Beragam riset menunjukkan bahwa binatang laut tak benar-benar bodoh: gurita dapat bermain, kepiting mampu membuat keputusan kompleks, dan ikan ternyata mampu mengenali diri di cermin.
Tak hanya itu, riset terbaru menunjukkan bahwa mahluk laut seperti lobster dan kepiting juga bisa merasakan sakit.
Candice Landau, editor majalah Scuba Diving, mengatakan para penyelam skuba sudah punya pengetahuan mengenai perilaku lobster dan kepiting yang bisa merasaan sakit. Di bawah air, para penyelam rutin berinteraksi dengan binadatang invertebrata itu.
"Namun, ironisnya, banyak penyelam justru gagal melihat ikan dan invertebrata sebagai makhluk yang mampu merasakan, walau mereka menyaksikan interaksi langsung yang menyiratkan sebaliknya," kata Landau seperti dikutip dari Psychologi Today.
Ketidakpekaan ini banyak bersumber dari warisan budaya dan mitos ilmiah lama. Selama bertahun-tahun, hewan tak bertulang belakang diperlakukan sebagai makhluk lebih rendah—tidak punya perasaan, apalagi kesadaran. Mereka dianggap hanya bertindak berdasarkan naluri semata.
Namun, studi-studi terbaru menunjukkan sebaliknya. Ikan terbukti memiliki nociceptor, reseptor saraf yang berfungsi mengenali rasa sakit. Mereka menunjukkan perubahan perilaku setelah terluka, dan bahkan belajar menghindari rangsangan menyakitkan di masa depan.
Hal serupa ditemukan pada invertebrata seperti gurita, kepiting, dan lobster. Mereka tak hanya memiliki respons refleks, tetapi juga membuat pertimbangan motivasional.
Kepiting pertapa, misalnya, meninggalkan cangkangnya saat terkena sengatan listrik, terutama jika tersedia cangkang alternatif yang lebih baik—menunjukkan adanya perhitungan risiko dan keinginan menghindari penderitaan.
Menurut Dr. Jonathan Birch, filsuf ilmu di London School of Economics (LSE), perilaku seperti ini merupakan indikator penting dari kesadaran hewan.
“Ada bukti ilmiah yang kuat bahwa krustasea dan cephalopoda mampu merasakan nyeri. Ini bukan sekadar refleks, tetapi pengalaman sadar,” ujarnya dalam laporan LSE tahun 2021.
Laporan setebal 108 halaman tersebut mengkaji lebih dari 300 studi ilmiah dan menyimpulkan bahwa hewan-hewan ini memenuhi delapan kriteria sentiens, di antaranya keberadaan nociceptor, reaksi protektif terhadap luka, hingga perilaku pembelajaran.
Berbekal temuan tersebut, pemerintah Inggris merevisi Undang-Undang Kesejahteraan Hewan mereka. Secara resmi, Inggris mengakui gurita, cumi-cumi, lobster, dan kepiting sebagai makhluk yang dapat merasakan. Selandia Baru pun telah memberikan perlindungan hukum terhadap invertebrata.
Seiring itu, beberapa kota di Italia melarang praktik merebus krustasea hidup-hidup, sementara Austria dan Jerman menekankan penyembelihan yang minim penderitaan.
Namun, di Amerika Serikat, krustasea dan cephalopoda belum dilindungi secara hukum. Acara seperti Maine Lobster Festival bahkan masih mempertontonkan praktik merebus lobster hidup-hidup secara terbuka. Saat ini, sejumlah organisasi menggugat praktik tersebut atas dasar kekejaman terhadap makhluk sentien.
“Ketika kita sudah tahu bahwa hewan bisa merasakan, mempertahankan praktik kejam atas nama tradisi bukan hanya tidak etis, tetapi juga tak bertanggung jawab secara moral,” kata Kristin Andrews, profesor etika hewan dari York University.
Sebagian besar dari kita mungkin tidak terbiasa melihat kesadaran pada makhluk tanpa wajah atau suara. Namun, empati tidak seharusnya terbatas pada hewan berbulu atau berdarah hangat.
Perasaan iba semestinya juga ada saat kita melihat mata majemuk seekor kepiting, dalam gerakan capit yang mundur pelan, atau pada seekor trumpetfish yang menyamar menjadi sampah laut.
“Jika hewan menghindari rasa sakit, belajar dari pengalaman buruk, dan responnya dapat ditekan dengan obat penghilang nyeri, maka kita punya bukti kuat bahwa mereka benar-benar merasakan,” kata Lynne Sneddon, ahli neurobiologi dari University of Gothenburg.