sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ancaman rentan gangguan jiwa pada remaja

Mengapa remaja sangat rentan mengalami gangguan mental?

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Sabtu, 22 Okt 2022 12:08 WIB
Ancaman rentan gangguan jiwa pada remaja

Pagi itu, seolah-olah penasaran ingin mengetahui siapa yang datang, dua pasien orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mengintip dari teralis pintu Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat di Jalan Palm Merah V, Tangerang Selatan, Banten. Panti yang berdiri sejak 2014 itu menampung sekitar 30-an pasien, yang usianya di atas 20 tahun.

“(Sebelumnya) pernah kami menerima (pasien) usia 15 tahun ke atas,” ujar Kepala Perawat Panti Rehabilitasi Mental Jiwa, Andika Mawardi—akrab disapa Dika, saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (20/10).

Menurut Dika, remaja yang mengalami gangguan mental disebabkan mengonsumsi obat-obatan terlarang, minuman beralkohol, dan lingkungan. Mayoritas didiagnosa depresi.

“Jadi, mereka enggak bisa mengontrol dirinya sendiri,” katanya.

Perundungan di sekolah juga bisa menyebabkan remaja mengalami depresi. Namun, kata Dika, persoalannya tak semua remaja menyadari tengah mengalami gejala gangguan mental.

“Kayak kasus yang saya tangani beberapa bulan lalu. Bayangkan, dia itu dari SMP sampai enam tahun baru ketahuan (mengalami gangguan mental),” kata dia.

Faktor penyebab

Baru-baru ini, penelitian yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama University of Queensland Australia, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Amerika Serikat menemukan, 1 dari 20 remaja—usia 10-17 tahun—di Indonesia terdiagnosis punya gangguan mental. Artinya, sekitar 2,45 juta remaja di Indonesia termasuk dalam kelompok ODGJ.

Sponsored

Riset tersebut menemukan, sekitar 3,7% remaja mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder), Lalu, gangguan depresi mayor sebesar 1,0%, gangguan perilaku 0,9%, serta gangguan stres pascatrauma, gangguan pemusatan perhatian, dan hiperaktivitas masing-masing 0,5%.

Data riset kesehatan dasar (riskesdas) 2018, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, prevalensi masalah kesehatan jiwa usia 15-24 tahun adalah depresi sebesar 6,2% dan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) 10%.

Ilustrasi./Pixabay.com

Sementara berdasarkan data sistem kesehatan jiwa (simkeswa) pada Oktober 2022, tercatat ada 1.086 kasus gangguan mental pada kelompok usia 15-19 tahun. Tertinggi skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lain sebanyak 665 kasus atau 61,23%, diikuti gangguan suasana perasaan 116 kasus atau 10,68%, serta gangguan neurotik, somatoform, dan gangguan terkait stres 74 kasus atau 6,81%.

Namun, Kemenkes memberi catatan, data itu belum menunjukkan gambaran sebenarnya karena belum semua kabupaten/kota melaporkan kasus lewat sismkeswa. Terlepas dari itu, gambaran beberapa data tadi menunjukkan kasus kesehatan jiwa bagi remaja tak bisa dianggap remeh.

Menurut Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes, Vensya Sitohang, penyebab gangguan jiwa pada remaja salah satunya faktor biologi atau kerentanan genetik. Lalu, faktor psikologis atau kerentanan struktur kepribadian dan mekanisme mental yang belum dewasa.

“(Ketiga) faktor sosial atau kerentanan dukungan sosial atau adanya dukungan sosial yang tak memadai,” katanya, Kamis (20/10).

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Diah Setia Utami menambahkan, penyebab gangguan mental pada remaja karena di masa itu mengalami dua fase.

Fase awal adalah masa anak-anak ke remaja, ditandai dari umur 12-13 tahun ke 15-16 tahun. Ketika itu, ada perubahan yang terjadi, baik secara psikologis, eksistensi diri, tanggung jawab, dan penerimaan lingkungan.

“Dia dari SMP ke SMA beda, dari SMA ke kuliah beda. Nah, fase-fase kehidupan itu bisa menjadi pencetus,” ucapnya, Jumat (21/10).

Fase selanjutnya, ketika remaja masuk ke dunia perkuliahan di usia 18-19 tahun. Diah mengatakan, jika remaja merasa berat mengikuti proses perubahan, maka bisa mengalami depresi.

“Khususnya ODGJ yang sudah punya kerentanan, jadi ada faktor keluarga dan sebagainya, itu mudah sekali tercetus,” ujarnya.

Diah menjelaskan, umumnya remaja mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Dua jenis gangguan tersebut memungkinkan dialami remaja, jika orang tua menerapkan standar yang tinggi.

“Misalnya sekolah di tempat yang bagus, yang mungkin dia (anak) tidak suka. Pada akhirnya dia (anak) menjalaninya dalam kondisi depress, tertekan,” katanya.

Dihubungi terpisah, dokter spesialis jiwa RS Cipto Mangunkusumo, Kusuma Minayati mengatakan, remaja termasuk kelompok rentan mengalami masalah kesehatan jiwa karena masih dalam masa perkembangan.

Pada fase ini, seorang remaja secara pemikiran sudah mulai maju, tetapi pengendalian emosi masih belum sepenuhnya berkembang. Di samping itu, masa remaja adalah transisi dari anak-anak menuju dewasa, yang terjadi berbagai perubahan, seperti fisik hingga tuntutan sosial.

“Hal-hal itu bisa menjadi faktor masalah kesehatan jiwa pada remaja,” tuturnya, Jumat (21/10).

Selain depresi dan kecemasan, jenis gangguan jiwa yang rentan dialami remaja, sebut Kusuma, adalah bipolar serta gangguan yang terkait dengan perilaku.

Penanganan

Ilustrasi./Pixabay.com

Menurut Vensya, gangguan jiwa tak muncul dengan sendirinya. Ada fase prodromal, yang memiliki beberapa gejala, seperti perubahan perilaku, suasana perasaan, dan pola pikir. Keluarga yang tak dekat dengan remaja akan menganggap fase prodromal itu sebagai bagian dari masa pubertas.

Sedangkan Diah menjelaskan, orang tua yang dekat dengan anak pasti merasakan perubahan. Misalnya, yang tadinya mudah berkumpul jadi lebih banyak menyendiri di kamar atau lambat menjalankan tugas dan nilai akademis menurun.

“Jadi, harus waspada. Jangan dianggap itu hal biasa, tapi harus mendalami, apakah ada sesuatu yang terkait dengan masalah psikisnya dia,” katanya.

Vensya menerangkan, pihaknya melakukan deteksi dini lewat fasilitas pelayanan kesehatan dengan target penduduk usia di atas 15 tahun. Kegiatan ini menggunakan instrumen strengths and difficulties questionnaire (SDQ) dan self-reporting questionnaire (SRQ).

“Jika didapatkan hasil abnormal, maka remaja tersebut akan dirujuk untuk mendapatkan penanganan pertama di puskesmas. Jika diperlukan, dapat dilakukan rujukan ke RSU (rumah sakit umum) atau RSJ (rumah sakit jiwa),” katanya.

Sedangkan remaja yang berisiko, akan dideteksi dini di fasyankes dan sekolah melalui integrasi kesehatan jiwa di unit kesehatan sekolah (UKS). Vensya mengakui, ada banyak tantangan untuk menangani masalah gangguan jiwa, terutama soal tenaga profesional.

Jumlah psikolog dan psikiater masih jauh di bawah standar. Ia mengatakan, jumlah psikiater di Indonesia 1.221 orang atau 1: 223.587 penduduk, dengan sebaran 70% di Pulau Jawa dan 30% di Jakarta. Adapun jumlah psikolog klinis di Indonesia 3.351 orang atau 1:81.468 penduduk.

“Untuk hal ini, Kemenkes sudah mendorong pusat-pusat pendidikan spesialis kedokteran jiwa dan psikolog untuk melakukan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kuantitas dari lulusan,” ucapnya.

Menurut Vensya, sejak 2017 Kemenkes juga melatih sekitar 300 dokter umum di puskesmas. “Kendala yang terjadi adalah cepatnya mutasi dan rotasi pegawai di puskesmas, sehingga diperlukan bantuan pelatihan bersumber dana APBD,” ujarnya.

Di sisi lain, Diah mengatakan, penanganan ODGJ pada remaja umumnya sama dengan kelompok usia lain. Awalnya, perlu dilihat terlebih dahulu fase gangguan jiwa yang dialami pasien.

“Apakah itu gangguan cemas, depresi, psikotik, neurotik, trauma psikologis, dan sebagainya,” kata Diah.

“Penanganannya tergantung sama gejala-gejala yang terlihat, misalnya dia ada bipolar. Nah, itu bisa diberikan terapi yang komprehensif.”

Dalam penanganan ODGJ pada remaja, yang terpenting adalah peran keluarga. Menurutnya, jika keluarga tak mengerti, maka kondisi pasien semakin berat.

“Misalnya, dia (pasien) rada aneh perilakunya, adik-adiknya terus bilang ‘kamu kayak orang gila’. Nah, itu bisa menjadi tambah berat (kondisi pasien),” ucapnya.

“Jadi harus diberikan psikoedukasi kepada semua keluarga. Jangan dikucilkan, jangan distigma karena akan menyebabkan dia justru semakin terkucil dan gangguan jiwanya akan semakin berat.”

Infografik kesehatan jiwa. Alinea.id/Firgie Saputra

Sementara kata Kusuma, supaya bisa meminimalisir gangguan jiwa pada remaja, maka orang di sekitarnya perlu menempatkan mereka sesuai tahap perkembangannya. Misalnya, tak terlalu mengatur, tetapi tetap hadir dengan porsi yang cukup dalam memberikan pendampingan.

"Karena masih ada kerentanan remaja dalam mengambil keputusan, dalam memiliki pandangan itu masih cenderung impulsif atau tanpa pikir panjang," katanya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan, remaja yang tergolong ODGJ perlu segera mendapat penanganan. "Semakin cepat remaja dan orang tua datang berobat atau memeriksakan diri, kan kita jadi bisa tahu faktor-faktor terkait pola asuh di remaja itu seperti apa," ujarnya.

"Mungkin ada hal-hal yang bisa diperbaiki terkait sikap keluarga (terhadap) remaja (yang ODGJ).”

Kusuma pun menyarankan, orang di sekitarnya perlu memberikan empati, meski tak memahami apa yang mereka alami. Kemudian, menawarkan bantuan dengan memenuhi keinginan pasien. Misalnya, jika pasien meminta agar tetap diperlakukan sama atau meminta agar ceritanya didengarkan. Berikutnya, perlu peduli dengan kondisi kedaruratan di kesehatan jiwa.

"Misalnya saat ada potensi remaja tersebut memiliki pemikiran bunuh diri atau mungkin menyakiti diri sendiri atau menyakiti orang lain," katanya.

"Jadi itu yang perlu diwaspadai atau hati-hati juga.”

Berita Lainnya
×
tekid