close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi nyeri otot. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi nyeri otot. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 21 Oktober 2025 11:07

Cara mengatasi nyeri pada otot yang muncul tiba-tiba

Nyeri otot tak kunjung reda? Mungkin penyebabnya trigger point. Kenali gejalanya dan cara tubuh meminta perhatian lewat rasa sakit.
swipe

Di balik otot yang tampak biasa, tersembunyi simpul-simpul kecil yang bisa menjadi sumber nyeri luar biasa. Dalam dunia medis, simpul ini dikenal sebagai trigger point—nodul kecil yang sangat sensitif dan bisa dirasakan seperti “knot” atau simpul keras di dalam pita otot yang tegang.

Ketika disentuh atau ditekan, area ini bisa menimbulkan sensasi nyeri yang tajam atau tumpul. Terkadang di lokasi yang sama, kadang justru di bagian tubuh lain yang terhubung oleh saraf. Bagi kebanyakan orang, rasanya seperti rasa sakit yang sulit dijelaskan—campuran antara nyeri otot, keram, dan tekanan tak kunjung reda. 

Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti mulai menautkan trigger point dengan berbagai kondisi kronis: myofascial pain syndrome (gangguan nyeri otot dan jaringan ikat), sakit kepala tegang (tension-type headache)—terutama pada perempuan, migrain, nyeri leher kronis, dan nyeri punggung bawah.

Istilah “myofascial trigger point” sendiri baru diciptakan pada tahun 1950-an. Namun, penelitian yang berfokus pada penyebab biologis dan cara penanganan efektifnya baru mulai berkembang beberapa dekade terakhir. Itu sebuah kemajuan penting mengingat betapa umum kondisi ini dialami banyak orang.

“Sekitar 85 persen orang akan mengalami nyeri myofascial di suatu titik dalam hidupnya, dan sering kali itu melibatkan trigger point,” ujar Dr. Shana Margolis, spesialis rehabilitasi medik dari Northwestern Medicine, Chicago," seperti dikutip dari National Geographic, Selasa (21/10). 

Titik-titik pemicu nyeri bisa muncul karena banyak hal: cedera, trauma, atau beban gerakan berulang. Namun, kebiasaan sederhana seperti duduk membungkuk di depan komputer juga bisa menjadi pemicunya. Begitu pula olahraga berlebihan tanpa cukup waktu pemulihan.

Setiap kali itu terjadi, otot tertentu menjadi terlalu lelah, kemudian “macet” dalam posisi kontraksi. “Trigger point biasanya muncul saat otot bekerja terlalu keras dan gagal kembali rileks. Serat-serat ototnya tetap menempel rapat dan membentuk nodul,” jelas Margolis.

Sebuah hipotesis baru yang dimuat di International Journal of Molecular Science mengusulkan bahwa trigger point mungkin muncul karena kegagalan mekanisme perlindungan alami tubuh—mekanisme yang biasanya mencegah aktivitas otot berlebihan atau penumpukan ion kalsium yang bisa merusak sel otot.

“Kita belum tahu pasti bagaimana trigger point terbentuk,” kata Dr. Jennifer Hankenson, spesialis rehabilitasi dari Yale School of Medicine. “Tetapi diyakini ada kaitannya dengan regangan kronis atau beban berlebihan pada otot. Tekanan jangka panjang ini menimbulkan perubahan kimiawi di dalam otot yang akhirnya menyebabkan reseptor nyeri menjadi terlalu sensitif.”

Akibatnya, rasa sakit yang dirasakan sering kali jauh lebih besar daripada cedera fisik yang sebenarnya. Dalam beberapa kasus, nyeri juga disertai kekakuan, kelemahan otot, penurunan fleksibilitas, dan bahkan batas gerak tubuh yang menyempit.

Tidak seperti penyakit lain, trigger point bukanlah diagnosis medis tunggal. Tidak ada tes darah, pencitraan MRI, atau alat khusus yang bisa mendeteksinya secara pasti. Metode yang paling umum digunakan adalah palpasi—menyentuh dan menekan otot untuk mencari area yang terasa keras atau menimbulkan “lonjakan” nyeri.

Jika dokter menekan suatu titik dan pasien meringis, menarik napas tajam, atau tubuhnya refleks menegang, itu menjadi indikasi kuat adanya trigger point.

Setidaknya, ada dua jenis utama trigger point. Pertama, active trigger point, yang terasa sakit bahkan tanpa disentuh. Kedua, latent (pasif) trigger point, yang hanya terasa nyeri ketika ditekan langsung.

Tekanan pada active trigger point bisa memicu reaksi tubuh otomatis: keringat, kemerahan di kulit, atau rasa pusing ringan. Keduanya juga bisa menyebabkan referred pain—nyeri yang menjalar ke area lain dari tubuh.

Ada juga satellite trigger points, yaitu titik-titik sekunder yang muncul karena pengaruh nyeri utama. Misalnya, nyeri dari bahu menjalar hingga siku, atau dari punggung bawah ke bokong. Biasanya, ketika trigger point utama berhasil diatasi, titik-titik satelit ini juga ikut menghilang.

Selain faktor fisik, stres dan kecemasan juga diduga memperparah munculnya trigger point. Kekurangan vitamin dan mineral seperti B12, zinc, dan magnesium pun berperan memperlemah sistem otot.

Meski sering disamakan, trigger point berbeda dengan tender point—daerah yang terasa nyeri di otot atau sekitar sendi, namun tidak di dalam serat otot itu sendiri. Tender point adalah ciri khas fibromyalgia, gangguan kronis yang menimbulkan nyeri luas di seluruh tubuh.

Trigger point bisa menimbulkan refleks kedutan (twitch) saat ditekan, sedangkan tender point tidak. Trigger point bisa muncul di otot mana pun, sedangkan tender point hanya muncul di 18 lokasi simetris di tubuh. Trigger point dapat menyebabkan nyeri menjalar, sedangkan tender point tidak.

“Membedakan keduanya penting karena arah pengobatannya berbeda,” jelas Kiran Rajneesh, ahli saraf dan manajemen nyeri di The Ohio State University Wexner Medical Center. 

Ilustrasi pengobatan tradisional pijat. Alinea.id/Aisya Kurnia

Cara mengatasi 

Tidak ada satu terapi yang cocok untuk semua. Mengatasi nyeri akibat trigger point sering kali adalah proses coba-coba—menemukan kombinasi yang paling sesuai untuk tubuh masing-masing.

Untuk tahap awal, perawatan mandiri bisa membantu: kompres hangat atau dingin (sesuai kenyamanan), krim analgesik topikal, dan obat antiinflamasi nonsteroid seperti ibuprofen atau naproksen.

Pijat mandiri juga efektif—gunakan alat pijat listrik, bola tenis, atau foam roller pada area yang sakit. Selain itu, memperbaiki postur tubuh dan ergonomi kerja menjadi hal penting.

“Kita hidup di dunia yang membuat kepala dan bahu selalu condong ke depan,” ujar Margolis. “Membiasakan postur tubuh yang benar bisa mencegah banyak masalah.”

Rajneesh menambahkan: “Tidur cukup, hidrasi yang baik, dan konsumsi mikronutrien seperti kalsium, magnesium, zinc, dan tembaga—semuanya berperan dalam mempercepat pemulihan dan menenangkan spasme otot.”

Pilihan berikutnya meliputi fisioterapi, terapi manual seperti teknik “spray and stretch” (menyemprotkan pendingin sebelum otot diregangkan), stimulasi listrik, atau terapi ultrasound yang mengirimkan panas dalam untuk meningkatkan aliran darah dan relaksasi otot.

Di tahap yang lebih lanjut, dokter bisa melakukan suntikan titik pemicu (trigger point injection)—menggunakan steroid atau anestesi lokal seperti lidokain. “Suntikan ini bisa membantu melepaskan titik pemicu,” jelas Rajneesh.

Penelitian juga menunjukkan bahwa berbagai terapi fisik seperti pijat, akupunktur, elektroakupunktur, dan dry needling bisa membantu mengurangi nyeri akibat trigger point. Namun, masih ada perdebatan: apakah efektivitas akupunktur itu biologis atau sekadar plasebo?

Pendekatan terbaru adalah Platelet-Rich Plasma (PRP)—terapi dengan menyuntikkan trombosit pasien sendiri ke area nyeri untuk menstimulasi penyembuhan dan regenerasi jaringan. “PRP bisa membantu mengelola trigger point kronis,” ujar Rajneesh. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan