sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rusia dan Prancis serukan gencatan senjata di Armenia-Azerbaijan

Sejauh ini, Armenia dan Azerbaijan telah menolak seruan internasional untuk negosiasi.

Angelin Putri Syah
Angelin Putri Syah Kamis, 01 Okt 2020 13:39 WIB
Rusia dan Prancis serukan gencatan senjata di Armenia-Azerbaijan

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Prancis Emmanuel Macron telah menyerukan gencatan senjata secepatnya, antara pasukan etnis Armenia di Nagorno-Karabakh dan Azerbaijan. Padahal jumlah korban tewas resmi melampaui 100 tetapi kedua belah pihak mengatakan akan terus bertempur.

"Vladimir Putin dan Emmanuel Macron meminta pihak yang bertikai untuk menghentikan tembakan sepenuhnya dan secepat mungkin, mengurangi ketegangan serta menunjukkan pengendalian maksimum," kata Kremlin dalam sebuah pernyataan pada Kamis (1/10).

Dalam percakapan telepon yang muncul atas inisiatif Macron, kedua pemimpin tersebut membahas parameter konkret dari kerja sama lebih lanjut, terutama dalam kerangka OSCE Minsk Group.

Kremlin menambahkan para pemimpin menyatakan kesiapan untuk melihat pernyataan yang dibuat atas nama ketua bersama Grup Minsk-Rusia, Prancis dan Amerika Serikat yang akan menyerukan diakhirinya pertempuran secepatnya dan memulai pembicaraan.

Seperti diketahui kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran terberat selama bertahun-tahun di Karabakh, provinsi etnis Armenia yang memisahkan diri dari Azerbaijan pada 1990-an ketika Uni Soviet runtuh.

Sejauh ini, Armenia dan Azerbaijan telah menolak seruan internasional untuk negosiasi.

Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev, berjanji militernya akan terus bertempur sampai pasukan Armenia ditarik sepenuhnya dari Karabakh.

“Jika pemerintah Armenia memenuhi permintaan tersebut, pertempuran dan pertumpahan darah akan berakhir, dan perdamaian akan dibangun di wilayah tersebut," katanya saat mengunjungi tentara yang terluka pada Rabu (30/9).

Sponsored

Bersiap untuk perang jangka panjang

Sementara itu, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan tidak sangat tepat untuk berbicara tentang negosiasi pada saat permusuhan sedang intensif.

Di ibu kota Armenia, Yerevan, puluhan pria berkumpul di luar kantor perekrutan untuk bergabung dalam pertempuran.

Pemimpin Karabakh Arayik Harutyunyan mengatakan pada Rabu (30/9) telah bersiap untuk perang jangka panjang.

Di ibu kota provinsi yang memisahkan diri, Stepanakert, dua ledakan terdengar sekitar tengah malam pada Kamis saat sirene dibunyikan.

Penduduk mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa kota itu telah diserang oleh pesawat tak berawak.

Jalan-jalan gelap dengan penerangan umum dimatikan, meskipun beberapa toko buka di kota itu, yang menurut pihak berwenang setempat diserang ketika pertempuran pertama meletus pada Minggu ((27/9).

Korban tewas resmi telah melampaui 100, termasuk warga sipil, dengan kedua belah pihak mengklaim telah menimbulkan kerugian besar di pihak lain.

Armenia telah melaporkan 104 kematian militer dan 23 warga sipil tewas. Sekaligus mengklaim bahwa Azerbaijan telah kehilangan 130 tentara sementara 200 lainnya terluka.

Sementara Kementerian Pertahanan Azerbaijan membalas, dengan mengatakan bahwa pasukannya telah membunuh 2.300 tentara Karabakh dan menghancurkan 130 tank, 200 unit artileri, 25 unit antipesawat, lima depot amunisi, 50 unit antitank, 55 kendaraan militer.

Dengan Baku dan Yerevan menolak pembicaraan, muncul kekhawatiran bahwa konflik dapat meningkat menjadi perang habis-habisan, yang juga dapat menarik kekuatan regional seperti Turki dan Rusia.

Moskow, yang memiliki pakta militer dengan Armenia dan juga menikmati hubungan baik dengan Azerbaijan, berulang kali menyerukan diakhirinya pertempuran dan menawarkan untuk menjadi tuan rumah negosiasi.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menegaskan kembali kesiapan Moskow untuk menyelenggarakan pertemuan. Namun, tidak ada pemimpin yang menunjukkan tanda-tanda siap untuk melakukan pembicaraan.

"Sangat dekat untuk melihat perang skala besar, bahkan mungkin dalam skala regional," kata Olesya Vartanyan dari International Crisis Group.

Deklarasi kemerdekaan Karabakh dari Azerbaijan memicu perang di awal 1990-an yang merenggut 30.000 nyawa, tetapi wilayah itu tidak diakui oleh negara mana pun, termasuk Armenia.

Pembicaraan untuk menyelesaikan konflik sebagian besar terhenti sejak perjanjian gencatan senjata pada1994.

Sumber: Aljazeera

Sumber : Al Jazeera

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid