sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ilmu pengetahuan yang dibelenggu kolonialisme

Buku karya Andrew Goss ini dinilai gagal menggambarkan sejarah ilmuwan dan ilmu pengetahuan secara komprehensif.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 02 Mei 2019 20:00 WIB
Ilmu pengetahuan yang dibelenggu kolonialisme

Akhir abad ke-19, riset sejarah alam berbasis laboratorium kian populer. Penelitiannya menitikberatkan pendekatan eksperimental, yang kemudian merambah ke ranah kajian anatomi, morfologi, dan makhluk hidup.

Metode penelitian termutakhir, seperti genetika, kimia organik, dan kristalografi memengaruhi terciptanya disiplin ilmu biologi yang terpisah dari sejarah alam pada awal abad ke-20. Para petinggi pemerintah kolonial kerap meminta bantuan para ilmuwan di bidang sejarah alam maupun disiplin ilmu biologi, saat menemui beragam masalah.

“Para naturalis dari sudut pandang negara kolonial berguna sebagai manajer ahli alam tropis dengan segala kerumitannya. Pemerintah kolonial mempekerjakan ahli kehutanan Jerman yang menguasai teknik-teknik, kemudian untuk memperluas kendali negara atas hutan-hutan yang ada di Jawa dengan merancang berbagai mekanisme yang legal dan birokratis,” tulis Andrew Goss dalam bukunya Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru (2014).

Mereka, tulis Goss, merupakan kelompok ilmuwan profesional pertama di Hindia Belanda. Ketua Departemen Sejarah, Antropologi, dan Filsafat di Augusta University, Georgia, Amerika Serikat ini menyebut mereka sebagai floracrat.

Floracrat berasal dari Bahasa Latin dan Yunani kuno, yakni flora artinya bunga dan kratos artinya kekuasaan. Istilah ini merujuk pada gambaran para ilmuwan yang berkarier dan berkarya dengan “dikte” pemerintah kolonial.

Ilmu pengetahuan untuk menjajah

Bedah buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan; dari Hindia Belanda sampai Orde Baru di Museum Nasional, Jakarta Pusat. /facebook.com/museumnasionalindonesia.

Menurut Tod Jones dalam buku Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Era Reformasi (2015), para ilmuwan bagai alat yang tak bisa dipisahkan dari lembaga yang dibentuk pemerintah kolonial.

Banyak petinggi pemerintah kolonial, tulis Jones, yang memanfaatkan kekuatan lain untuk mengatur wilayah mereka. Mereka belajar aneka bidang keilmuan, seperti antropologi demi kepekaan terhadap kebudayaan, mengasah keterampilan politik khas kawasan Asia, dan merancang strategi kebijakan politik kebudayaan untuk mengendalikan tatanan kehidupan masyarakat.

“Hierarki ras jauh lebih penting untuk lembaga kebudayaan yang memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan alam. Koleksi ilmu alam, termasuk disiplin-disiplin yang bermunculan, seperti etnologi, antropologi, geologi, dan arkeologi, tersedia untuk negara kolonial sebagai alat-alat pendidikan terstruktur yang mengutamakan konsep evolusi Darwin, dengan kesamaan luas untuk taksonomi budaya di Hindia Timur Belanda,” tulis Tod Jones.

Segala usaha itu bertujuan mengukuhkan kembali adanya klasifikasi strata sosial berdasarkan ras. Hasil akhir yang diharapkan, masyarakat kolonial percaya urutan kelas sosial, yang memposisikan ras kulit putih sebagai kelompok paling terpandang.

Maka, perkembangan ilmu pengetahuan di Hindia Belanda seringkali digambarkan dengan nada pesimis. Sebab, ilmuwan dan ilmu pengetahuan terbelenggu kepentingan pemerintah kolonial.

Menurut Goss, lembaga botani Belanda tak pernah mampu menjadi pesaing kehebatan Inggris dan Prancis. Bahkan, setelah 1850, lembaga-lembaga ilmiah di Hindia Belanda nyaris semuanya terbebas dari pengawasan ilmiah Eropa.

Transisi dari sejarah alam menuju disiplin ilmu biologi sepenuhnya terjadi di luar universitas. Goss menyebut, belum ada satu pun lembaga pendidikan tinggi di Hindia Belanda yang menawarkan biologi sebagai bidang studi hingga akhir 1940-an.

Para penjelajah berkedok naturalis dan orang-orang terpelajar amatir, tergantikan dengan lembaga ilmiah pada abad ke-19. Namun, beberapa naturalis masih eksis hingga abad ke-20. Misalnya, tulis Goss, pada 1929 para naturalis dari Asosiasi Sejarah Alam Hindia Belanda menerbitkan Jurnal De Tropische Natuur yang punya 1.000 pelanggan.

Lebih lanjut, Goss menulis, pelembagaan keahlian ilmu pengetahuan yang dipelopori floracrat, merangkai pola awal dari ahli kina. Puncaknya, saat perluasan Kebun Raya Buitenzorg (Bogor) pada 1900-an. Tempat ini dikenal dengan nama Lands Plantentuin, yang berarti Kebun Taman Negara.

Melchior Treub, seorang direktur termasyhur tulis Goss, mengubah lembaga yang semula dibuat demi kesenangan para gubernur jenderal, menjadi simbol kolonialisme. Meski terjadi pergeseran dari pengetahuan sejarah alam yang dihimpun para naturalis, menjadi berbagai disiplin keilmuan para ilmuwan profesional boneka pemerintah kolonial.

Walau demikian, masih banyak pengecualian yang menampik klaim kalau ilmuwan dan ilmu pengetahuan sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah kolonial.

“Inisiatif ilmu biologi populis berhasil menciptakan disiplin ilmu ekologi pada awal abad ke-20. Meskipun pada 1920-an sebuah observatorium di Jawa Barat didirikan oleh pengusaha perkebunan Belanda, K.A.R Bosscha, patronasi ilmu pengetahuan swasta ini adalah satu pengecualian,” tulis Goss.

Kapitalisme

Sebelum pemerintah kolonial mengakomodir ilmuwan dan ilmu pengetahuan dalam wadah kelembagaan, beberapa gubernur jenderal memegang peran sebagai donatur. Misalnya, Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Johannes Camphuys yang mempekerjakan ahli botani terkemuka Georg Eberhard Rumpf (Rumphius) pada abad ke-17. Rumphius menyusun mahakarya Herbarium Amboinense, yang menunjukkan keselarasan antara keilmuan di Hindia Belanda dan di Eropa.

Selain Camphuys, Gubernur Jenderal Jacob Cornelis Matthieu Radermarcher juga memendam gairah intelektual pencerahan Eropa. Ia pun mendirikan kelompok Bataviaasch Genootschap der Konsten en Wetenschappen (Kelompok Seni dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Batavia) pada 1778.

Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles juga ikut mengukir namanya dalam khazanah keilmuan Hindia Belanda, dengan menyusun karya kondang The History of Java. Di sisi lain, perkembangan keilmuan di Hindia Belanda terbantu pula dengan peran dari donatur swasta.

Mahakarya Alfred Russel Wallace The Malay Archipelago takkan tersusun jika masyarakat Eropa, terutama Inggris, belum masuk abad pencerahan (aufklarung). Sebab, selain memperoleh spesimen sejarah alam, dengan membawa pulang lebih dari 125.000 spesimen mamalia, reptil, burung, kupu-kupu, kumbang, dan berbagai jenis serangga lainnya, Wallace menyalin mahakaryanya untuk membiayai petualangan ilmiahnya. Terkait kapitalisme yang menggerakkan roda kerja keilmuan, memang kerap luput dari perhatian.

Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid pun membenarkannya sebagai kritik atas karya Andrew Goss.

"Yang hilang dari buku ini adalah penjelasan tentang kapitalisme," tutur Hilmar dalam bedah buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan; dari Hindia Belanda sampai Orde Baru di Museum Nasional, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Bila menilik sejarah Eropa, kata Hilmar, perkembangan kapitalisme atau sistem ekonomi yang perdagangan, industri, dan alat-alat produksinya dikendalikan pemilik swasta, dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar. Hal ini merupakan akar persoalan yang menjawab perbedaan mencolok sejarah ilmuwan dan ilmu pengetahuan di Eropa dan Indonesia.

Menurut Hilmar, bentuk kapitalisme di Hindia Belanda cenderung berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Sehingga, kata dia, ilmuwan dan ilmu pengetahuan cenderung terbelenggu kepentingan pemerintah kolonial. Sebaliknya, menurut Hilmar, di Eropa kapitalisme terhindar dari bayang-bayang pemerintah. Imbasnya, perkumpulan pegiat keilmuan yang tidak berafiliasi dengan pemerintah turut bermunculan.

"Kapitalisme di Hindia Belanda di bawah kekuasaan kolonial. Itu sebabnya, yang ada di Hindia Belanda berbeda dengan yang ada di Eropa, yang mana muncul banyak organisasi-organisasi independen. Waktu membaca buku itu, terpikirkan mengapa sains dan ilmu botani tidak bisa berkembang. Dan salah satu alasannya karena tidak muncul lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang independen," ujar Hilmar.

Jika melihat dinamika ilmu pengetahuan sosial saat ini, kata Hilmar, kita bisa menengok Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) , sebagai sebuah lembaga independen yang punya sumbangsih dalam memproduksi pengetahuan.

“Meskipun ilmu pengetahuan era kolonial sangat sentralistik, tetapi kita tidak boleh menihilkan produksi pengetahuan di luar lembaga pengetahuan bentukan pemerintah kolonial,” kata Hilmar.

Buku karya Andrew Goss ini dinilai gagal menggambarkan sejarah ilmuwan dan ilmu pengetahuan secara komprehensif. Sebab, dialektika yang dihadirkan terbatas pada kekuasaan yang membelenggu ilmuwan dan produksi pengetahuannya.

"Buku ini bertolak dari asumsi bahwa modernitas ini hanya mungkin dicapai melalui sains, jadi sains ini sebetulnya yang melahirkan modernitas. Itu asumsinya. Jadi ceritanya tentang kegagalan, sains yang tidak berhasil menghadirkan modernitas," kata Hilmar.

Berita Lainnya
×
tekid