sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Beleid baru dana BOS Nadiem: Diskriminatif, bukan solusi guru honorer

Menteri Nadiem Makarim merombak tata kelola dana BOS. Alokasi dana BOS untuk guru honorer dinilai melanggengkan keberadaan mereka.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Minggu, 23 Feb 2020 15:23 WIB
Beleid baru dana BOS Nadiem: Diskriminatif, bukan solusi guru honorer

Lebih 15 tahun menunggu kejelasan nasib. Hingga usia mendekati kepala empat, status sebagai guru PNS yang diimpi-impikan tak kunjung tiba. Nurbaiti tidak bisa memastikan nasibnya di hari-hari mendatang.

Guru honorer sekolah dasar di Cipinang, Jakarta Timur, itu bersyukur bisa mengantongi gaji setara Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta. Kebijakan itu berlaku sejak 2016. Nasib lebih buruk menimpa ribuan kolega dia di daerah lain yang hanya bisa membawa pulang uang antara Rp150.000 hingga Rp300.000 per bulan.

Meski mengaku beruntung, tiap Desember ia selalui dihantui rasa waswas. Saat itulah nasibnya setahun ke depan ditentukan. Ia harus menjalani serangkaian tes dan proses untuk perpanjangan kontrak sebagai guru honorer.

“Gaji (guru honorer) lebih besar (di Jakarta), tetapi setiap tahun kita dikontrak. Beda dengan di daerah (lain), walaupun (gaji) kecil, tetapi tidak ada bayang-bayang akan dipecat,” ujar Ketua Forum Honorer K2 Indonesia DKI Jakarta ini kepada reporter Alinea.id, Kamis (20/2).

Sebagai guru honorer, Nurbaiti kenyang dengan janji-janji manis pemerintah. Setiap tahun ada iming-iming janji pengangkatan guru honorer. Ia menyebut skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang belum jelas nasibnya. “Lagi-lagi kita meminta ke pemerintah jangan zalim dengan (guru) honorer,” ucapnya.

Karena itu, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengumumkan skema baru penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk guru honorer, ia tidak serta-merta mengamini. Nurbaiti berharap bukti, bukan wacana.

Di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (10/2) lalu, Nadiem menjelaskan mekanisme baru BOS memungkinkan sekolah mengalokasikan anggaran 50% dari dana yang mereka dapat untuk menggaji guru honorer. Mekanisme sebelumnya hanya memungkinkan alokasi untuk guru sebesar 15%.

Sejumlah hal dirombak, termasuk mekanisme penyaluran, alokasi, dan laporan. "Ini langkah utama Kemdikbud membantu menyejahterakan guru honorer," Nadiem menegaskan.

Sponsored

Untuk dapat menikmati penambahan gaji, seorang guru honorer harus memenuhi sejumlah syarat. Di antaranya memegang Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), belum memiliki sertifikasi pendidik, serta sudah tercatat di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sebelum 31 Desember 2019.

Timbulkan kecemburuan

Nurbaiti mempertanyakan berbagai persyaratan guru honorer penerima gaji dari dana BOS. Untuk mengantongi NUPTK, kata dia, guru honorer harus mengajar minimal lima tahun dan memperoleh SK Gubernur atau SK Bupati. Itu berarti harus berstatus PNS dulu. Honorer yang punya NUPTK yang bekerja di bawah tahun 2012.

“(Lalu) bagaimana nasib mereka yang (bekerja) di atas 2012, yang sudah bekerja sangat lama. Berarti ada kecemburuan dong. Ada keirian dari kawan-kawan (yang tidak punya NUPTK),” kata Nurbaiti.

Selama ini, banyak pemda tak segera mengeluarkan SK NUPTK karena takut diwajibkan membayar gaji guru honorer. Mengutip data mantan Ketua PB PGRI Didi Suprijadi, saat ini hanya 10% guru honorer yang memiliki NUPTK. Dari 1,1 juta guru honorer, kurang dari 100.000 yang mengantongi NUPTK.

Data berbeda dilansir laman kemdikbud.go.id: 2.656.095 guru telah mengantongi NUPTK dan 701.801 tidak memiliki NUPTK. Rincian status mereka: 1.607.480 PNS, 728.461 guru honorer sekolah, 458.463 guru tetap yayasan, 14.833 guru tidak tetap provinsi, 190.105 guru tidak tetap kabupaten/kota, dan 3.829 guru bantu pusat.

Kritik pedas disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim. Satriwan menilai, skema baru dana BOS itu kebijakan populis yang seolah pro guru honorer. Jika serius, kata dia, sebaiknya pemerintah menuntaskan persoalan PPPK yang telah diatur UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau ASN dan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.

Untuk menyelesaikan tenaga honorer, termasuk guru, pemerintah mendorong mereka yang memenuhi persyaratan untuk ikut seleksi CPNS. Bagi mereka yang berusia di atas 35 tahun, tersedia skema PPPK. Kebijakan ini digulirkan di era Kabinet Indonesia Kerja pimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, September 2018.

Satriwan menilai, Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler yang diteken Menteri Nadiem pada 5 Februari 2020 itu bukan obat mujarab persoalan laten guru honorer. Ia mencontohkan nasib para guru honorer yang lolos seleksi PPPK yang kini terombang-ambing karena belum ada penempatan.

Ia membandingkan nasib guru honorer yang lolos seleksi PPPK dengan guru PNS hasil seleksi CPNS tahun 2019 yang proses pengangkatannya berlangsung cepat. Ia menuntut pemerintah konsisten memenuhi janji.

Penderitaan berlapis

Menurut Satriwan, guru honorer yang mengajar di atas tahun 2012 menerima penderitaan berlapis. Pertama, mereka tidak boleh memperoleh gaji dari dana BOS karena belum memiliki NUPTK dan atau kebetulan sudah mengikuti sertifikasi guru. Ketiga, mereka belum ditempatkan meski sudah lolos seleksi PPPK.

Ini terjadi karena pemerintah pusat dan daerah masih tarik ulur terkait gaji mereka: akan dibebankan ke APBD atau APBN? “Itu yang saya sebut (PPPK) diskriminasi,” ujar Satriwan saat dihubungi Selasa (18/2).

Agar tidak menimbulkan diskriminasi, Pembina Federasi Guru dan Tenaga Honorer Swasta Indonesia (FGTHSI) Didi Suprijadi, meminta Kemendikbud merevisi persyaratan penggunaan dana BOS untuk alokasi gaji guru honorer. Menurut Didi, persyaratan cukup terdaftar di Dapodik, tidak perlu harus mengantongi NUPTK.

Guru bisa masuk daftar Dapodik setelah mengajar minimal selama dua tahun. “Disuruh kerja, iya. Tapi statusnya tidak diakui. Zalim enggak? Zalimlah,” ujar Didi di Jakarta Pusat, Sabtu (15/2).

Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana mengklaim, beleid baru dana BOS diharapkan menjawab keluhan gaji guru honorer. Ia menjelaskan, kajian dana BOS dilakukan sejak Nadiem Makarim masuk Kemendikbud sebagai bagian menteri Kabinet Indonesia Maju.

Ini kebijakan ketiga yang dikeluarkan Nadiem dalam kerangka "Merdeka Belajar". Kebijakan pertama, meliputi ujian sekolah berstandar nasional, ujian nasional, rencana pelaksanaan pembelajaran, dan peraturan penerimaan peserta didik baru zonasi, 11 Desember 2019. Disusul, kebijakan pembukaan program studi (prodi) baru, sistem akreditasi perguruan tinggi, perguruan tinggi negeri badan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar prodi.

Kebijakan tentang dana BOS dikeluarkan lebih cepat karena dinilai amat penting. "Pembiayaan di sekolah harus (segera) dieksekusi. Kepala sekolah kalau terlambat ketar-ketir. Harus bayar listrik, honor, dan macem-macem. Sering kepsek cari dana talangan. Kalau talangan kan sering beresiko. Kebijakan ketiga dituntut (segera) dikeluarkan,” ujar Ade di Jakarta Pusat, Sabtu (15/2).

Kecurigaan

Soal NUPTK menjadi syarat guru honorer penerima dana BOS, Didi Suprijadi justru curiga ada maksud di baliknya. Ini bukan kebetulan, tapi kesengajaaan. Karena, kata Didi, sebelumnya pemerintah dan DPR telah sepakat menghilangkan tenaga honorer. Di dalamnya termasuk guru honorer.

Kesepakatan menghapus tenaga honorer dicapai dalam rapat kerja antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) dengan Komisi II DPR dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), 20 Januari 2020. Disepakati menghapus tenaga kerja honorer di instansi pusat maupun daerah.

Penghapusan tenaga kerja honorer itu merujuk amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Transisi penghapusan status tenaga honorer berlangsung dari 2018 hingga 2023.

Karena itu, kebijakan Nadiem yang memperbesar alokasi dana BOS untuk gaji guru honorer dinilai bertolak belakang dengan kebijakan Kemen PAN-RB dan BKN. Selain melanggengkan keberadaan guru honorer.

Nadiem membantah hal itu. Nadiem menduga, ada kesalahan persepsi di tengah masyarakat soal penghapusan tenaga honorer tersebut. Penghapusan tenaga honorer itu tidak berlaku bagi guru honorer.

"Kalau saya enggak salah, penghapusan honorer itu seperti yang disampaikan Men PAN-RB itu (honorer) yang di pemerintah pusat. Bukan di sekolah. Karena (guru honorer) kewenangan kepala sekolah yang mengangkat dan dinas daerah yang mengontrol sekolah dia," kata Nadiem di Gedung Kemendikbud, Rabu (12/2).

Apresiasi

Terlepas dari aneka kritik, Didi Suprijadi mengapresiasi perubahan pengelolaan dana BOS yang diinisiasi 'Mas Menteri' Nadiem. Dalam beleid yang baru, 'Mas Menteri' Nadiem merubah tata kelola dana BOS. Bukan hanya penggunaan, tapi juga alur penyaluran, nilai satuan, dan mekanisme pelaporan.

Jika semula pelaporan dana BOS berjenjang (dari sekolah ke tim BOS kabupaten/kota, lalu ke provinsi), kini pelaporan lebih fleksibel. Sekolah bisa melaporkan secara daring melalui laman: https://bos.kemdikbud.go.id. Untuk menjaga akuntabilitas, sekolah harus mempublikasikan penerimaan dan penggunaan dana di papan informasi sekolah atau tempat lain yang mudah diakses masyarakat.

Penyaluran dana BOS juga lebih ringkas. Jika sebelumnya dana BOS ke sekolah disalurkan dari Kemenkeu melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) provinsi, kini langsung ke rekening sekolah. Frekuensi penyaluran kini menjadi tiga kali per tahun, dari sebelumnya empat kali.

Selama ini, kata Didi, tata kelola dana BOS rumit. Karena itu, banyak orang tidak mau didapuk sebagai kepala sekolah. Di sekolah, pelaporan dana BOS biasanya dibebankan kepada guru. Tidak jarang pula, karena minim anggaran, guru yang bersangkutan merangkap menjadi tenaga tata usaha.

Pelaporan dana BOS telah menambah pekerjaan administrasi guru yang tidak pernah diajarkan bagaimana membuat laporan keuangan, rencana anggaran, dan surat perjalanan dinas. Ini semua jadi titik rawan. "Selain itu, guru tidak konsen dengan pembelajaran karena disibukkan membuat laporan," kata Didi.

Selama ini, kata Didi, pencairan dana BOS juga sering terlambat. Bahkan hingga molor berbulan-bulan. Sebagai penanggung jawab, kata Didi, kepala sekolah harus jungkir balik mencari dana untuk melunasi tagihan listrik dan mengganti perlengkapan sekolah yang rusak.

“Yang paling sedih adalah guru honorer. Jadi, kalau belanja pegawai, honorer itu paling terakhir. Kalau ada sisa. Bayangkan, sudah menunggu dari Januari, tetapi tidak ada-ada, dan itu selalu berulang tiap tahun,” ucap Didi.

Pertaruhan kesejahteraan guru

Kritik lain adalah perbesaran alokasi dana BOS untuk guru honorer yang pembiayaannya bersamaan dengan 11 item lain penggunaan dana BOS. Masalahnya, kata Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifah Amaliah, 11 item lain itu juga amat penting bagi sekolah. Soal penerimaan peserta didik baru dan pemeliharaan sekolah misalnya.

Karena itu, meskipun porsi gaji guru honorer 50% dari dana BON, kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, tetap saja gajinya menyusut. Pemeliharaan sarana-prasarana sekolah, kata dia, selama ini diberikan Dana Alokasi Khusus fisik untuk rehabilitasi skala sedang sampai berat. Anggaran ada di Kementerian PUPR.

Skema rehabilitasi atau perbaikan, jelas Ledia, adalah perbaikan sekolah, bukan kelas. Masalahnya, kebutuhan sekolah seringkali perbaikan kelas per kelas. "Seringkali kasus kelas bocor diperbaiki dengan anggaran BOS dan biasanya (anggarannya) merembet (makin besar),” ujar Ledia di Jakarta Pusat, Sabtu (15/2).

Di sisi lain, Ledia sering menemukan banyak sekolah yang PNS hanya kepala sekolah. Akibatnya, alokasi dana BOS untuk guru honorer lebih kecil lagi. Ia setuju usulan syarat NUPTK bagi guru honorer penerima dana BOS dihapuskan. Ia juga mendesak Kemendikbud menverifikasi sekolah penerima dana BOS dengan cermat karena menyangkut hak guru honorer. Termasuk memperketat pengawasan agar tidak ada penyelewengan.

Sementara itu, pemerhati pendidikan Asep Sapa’at menganggap peningkatan persentase porsi dana BOS untuk guru honorer tidak secara otomatis mensejahterakan guru. Sebab, kesejahteraan guru honorer menyangkut kebutuhan hidup dan kemerdekaan mengembangkan profesionalisme.

Nasib kesejahteraan guru honorer amat tergantung dengan kemampuan kepala sekolah mengelola dana BOS. Kepala sekolah, kata dia, perlu pembekalan bagaimana perencanaan, monitoring anggaran, hingga rekomendasi perbaikan pelaporan agar dana BOS bisa tersalurkan manfaatnya secara optimal.

Asep mengatakan, penyaluran dana BOS langsung ke rekening sekolah berguna untuk menguji kapasitas kepala sekolah terkait visi, prioritas kebijakan anggaran hingga strategi pengelolaan anggaran.

“Misalnya kepala sekolah tidak memiliki visi atau tidak mengetahui tentang strategi, (atau) tujuannya itu tidak paham. Artinya, itu berbahaya,” ujar Asep di Jakarta Pusat, Sabtu (15/2).

Infografik Dana BOS untuk guru honorer. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid