close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi camilan mengandung gula. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi camilan mengandung gula. /Foto Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 07 September 2025 17:00

Aspartam, sucralose, stevia: Seberapa aman pemanis buatan yang kita konsumsi?

Pemanis buatan seperti aspartam, sucralose, stevia, hingga monk fruit banyak ditemukan di minuman ringan dan camilan di Indonesia. Meski dipasarkan sebagai pilihan lebih sehat dari gula, riset menunjukkan dampaknya beragam terhadap metabolisme, berat badan, hingga risiko penyakit.
swipe

Ketika meraih makanan berlabel rendah gula atau rendah kalori, besar kemungkinan ada pemanis buatan atau berbasis tanaman di dalamnya. Dipasarkan sebagai alternatif yang lebih sehat dari gula, senyawa ini sejatinya bukan pengganti netral. Mereka berinteraksi dengan tubuh dalam cara yang jauh lebih kompleks daripada sekadar memangkas kalori.

Dengan gula biasa, enzim di usus halus memecahnya jadi glukosa dan fruktosa. Glukosa lalu dengan cepat masuk ke aliran darah. 

“Glukosa adalah bahan bakar utama otak,” kata Marion Nestle, profesor nutrisi di New York University, seperti dikutip dari National Geographic, Ahad (7/9). 

Ketika asupan gula berlebihan, sistem hormon yang mengatur glukosa jadi kewalahan. Akibatnya, metabolisme tubuh ikut kacau.

Kelebihan gula berhubungan dengan risiko penyakit lewat penambahan berat badan, peradangan, dan resistensi insulin. Itulah mengapa pakar kesehatan sering menganjurkan untuk mengurangi gula—dan mengapa banyak orang beralih ke pemanis alternatif. 

Persoalannya, riset terkini menunjukkan pemanis ini tidak sepenuhnya “netral”. “Mereka tidak hanya lewat begitu saja di tubuh kita,” ujar Susie Swithers, profesor ilmu saraf perilaku di Purdue University.

Pemanis ternyata bisa memengaruhi lebih dari sekadar rasa. Bukti menunjukkan mereka dapat berdampak pada berat badan, mikrobioma usus, hingga metabolisme. Tantangannya: sulit memastikan pemanis mana yang melakukan apa. 

Aspartame

Disetujui FDA sejak 1981, aspartame adalah senyawa sintetis hasil penggabungan dua asam amino. Rasanya 200 kali lebih manis dari gula, sehingga hanya butuh sedikit untuk memberi efek. Dikenal lewat merek NutraSweet atau Equal, aspartame hadir di soda diet hingga permen karet tanpa gula.

Begitu masuk tubuh, aspartame terurai di usus halus dan jarang sampai ke kolon. Karena itu, dampaknya ke mikrobioma usus dianggap minim, meski beberapa studi melaporkan pergeseran halus. Dalam jangka pendek, aspartame tidak menambah berat badan. Tapi dibanding air putih atau pemanis lain, perbedaannya kecil. Beberapa penelitian bahkan menduga ia bisa memicu rasa lapar lebih besar.

Studi pada hewan dengan dosis tinggi mengaitkannya dengan peningkatan sekresi insulin dan pengerasan arteri. Namun para ahli mengingatkan dosis itu jauh di atas konsumsi manusia. Meski begitu, riset observasional jangka panjang sempat menghubungkannya dengan kenaikan berat badan, lemak tubuh, hingga risiko kanker tertentu. Badan Kanker Dunia (IARC) pun mengklasifikasikan aspartame potensial "karsinogenik”. 

Ilustrasi gula pasir dan gula batu./Foto Bru-nO/Pixabay.com

Sucralose

Masuk pasar AS pada 1990-an lewat merek Splenda, sucralose diciptakan dengan mengganti tiga gugus hidroksil pada molekul gula dengan atom klorin. Hasilnya: 600 kali lebih manis dari gula dan tahan cerna—sebagian besar keluar lagi lewat feses.

Sejumlah studi pada orang sehat menunjukkan sucralose tidak memengaruhi respons glukosa. Namun, penelitian lain menemukan sebaliknya: ia bisa mengganggu kemampuan tubuh mengelola gula. Pada orang dengan obesitas, efek ini lebih terasa—dari gula darah lebih tinggi hingga sensitivitas insulin menurun.

Meski ada uji coba 12 minggu yang menunjukkan penurunan ringan berat badan, beberapa studi lain menemukan sucralose justru meningkatkan aliran darah ke hipotalamus, area otak yang mengatur nafsu makan.

Stevia

Berasal dari tanaman Amerika Selatan, stevia kerap dijual sebagai opsi “alami”. Rasa manisnya berasal dari senyawa steviol glikosida yang bisa 300 kali lebih manis dari gula.

Berbeda dengan aspartame atau sucralose, stevia mencapai kolon utuh, lalu dipecah bakteri usus jadi steviol sebelum diproses hati dan dibuang lewat urine. Beberapa studi menyebut proses ini dapat menguntungkan mikrobioma, meski hasilnya belum konsisten.

Dalam riset pada orang obesitas, stevia membantu menurunkan respons gula darah dan insulin setelah makan. Camilan dengan stevia juga terbukti menekan asupan kalori harian dan mencegah kenaikan berat badan. Namun, efeknya terhadap nafsu makan masih diperdebatkan.

Tidak semua bentuk stevia legal. Di AS dan Uni Eropa, hanya ekstrak steviol glikosida murni yang disetujui, sementara daun stevia utuh masih dilarang karena minim data keamanan.

Monk fruit

Pemanis alami lain adalah monk fruit, buah kecil dari Asia Tenggara dengan senyawa mogrosida V yang 200 kali lebih manis dari gula. FDA telah memberi status “aman” sejak 2010, sehingga kini banyak ditemukan di cokelat, sereal, hingga minuman ringan.

Sayangnya, studi manusia soal monk fruit masih terbatas. Uji kecil menunjukkan ia tak berbeda jauh dari pemanis lain maupun gula biasa dalam memengaruhi kalori harian, kadar gula darah, atau insulin. Studi pada hewan lebih menjanjikan, dengan indikasi efek antiinflamasi hingga potensi mencegah pertumbuhan sel kanker. Tapi semua itu masih butuh bukti kuat pada manusia.

Lebih sehat dari gula?

Baik pemanis buatan maupun alami, semuanya tetap punya satu kesamaan: rasa manis. “Reseptor manis bukan hanya ada di lidah, tapi juga tersebar di tubuh dan bisa memengaruhi metabolisme hingga respons insulin,” kata Swithers.

Itu sebabnya, sains belum memberi jawaban tegas apakah pemanis tertentu berbahaya, netral, atau malah bermanfaat. Bagi penderita penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, mengganti gula dengan pemanis bisa membantu.

Namun, pelajaran terbesarnya mungkin sederhana: kurangi rasa manis, dari sumber mana pun. “Tidak masalah berasal dari gula atau pemanis buatan,” kata Yanina Pepino, profesor nutrisi di University of Illinois. “Yang jelas, senyawa ini bukan sekadar lewat di tubuh. Manis, apa pun bentuknya, tetap punya efek fisiologis.”

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan