sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sri Lanka alami krisis ekonomi, butuh bantuan negara-negara sahabat

Perdana Menteri Sri Lanka menyatakan kemungkinan jatuh ke titik terendah.

Erlinda Puspita Wardani
Erlinda Puspita Wardani Kamis, 23 Jun 2022 10:49 WIB
Sri Lanka alami krisis ekonomi, butuh bantuan negara-negara sahabat

Di tengah ancaman krisis ekonomi yang sedang melanda banyak negara di seluruh dunia saat ini, Sri Lanka kini sedang mengalami kebangkrutan. Negara kepulauan dengan penduduk sekitar 22 juta orang ini berjuang dari krisis ekonomi terburuknya selama tujuh dekade terakhir. 

Krisis mata uang asing telah menghambat impor, kelangkaan pangan, bahan bakar, listrik, hingga kebutuhan pokok lainnya seperti obat-obatan. Hal ini juga dipicu oleh kekurangan devisa negara yang sangat parah.

Pernyataan runtuhnya ekonomi Sri Lanka juga secara tegas dinyatakan oleh Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe kepada parlemen pada Rabu (22/6) seperti dikutip dari Bloomberg.

“Kita sekarang menghadapi situasi yang jauh lebih serius di luar sekadar kekurangan bahan bakar, gas, listrik, dan makanan. Kita sekarang melihat tanda-tanda kemungkinan jatuh ke titik terendah,” ucap Ranil.

Sri Lanka diketahui telah menangguhkan pembayaran utang luar negeri senilai US$12 miliar pada April lalu. Saat ini negara Asia Selatan tersebut membutuhkan dana US$6 miliar dalam beberapa bulan mendatang untuk menopang cadangannya, membayar tagihan impor yang membengkak, dan menstabikan mata uangnya.

Pada Selasa (21/6), Hamilton Reserve Bank Ltd., yang memegang lebih dari US$250 juta dari 5,875% Obligasi Negara Internasional Sri Lanka dengan tanggal jatuh tempo 25 Juli, mengajukan gugatan di pengadilan federal New York untuk meminta pembayaran penuh pokok dan bunga setelah negara tersebut gagal bayar bulan lalu.

Dilansir dari Associated Press, saat ini Ceylon Petroleum Corporation sebuah perusahaan minyak dan gas milik Sri Lanka berhutang US$700 juta, sehingga menyebabkan tak ada negara yang mau menyediakan bahan bakar untuk negara tersebut.

“Akibat utang tersebut, tidak ada lagi negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar untuk kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar dengan uang tunai,” kata Ranil.

Sponsored

Ranil Wickremesinghe menyebut, keterpurukan Sri Lanka saat ini karena pemerintah sebelumnya gagal bertindak tepat waktu saat cadangan devisa Sri Lanka menyusut.

“Jika langkah-langkah setidaknya telah diambil untuk memperlambat keruntuhan ekonomi di awal, kita tidak akan menghadapi situasi sulit hari ini. Tapi kami kehilangan kesempatan ini,” ujarnya.

Pihak berwenang Sri Lanka saat ini berencana untuk mengadakan konferensi bantuan kredit dengan negara-negara sahabat, seperti India, Jepang, dan Cina untuk bantuan lebih lanjut.

Kantor berita Reuters juga melaporkan delegasi tingkat tinggi dari India akan tiba hari ini untuk pembicaraan dukungan tambahan dari New Delhi. India bahkan sejauh ini telah memberikan bantuan sekitar US$4 miliar termasuk pertukaran US$400 juta dan jalur kredit dengan total nilai US$1,5 miliar. Cina juga saat ini sedang mempertimbangkan permohonan Sri Lanka untuk merundingkan kembali persyaratan pertukaran mata uang Yuan senilai US$1,5 miliar untuk mendanai impor penting.

Sri Lanka sampai saat ini telah menyelesaikan diskusi awal dengan The International Monetary Fund (IMF) membahas soal keuangan publik, keberlanjutan utang, sektor perbankan, dan jaminan social.

“Kami bermaksud untuk masuk ke dalam tingkat resmi dengan IMF pada akhir Juli,” ujar Ranil.

Menurut Ranil, jika kesepakatan dengan IMF telah tercapai, pemerintahnya akan fokus pada rencana untuk meningkatkan ekspor Sri Lanka dan menstabilkan ekonomi. Ranil juga menyampaikan, tugasnya tidaklah mudah untuk menghidupkan kembali sebuah negara dengan ekonomi yang benar-benar runtuh.

Pemerintah Sri Lanka hingga kini menunda publikasi data PDB kuartal pertama yang sudah jatuh tempo Rabu (22/6). Hal ini disebabkan departemen sensus dan statistik negara tersebut belum menerima semua masukan yang diperlukan secara tepat waktu.

“Kami sedang berupaya untuk mengeluarkan angka pertumbuhan sesegera mungkin, tetapi mungkin akan memakan waktu beberapa hari karena penundaan dan kekurangan staf,” kata Anura Kumara, Direktur Jenderal Departemen Sensus dan Statistik Sri Lanka seperti dikutip dari Reuters.

Berita Lainnya
×
tekid