sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menjelajahi Mazhab Bandung lewat modernisme

Seni rupa di Bandung cepat bergeser pada aliran modernisme.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Minggu, 03 Mar 2019 03:06 WIB
Menjelajahi Mazhab Bandung lewat modernisme

Sebelum 1965, membuat lukisan abstrak tidaklah mudah. Bukan karena tingkat kesulitannya, namun dilarang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal itu juga dialami oleh orang-orang yang menandatangani Surat Kepercayaan Gelanggang pada 1950.
 
Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut, menurut Rizki, langsung dikonfrontasi oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) milik PKI. Isi surat yang menyatakan ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia,’ menjadi masalah bagi Lekra.
 
Namun, keadaan berbalik ketika Orde Lama runtuh. Seluruh seni yang berorientasi pada rakyat dilarang karena dinilai kental dengan nuansa Partai Komunis Indonesia (PKI). Orientasi seni kemudian langsung berubah ke seni modern.
 
“Patung-patung di MPR misalnya, yang tadinya patung Ganefo diubah jadi seni rupa modern. Dari situ berubah Bandung. Bandung yang enggak pernah kedengaran karena kecil itu, jadi naik namanya,” ujarnya.
 
Dalam perkembangannya, kehadiran Mazhab Bandung menimbulkan pertentangan dari seniman-seniman Mazhab Yogyakarta pada dekade 1970-an.

Jim Supangkat dalam “Sekitar Bangkit dan Runtuhnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”, yang diarsipkan oleh ivaa-online.org, menyebut pertentangan muncul karena perbedaan pendapat mengenai cara berkarya, khususnya melukis.

5 Officials karya Nyoman NuartaSeni Kaligrafi

Salah satu karya yang juga terinspirasi dari Bandung yakni karya seorang seniman bernama Abay D. Subarna. Dalam acara tersebut, Abay memamerkan karyanya berjudul Binar Cahaya Illahi Menyinari Alam Mayapada. Sebuah kaligrafi berisi potongan ayat suci Al-Quran dari Ayat Kursi atau Surat Al-Baqarah 2:255. 

Menurut Abay, ketertarikannya pada kaligrafi bermula saat Bandung menggelar Konferensi Islam Asia-Afrika pada 6 sampai 14 Maret 1965. Tiga tahun kemudian atau pada 1968, Abay lantas memilih kaligrafi Islam sebagai tesisnya di Seni Rupa ITB.

“Waktu tahun 1968 saya bikin tesis soal kaligrafi Islam. Di mana-mana belum ada yang bikin soal kaligrafi,” kata Abay di Galeri Salihara, Sabtu (2/3).

“Saya kebetulan waktu itu sedang membuat tesis dan melihat gaya tulisan arab itu bermacam-macam. Itu yang merangsang saya membuat tesis tentang kaligrafi.”

Menurut Abay, pameran ini adalah pameran pendahuluan atau perkenalan. Rencananya, di akhir Desember nanti, dia bersama rekannya bakal membuat pameran yang lebih besar lagi di Bandung, Jawa Barat.

Sponsored
Berita Lainnya
×
tekid