sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perkara syarat lowongan kerja diskriminatif

Syarat usia dalam lowongan pekerjaan dinilai diskriminatif.

Fery Darmawan
Fery Darmawan Selasa, 19 Mar 2024 17:50 WIB
Perkara syarat lowongan kerja diskriminatif

Seorang pemuda asal Bekasi, Jawa Barat, Leonardo Olefins Hamonangan mengajukan gugatan uji materi Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam sidang agenda mendengarkan permohonan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3), Leonardo menyebut, pasal 35 ayat (1) tersebut memuat syarat-syarat rekrutmen yang ditetapkan pemberi kerja bersifat diskriminatif, sehingga menghambat dirinya serta pelamar lain mendapatkan pekerjaan.

Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sendiri berbunyi, pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.

Dalam sidang pada Senin (13/3), seperti dikutip dari situs Mahkamah Konstitusi (MK), Leonardo mengatakan, Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menghasilkan keterbatasan akses dan kesempatan bagi tenaga kerja untuk mendapatkan pekerjaan sesuai keterampilan dan keahlian.

Pasal tersebut, menurutnya, bisa membuka pintu bagi potensi diskriminasi karena pemberi kerja dapat memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tak relevan dan diskriminatif, seperti usia, jenis kelamin, atau etnis.

Seorang warga Jakarta, Jacklin Jessy Kaunang, mengaku pernah menemukan syarat-syarat dalam lowongan pekerjaan yang menghambatnya mendapatkan kerja.

“Yang pertama umur, terus ada kayak pengalaman selama tiga tahun,” tutur Jacklin kepada Alinea.id, Selasa (19/3). “Kalau syaratnya kayak gini semua, gimana (nasib) yang fresh graduate kayak saya? Susah dong buat cari kerja.”

Akibatnya, ia mengatakan, ada beberapa pekerjaan yang akhirnya ia tak lamar lantaran mencantumkan syarat tertentu yang memberatkan. “Padahal (pekerjaannya) sesuai dengan bidang aku,” kata dia.

Sponsored

Seorang warga Jakarta lainnya, Mia Natalia, juga mengaku menemukan syarat kerja yang dinilainya diskriminatif saat melihat-lihat lowongan pekerjaan. Misalnya, lowongan pekerjaan untuk posisi administrasi di sebuah perusahaan.

“Admin (administrasi) itu kan harusnya enggak butuh umur terlalu tua, ya. Masa tulisannya di perusahaan A itu minimal 24 tahun, padahal ya tahu kan kerjaan admin itu ngapain aja,” ujar Mia, Selasa (19/3).

Menanggapi persoalan itu, pakar hukum ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak mengatakan, untuk mengisi jabatan pekerjaan tertentu, syaratnya memang harus sama. Tidak dibeda-bedakan.

“Tapi dalam pelaksanaan rekrutmen, perusahaan yang diskriminatif hanya menerima pendaftaran atau meluluskan dari etnis, agama, atau anggota kelompok tertentu,” ujar Payaman, Senin (18/3).

“Tidak menerima pendaftaran atau tidak meluluskan pelamar dari kelompok tertentu yang lain.”

Demi mengatasi indikasi diskriminasi dalam lowongan pekerjaan, Payaman menjelaskan, perusahaan mesti melakukan rekrutmen secara terbuka dan transparan. Bisa juga melalui lembaga atau tim rekrutmen yang independen.

Sementara itu, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengatakan, salah satu yang dianggap diskriminatif dalam syarat lowongan pekerjaan adalah usia. “Membatasi orang berdasarkan umur atau ages issue,” tutur Tadjuddin, Senin (18/3).

Tadjuddin menerangkan, membatasi seseorang berdasarkan umur awalnya dilandasi prasangka. Menganggap seseorang masih muda atau terlalu tua untuk sebuah pekerjaan. Akhirnya, terkadang hal ini menyebabkan seseorang yang mencari pekerjaan ke perusahaan-perusahaan tertentu punya prasangka perusahaan melakukan diskriminasi terhadap peluang kerja yang ada.

“Nah, sebenarnya yang paling penting dalam mencari kerja itu tidak hanya umur semata, yang penting kapabilitas, kemampuan, atau kompetensi seseorang,” ucap Tadjuddin.

“Orang dengan umur muda itu belum tentu kompetensinya rendah, dan orang dengan umur yang sudah relatif tua juga banyak pengalaman.”

Syarat lowongan pekerjaan yang diskriminatif, menurut Tadjuddin, antara lain penerimaan etnis atau agama tertentu saja. Ia pun menyebut diskriminasi yang bisa saja diterima calon karyawan di proses akhir penerimaan.

“Misalkan Anda lolos hingga seleksi akhir, tetapi banyak syarat yang kurang yang disebutkan oleh atasan. Mau enggak mau Anda harus berpikir kan, bagus enggak nih kalau dilanjutkan atau tidak. Nah, hal ini termasuk salah satu diskriminasi yang terselubung,” kata dia.

Menurut Tadjuddin, usia minimal pekerja adalah 18 tahun atau SMA dan tidak memiliki batasan usia di atasnya. Namun, seseorang boleh bekerja di bawah usia itu, jika punya syarat-syarat tertentu. Misalnya, seseorang adalah tulang punggung keluarga atau harus hidup untuk menafkahi diri sendiri.

“Hal itu boleh menjadi salah satu syarat untuk diajukan ke pemerintah agar dibolehkan bekerja,” kata Tadjuddin.

Bagaimana pun, kata dia, perusahaan tak boleh membatasi hak orang dalam bekerja. Jika membatasi, berarti perusahaan telah melanggar hak asasi manusia. “Karena setiap orang punya hak untuk hidup, hak untuk bekerja, dan hak untuk makan,” ujar Tadjuddin.

Akan tetapi, Tadjuddin mengakui, sulit untuk memastikan proses rekrutmen perusahaan tidak dipenuhi bias atau diskriminasi. Sebab, masing-masing perusahaan mempunyai kriteria tertentu dan standardisasi sendiri.

Sebaliknya, jika standardisasi suatu perusahaan tidak berjalan, kata dia, maka seseorang akan memiliki saingan yang tak sehat dalam pekerjaan. “’Ah, anak muda itu kok bisa sih masuk perusahaan sini. Ah, itu orang tua tahu apa sih soal beginian’. Itulah yang dapat menyebabkan konflik di internal perusahaan, jika kandidat yang dipilih tidak sesuai,” ujar dia.

Meski demikian, Tadjuddin tak pernah mendengar perusahaan ditutup imbas melakukan diskriminasi syarat lowongan pekerjaan. Namun, pernah ada yang mendapat teguran keras.

“Contohnya, ketika JNE membuka lowongan pekerjaan. Di situ tertulis, wajib beragama Islam. Padahal kompetensi seseorang itu tidak terpaut dengan etnis dan agama,” tutur Tadjuddin.

Diketahui, pada Desember 2021 ramai polemik soal poster lowongan kerja yang dinilai diskriminatif perusahaan logistik dan ekspedisi barang PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir atau JNE. Syarat lowongan itu diwajibkan beragama Islam. Poster lowongan tersebut sebenarnya dibuat mitra JNE, yakni CV. Bangun Benua Lestari. Lowongan kerja itu untuk kurir penempatan wilayah Tamiang Layang, Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.

Lebih lanjut, Tadjuddin mengemukakan, banyak dampak yang akan ditimbulkan dari syarat kerja yang diskriminatif terhadap pekerja dan perusahaan. “Mulai dari lingkungan yang tidak sehat hingga banyak orang yang enggan untuk melamar,” kata Tadjuddin.

Berita Lainnya
×
tekid