sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sulitnya bebas dari kebiasaan merokok

Walau sudah ada layanan upaya berhenti merokok (UBM), tetapi keberadaannya masih kurang populer.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Rabu, 22 Feb 2023 06:16 WIB
Sulitnya bebas dari kebiasaan merokok

Setahun belakangan, Bayu Purba Hanggara sudah meninggalkan kebiasannya merokok. Pria 28 tahun itu mengaku, mulai mengisap rokok sejak duduk di bangku SMA. Saat itu, ia berpikir, rokok tak ubahnya alat bersosialisasi dan membuatnya terkesan keren.

Namun, ketika sudah masuk dunia kerja, lingkungan pergaulan Bayu berubah. Di perusahaan lokapasar tempatnya mencari nafkah, ia satu tim dengan orang-orang yang mayoritas tak merokok. Seiring waktu, ia meninggalkan kebiasaan merokok.

“Itu semakin lama semakin ke-mindset ke diri saya. Dengan saya enggak merokok juga enggak masalah,” ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (17/1).

Motivasi dirinya agar selalu hidup sehat juga menguatkan niat Bayu berhenti merokok. “Secara agama pun, (rokok) itu banyak mudaratnya,” ujar Bayu.

Perilaku merokok

Ilustrasi berhenti merokok./Foto Pixabay.com

Usai berhenti merokok, Bayu merasa banyak dampak positif. Nafsu makannya bertambah. Kesehatannya pun jadi lebih baik. Ketika masih aktif merokok, ia sering sakit tenggorokan. Ia pun kini tak gampang lelah saat berolahraga.

Sudah hampir setahun Irfa Ulwan juga berhenti merokok. Janjinya kepada pacar yang jadi istrinya merupakan motivasi dirinya untuk meninggalkan kebiasaan merokok. Ia berhenti secara bertahap. Namun, sejak akhir Mei 2022 ia memutuskan total berhenti merokok.

Sponsored

“Kalau mengurangi rokok dulu kayaknya sama saja enggak bakal berhenti juga,” ucap pria 27 tahun yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat tersebut, Rabu (8/2).

Baik Bayu dan Irfa, berusaha berhenti merokok secara mandiri. Mereka tak pernah mengakses layanan berhenti merokok.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk merokok di Indonesia usia 15 tahun atau lebih pada 2022 sebesar 28,26%, menurun sedikit dibandingkan 2021 sebesar 28,96%. Sedangkan provinsi dengan persentase perokok usia 15 tahun atau lebih tertinggi pada 2022 adalah Lampung (33,81%), diikuti Nusa Tenggara Barat (33,2%), dan Bengkulu (32,16%).

 

 

Tahun lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merilis hasil survel global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey/GATS), yang dilakukan pada 2011 dan diulang pada 2021. Hasilnya, seperti dikutip dari situs web Kemenkes, jumlah perokok di Indonesia mengalami peningkatan sebanyak 8,8 juta orang—tahun 2011 sebanyak 60,3 juta dan 2021 menjadi 69,1 juta—dalam waktu 10 tahun.

Hasil survei tersebut juga menunjukkan, prevalensi perokok elektronik meningkat 10 kali lipat, dari 0,3% pada 2011 jadi 3% pada 2021. Soal label peringatan pada bungkus rokok, survei itu menyebut, angka keterpaparan terhadap peringatan kesehatan naik sedikit, dari 77,2% pada 2011 jadi 77,6% pada 2021.

Telah terjadi penurunan signifikan dalam memperhatikan iklan, promosi, atau sponsor rokok. Namun, hasil survei menunjukkan, terjadi pula peningkatan keterpaparan iklan rokok di internet, dari 1,9% pada 2011 jadi 21,4% pada 2021.

Meski begitu, ada kabar gembira dari survei GATS tersebut. Keinginan untuk berhenti merokok cukup tinggi, sebesar 63,4%. Sebesar 43,8% di antaranya masuk dalam kategori berupaya untuk berhenti merokok.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan, meski sudah menjadi wacana lama, tetapi pengendalian perilaku merokok di Indonesia masih lamban.

“Hal ini menyangkut industrialisasi rokok yang masif, tinggi, dan tumbuh sebagai suatu tantangan di Indonesia,” katanya, Kamis (16/2).

Menurut Hermawan, kalau pun pemerintah memiliki kebijakan menaikan cukai rokok, hal itu tak berarti bisa menghambat secara signifikan perilaku merokok. Sebab, perilaku merokok terkait pula dengan budaya di dalam keluarga dan lingkungan.

“Justru orang-orang yang berpengaruh, apakah itu orang tua, tokoh masyarakat, figur publik, itu tetap melakukan perilaku merokok di ruang-ruang terbuka,” ucapnya.

Perilaku tersebut menjadi contoh buruk bagi generasi muda. Hal itu, kata dia, menjadi tantangan dalam menekan jumlah perokok di Indonesia.

Project Lead for Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Iman Mahaputra Zein mengatakan, selain nikotin dalam kandungan rokok yang membuat orang kecanduan, mudahnya akses terhadap rokok membuat seseorang sulit berhenti merokok. Harga rokok pun masih terjangkau.

“Zona merokok yang masih bebas di mana saja dikarenakan belum meratanya penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) di Indonesia,” ucap Iman, Kamis (16/2).

Keberadaan KTR sesuai amanat Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Data Kemenkes menyebut, pada 2021 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia baru 417 kabupaten/kota yang punya kebijakan KTR.

“KTR, peringatan kesehatan bergambar, iklan promosi rokok (kebijakannya) ada di Kemenkes, tapi wewenang penerapannya juga ada di pemerintah daerah,” tutur Iman.

Layanan berhenti merokok

Ilustrasi berhenti merokok./Foto Pixabay.com

Menurut dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur Erlina Burhan pada dasarnya rokok menimbulkan efek kecanduan. Hal itu yang menyebabkan perokok sulit berhenti. Menghilangkan kecanduan sendiri membutuhkan waktu.

“Sementara orang yang mau berhenti merokok itu, maunya instan. Dalam artian, kalau ke dokter, langsung bisa (berhenti),” ujar dokter spesialis paru dari Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia (UI) itu, Jumat (17/2).

“Kan enggak bisa begitu, ada tahapan-tahapanya.”

Erlina mengibaratkan, proses berhenti merokok mirip dengan rehabilitasi narkoba. Seorang pecandu narkoba dalam proses berhenti akan mengalami fase sakau—kondisi ketagihan, ingin menggunakan narkoba lagi.

Efek serupa, kata Erlina, berpeluang terjadi pada seseorang yang tengah proses berhenti merokok. Misalnya, seseorang akan mengalami pusing, susah konsentrasi, sulit tidur, dan mudah marah.

“Itu adalah gejala-gejala berhenti merokok, yang pada orang-orang tertentu, mereka enggak tahan. Akhirnya balik lagi merokok,” ucapnya.

Ia mengingatkan, perokok yang ingin menghentikan kebiasaannya perlu menyadari potensi gejala-gejala tadi. Meski begitu, katanya, pasien tetap didampingi dan diberikan masukan untuk mengatasi gejala yang dirasakan.

“Orang berhenti merokok kalau niatnya tidak terlalu besar, dia tidak kuat mengatasi kecanduan itu, sehingga balik lagi merokok,” ujarnya.

“Padahal, sebetulnya kalau itu bisa diatasi, dalam tiga bulan saja mereka akan bisa berhenti merokok seterusnya.”

Di RSUP Persahabatan, jelas Erlina, ada klinik berhenti merokok. Tahapan dalam klinik itu dimulai dengan wawancara. Di sini, tim akan menilai seputar kebiasaan merokok dan tingkat kecanduang seseorang.

“Jadi kayak konseling. Baru kemudian disampaikan apa-apa yang harus dilakukan, lalu mereka juga harus bisa menerima apa-apa yang dirasakan nanti,” katanya.

Hasil wawancara tahap awal akan menentukan tindakan terhadap pasien. Berikutnya, pasien harus melapor segala hal yang dialami selama proses berhenti merokok. Jika pasien tak bisa mengatasi, maka tim akan membantu.

“Ada banyak pendekatan. Selain konsultasi dengan psikolog dan dokter paru, ada juga terapi tambahan,” ucapnya.

“Jadi berbagai macam cara dicoba, tergantung dari kondisi pasien tersebut.”

Selain datang ke klinik di rumah sakit, masyarakat yang ingin berhenti merokok dapat mengakses layanan Kemenkes, yakni program upaya berhenti merokok (UBM) yang ada di beberapa puskesmas. Pilihan lainnya, perokok bisa menghubungi layanan berhenti merokok di nomor 08001776565.

Namun, pada 2022 Kemenkes melaporkan, layanan UBM baru tersedia efektif di 120 kabupaten/kota atau setara 34,2% dari target 2024. Dalam Rencana Strategis 2020-2024, Kemenkes menargetkan 350 kabupaten/kota punya layanan UBM.

Infografik berhenti merokok. Alinea.id/Firgie Saputra

Data Kemenkes tahun 2020 menyebut, jumlah puskesmas sebanyak 10.166. Akan tetapi, dilansir dari situs web Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pada 2021 hanya 253 puskesmas atau 2,5% yang aktif melaksanakan layanan UBM.

Alinea.id sudah berupaya menghubungi Kepala biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dan juru bicara Kemenkes Syahril Mansyur untuk menanyakan soal UBM. Namun, hingga artikel ini diterbitkan, tak ada respons.

Di sisi lain, Hermawan mengatakan, pelayanan kesehatan untuk berhenti merokok belum menjadi sebuah kampanye yang masif. “Mungkin karena masyarakat tidak menganggapnya sebagai suatu penyakit atau masalah kesehatan yang langsung,” kata Hermawan.

Iman pun menganggap, layanan UBM masih kurang populer di masyarakat. Ia mengatakan, bisa jadi karena promosinya masih kurang. Jika pun sudah dikampanyekan, tetapi peminatnya masih kecil, Iman menduga cara memperkenalkannya yang kurang memberi efek daya tarik.

“Harusnya semua pecandu, dari semua kalangan umur, (entah itu) sehat atau sakit, antusias untuk ingin terlepas dari candu dengan mendatangi UBM,” ujarnya.

“Tapi sepertinya kita belum sampai di titik itu.”

Berita Lainnya
×
tekid