close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gubernur Jawa Barat (Dedi Mulyadi) berbincang dengan anak-anak bermasalah yang tengah mengenyam pendidikan karakter di salah satu barak militer. /Foto Instagram @dedimulyadi71
icon caption
Gubernur Jawa Barat (Dedi Mulyadi) berbincang dengan anak-anak bermasalah yang tengah mengenyam pendidikan karakter di salah satu barak militer. /Foto Instagram @dedimulyadi71
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 22 Mei 2025 16:00

Dampak psikologis dari tren menakut-nakuti anak ala Kang Dedi

“Hayo, siapa yang anak-anakku enggak mau mandi…”
swipe

Belakangan ini, penggunaan potongan video Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi—yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi atau KDM—sebagai alat untuk menakut-nakuti anak oleh beberapa orang tua menjadi semacam “tren”. Tak terkecuali di kalangan publik figur.

Dalam potongan video pendek itu, Dedi memperingatkan anak-anak yang malas mandi, tidak mau tidur, malas makan, atau tidak patuh terhadap orang tua bakal dijemput.

“Hayo, siapa yang anak-anakku enggak mau mandi, siapa yang enggak mau makan, siapa yang enggak mau tidur, siapa yang susah bangun, siapa yang enggak mau ke sekolah, siapa yang jajan terus. Awas ya, kalau sampai melawan orang tuanya, enggak patuh, pengen jajan terus, susah tidur, susah bangun, susah mandi, susah makan, malas ke sekolah, awas lho, Pak Gubernur datang nanti ke rumahnya ngejemput,” kata Dedi dalam potongan video pendek yang berlatar belakang sawah itu.

Tak jarang, anak-anak yang ditunjukan video tersebut ada yang menangis, ada yang lari bersembunyi, tetapi ada juga yang langsung melakukan sesuatu yang diperintahkan orang tuanya.

Kelakar Kang Dedi itu terkait dengan program mengirim pelajar di Jawa Barat yang dicap “nakal” ke barak militer untuk menjalani pendidikan karakter selama kurang-lebih dua minggu. Program itu sudah dijalankan sejak awal Mei.

Praktik yang kelihatan sepele itu, menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga Sani Budiantini Hermawan merupakan bentuk pola asuh yang mengandung unsur ancaman dan intimidasi. Dia menegaskan, metode semacam itu bisa berdampak negatif terhadap psikologis anak, terutama dalam membentuk relasi antara anak dan orang tua.

“Orang tua yang suka mengancam anaknya akan membuat anaknya juga suka mengancam. Anak bisa kehilangan rasa percaya terhadap orang tua, bahkan tidak lagi menghormati mereka,” kata Sani kepada Alinea.id, Rabu (21/5).

Tak hanya itu. Sani menyebut, metode menakut-nakuti berisiko membuat anak menjadi tertutup terhadap perasaan maupun masalahnya.

“Anak bisa saja mulai menyembunyikan sesuatu dari orang tuanya, takut berbicara jujur, bahkan bisa tumbuh menjadi pribadi yang penuh kecemasan,” tutur Sani. 

Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani ini pun tidak sepakat anggapan anak nakal bawaan. Menurut dia, perilaku yang dianggap nakal oleh orang tua umumnya berasal dari proses eksplorasi anak yang belum diarahkan secara tepat.

“Maka peran orang tua adalah membimbing, bukan menghukum,” ucap Sani.

Sementara itu, psikolog klinis forensik A. Kasandra Putranto menyebut, kenakalan remaja adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan perilaku menyimpang pada anak. Umumnya terkait dengan motivasi belajar, pergaulan, mengonsumsi zat terlarang, hingga tawuran.

Klasifikasi kenakalan remaja ini, menurutnya, punya perbedaan yang signifikan di setiap negara di dunia. Di Indonesia, kata dia, kenakalan remaja umumnya terkait motivasi belajar, bolos sekolah, mengemudi di bawah umur, menyalahgunakan zat terlarang, merokok, narkoba, minum alkohol, kekerasan atau perundungan, tawuran, seks bebas, dan LGBT.

Oleh karenanya, pendekatan orang tua sangat berpengaruh dalam mencegah terbentuknya perilaku menyimpang sejak dini.

Kasandra yang terlibat dalam melakukan pemeriksaan psikologi awal dan akhir program di barak Resimen Induk Komando Daerah Militer (Rindam) III Siliwangi, Kabupaten Bandung itu menjelaskan, untuk mengatasi maslaah perilaku, harus menggunakan metode perubahan perilaku.

Salah satu teknik yang umum digunakan adalah metode behavioristik, dengan menggunakan reward (hadiah) dan punishment (hukuman).

“Jadi menggunakan fear (rasa takut) dalam pola membentuk perilaku adalah hal yang lazim, tetapi tentu saja dampak psikologis setiap orang (anak) pasti berbeda-beda saat menyerap pesan,” ujar Kasandra, Rabu (21/5).

Bagaimana seharusnya?

Menurut Sani, pola yang sehat dan terbuka jauh lebih efektif dalam membangun karakter anak. Orang tua perlu memahami kepribadian anak, menyesuaikan waktu, serta cara dalam menyampaikan teguran.

“Setiap anak punya karakter berbeda. Ada yang lebih nyaman diajak bicara saat suasana tenang, ada yang perlu pendekatan lewat aktivitas bersama,” kata Sani.

“Intinya, orang tua harus bisa berkomunikasi secara dua arah dengan penuh empati.”

Dia juga menekankan pentingnya penerapan pola asuh yang demokratis. Bagi Sani, mendidik anak tidak cukup hanya dengan memberi perintah atau ancaman. Namun lewat proses dialog yang membangun kesepahaman bersama.

“Orang tua harus jadi partner anak, bukan hakim. Kalau ada perilaku yang tidak sesuai, tergurlah dengan data, bukan asumsi. Jangan pula memojokkan anak atau membuatnya merasa bersalah secara berlebihan,” kata Sani.

Sani menyarankan agar orang tua membangun hubungan yang lebih dekat dengan anak melalui pendekatan yang persuasif, bukan intimidatif.

“Orang tua harus mengenal lingkaran sosial anak, berteman dengan teman-teman anak, sehingga komunikasi lebih cair dan anak merasa nyaman untuk terbuka,” ucap Sani.

Lebih lanjut, Sani mengatakan, pentingnya proses “tarik-ulur” dalam pola asuh.

“Kadang orang tua perlu mendekat, lalu memberi ruang, kemudian mendekat lagi,” ujar Sani.

“Dinamika ini penting untuk memberikan anak kesempatan belajar sekaligus tetap merasa didampingi.”

Sedangkan Kasandra menyarankan agar orang tua menghindari pendekatan satu arah, tanpa memahami dampak jangka panjangnya. Sepengalamannya, Kasandra menyaksikan bagaimana tekanan psikologis dari rumah kerap menjadi pemicu kenakalan remaja.

“Kalau orang tua bingung menghadapi perilaku anak, langkah paling tepat adalah berkonsultasi dengan psikolog yang memiliki kompetensi dan izin praktik,” tutur Kasandra.

“Jangan asal mengikuti tren yang belum tentu aman secara psikologis.”

img
Muhamad Raihan Fattah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan