close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing pada 3 Februari 2018. REUTERS/Lynn Bo Bo
icon caption
Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing pada 3 Februari 2018. REUTERS/Lynn Bo Bo
Dunia
Rabu, 11 Desember 2019 10:02

Terkait krisis Rohingya, AS sanksi empat jenderal Myanmar

Sanksi juga menargetkan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing.
swipe

Amerika Serikat pada Selasa (11/12) memberlakukan sanksi terhadap empat pimpinan militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi. Ini merupakan tindakan paling keras yang diambil Washington atas dugaan pelanggaran HAM terhadap warga Rohingya dan etnis minoritas lainnya. 

Sanksi tersebut menargetkan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing pada hari yang sama ketika pemimpin sipil negara itu, Aung San Suu Kyi, menghadiri sidang Mahkamah Internasional di Den Haag. Suu Kyi memimpin delegasi Myanmar dalam membela negaranya atas tuduhan melakukan genosida.

Kementerian Perdagangan AS dalam pernyataannya pada Selasa menyebutkan bahwa militer Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM serius di bawah komando Min Aung Hlaing.

"Selama masa tersebut, anggota etnis minoritas dibunuh atau terluka oleh tembakan, seringkali ketika melarikan diri ... yang lain dibakar hingga tewas di rumah mereka sendiri," sebut pernyataan Kementerian Perdagangan AS.

Kementerian Perdagangan AS mengungkapkan bahwa sanksi bertujuan untuk mendukung transisi menuju demokrasi di Myanmar.

Tindakan keras militer Myanmar pada 2017 di Rakhine State telah mendorong lebih dari 730.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Penyelidik PBB menuturkan bahwa operasi militer Myanmar, yang mencakup pembunuhan massal, pemerkosaan beramai-ramai, dan pembakaran yang meluas dilakukan dengan niat genosida.

Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, membantah setiap tuduhan yang diarahkan kepadanya. Mereka bersikeras bahwa tindakan militer itu adalah bagian dari perang melawan terorisme.

Sanksi AS yang dijatuhkan pada Selasa diterapkan berdasarkan Global Magnitsky Human Rights Accountability Act, yang menargetkan pelaku pelanggaran HAM serius. Sanksi akan membekukan aset target dan melarang entitas AS untuk berbisnis dengan target.

Tidak diketahui apakah keempat jenderal yang menjadi target sanksi memiliki aset di Negeri Paman Sam. Sebelumnya, pada Juli, mereka telah dilarang masuk AS.

Selain menargetkan Min Aung Hlaing, sanksi juga dikenakan kepada wakilnya, Soe Win, dan dua bawahan yang memimpin divisi pasukan elite yang disebut memelopori tindakan keras terhadap warga Rohingya.

Sanksi terbaru AS ini datang berbulan-bulan setelah Washington dikritik oleh Utusan khusus PBB yang menangani soal HAM di Myanmar Yanghee Lee, yang mengatakan bahwa larangan bepergian ke AS saja tidak cukup.

John Sifton, direktur advokasi Asia untuk Human Rights Watch, menilai bahwa sanksi AS datang terlambat. Namun, dia menambahkan, "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali."

"Sangat disayangkan keputusannya begitu lama. Sementara, kejahatan yang dipersoalkan sangat serius. Jika Uni Eropa mengikuti langkah-langkah serupa dan bekerja dengan AS untuk menekan yurisdiksi lain agar bertindak, militer Myanmar akan mendapati fakta bahwa dunia mereka secara geografis dan finansial menyusut," terang Sifton. 

Meski demikian, sejumlah pihak menyayangkan bahwa AS tidak menjatuhkan sanksi yang menargetkan perusahaan-perusahaan milik militer yang mendominasi beberapa sektor ekonomi Myanmar.

Mark Farmaner, direktur LSM Burma Campaign UK mengatakan, perusahaan-perusahaan militer tersebut masih berbisnis dengan perusahaan-perusahaan AS.

"Perusahaan-perusahaan yang dimiliki militer membantu mendanai genosida terhadap Rohingya. Sangat penting mereka dijatuhi sanksi," kata Mark kepada Reuters.

Beberapa analis dan diplomat menganggap Min Aung Hlaing sebagai calon presiden potensial dalam pemilihan 2020, ketika Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Suu Kyi kemungkinan akan menghadapi pertentangan dari para nasionalis yang bersekutu dengan militer.

Suu Kyi yang memenangi pemilu 2015 dengan mutlak telah dipaksa untuk berbagi kekuasaan dengan para jenderal yang tidak dapat dikendalikannya. Namun, di dalam negerinya dia tetap populer terlepas dari kritik internasional atas krisis Rohingya.

img
Khairisa Ferida
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan