini (bahwa Rusia sulit menang perang). Putin juga seharusnya paham jika superioritas militer konvensional tidak berhasil, awan jamur (bentuk asap karena ledakan bom nuklir) juga tidak akan berguna," ujar Krepon.

Senada, pakar politik internasional John Hopkins School of International Studies, Josef Joffe meyakini Putin tak benar-benar gila. Apalagi, penggunaan senjata nuklir telah dianggap tabu sejak 77 tahun lalu. 

"Jika dia bisa mengintimidasi Ukraina dan negara-negara Barat, Putin bisa dianggap bekerja lebih baik ketimbang pasukannya yang gagal di medan tempur," tulis Joffe dalam sebuah komentar yang tayang di Project Syndicate. 

Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. /Foto CFP

Tak efektif? 

Dalam "The Madman Nuclear Alert: Secrecy, Signaling, and Safety in October 1969" yang terbit MIT Journal pada 2003, Scott D. Sagan dan Jeremi Suri menulis pendekatan teori orang gila dalam menyelesaikan konflik internasional tak efektif dan cenderung berbahaya. 

Sagan dan Suri menyoroti peristiwa unjuk kekuatan nuklir AS pada Oktober 1969. Menurut mereka, manuver Nixon bisa memicu perang nuklir jika disikapi keliru oleh Moskow. Apalagi, tak ada yang benar-benar tahu niat Nixon sebenarnya. 

"Sejumlah pemimpin Moskow menerima laporan intelijen mengenai kesiapsiagaan nuklir AS. Tetapi, badan intelijen Soviet tidak mengerti kenapa militer AS tidak meningkatkan kesiapan mereka untuk menghadapi perang nuklir," tulis Sagan dan Suri. 

Instruksi Nixon, lanjut mereka, juga menimbulkan beragam persoalan turunan. Ketika itu, misalnya, tak ada penerbangan pesawat pengintai sebelum rombongan pesawat B-52 diterbangkan untuk mengintimidasi Soviet. Salah satu pesawat B-52 potensial bertemu pesawat militer Soviet di udara, saling serang, dan memicu perang yang tak diinginkan.

"Nixon dan Kissinger tak pernah mempelajari mengenai bahaya peringatan senjata nuklir lantaran mereka tidak pernah diberitahu mengenai persoalan-persoalan operasional dan keamanan yang muncul," jelas mereka. 

Selain kegilaan Nixon, Sagan dan Suri juga memaparkan sejumlah peristiwa gila yang melibatkan pemimpin dunia lainnya yang potensial berujung bencana. Mereka mencontohkan keputusan mantan Presiden Irak Saddam Husein membolehkan peluncuran sebuah rudal Scud untuk menyerang instalasi nuklir milik Israel saat Perang Teluk pada 1991. Beruntungnya, rudal milik Irak itu meleset dari target. 

"Sulit untuk mengetahui logika dan kebijaksanaan di balik keputusan Saddam itu mengingat serangan yang sukses bisa memicu meluasnya kebocoran radioaktif dan serangan nuklir balasan terhadap Baghdad (ibu kota Irak)," jelas mereka. 

Dalam "The Problem With Trump's Madman Theory" yang tayang di The Atlantic, profesor sejarah dari New York University Tim Naftali mengatakan madman theory jarang efektif ketika diaplikasikan ke dalam konflik di dunia nyata. 

Secara khusus, Naftali menyoroti masa selama 3,5 tahun dari Oktober 1969 hingga Perjanjian Paris, kematian 21.000 prajurit AS sebelum penarikan pasukan pada 1973, dan kerugian Vietnam yang hingga kini tak teridentifikasi. Statistik itu menunjukkan betapa "tak bergunanya" ancaman nuklir Nixon.

"Itu (pendekatan madman theory) seharusnya sebuah versi yang memunculkan kekagetan atau kekaguman. Hingga kita tahu catatan sejarah pembuatan kebijakan Hanoi ketika itu, penjelasan yang paling memungkinkan ialah adanya kombinasi faktor-faktor lain yang akhirnya membuat Hanoi menyerah," jelas dia. 

Itulah kenapa, kata Naftali, pendekatan itu tak dilirik oleh presiden-presiden AS setelah Nixon. "Tidak berhasil bagi Nixon. Bahkan, mungkin bakal lebih sulit diaplikasikan saat ini," kata Naftali. 

 

Berita Lainnya
×
tekid