sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Yang hilang dalam buku biografi Pierre Tendean, Sang Patriot

Buku Sang Patriot; Kisah Seorang Pahlawan Revolusi ditulis enam penulis.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 26 Feb 2019 14:18 WIB
Yang hilang dalam buku biografi Pierre Tendean, Sang Patriot

Nama Kapten Anumerta Pierre Andries Tendean (1939-1965) tercatat dalam sejarah, lantaran menjadi salah satu korban pembunuhan perwira militer pada 1 Oktober 1965 dini hari—versi rezim Orde Baru 30 September 1965. Ia menjadi ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Nahas baginya, di malam penculikan, ia ditangkap kelompok penculik, yang mengiranya Nasution.

Anehnya, meski wajah Nasution dan Pierre jelas sangat berbeda, para penculik tak mengenali detail wajah perwira tinggi militer yang hendak diculik. Meski dalam versi sejarah Orde Baru disebut, saat itu situasi gelap gulita.

Ia dibawa ke daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, bersama enam perwira tinggi lainnya. Di sana, mereka dibunuh, dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua. Sedangkan Nasution berhasil melarikan diri. Bersama 10 perwira militer lainnya, Pierre dinobatkan sebagai Pahlawan Revolusi. Tujuh orang jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya. Sedangkan tiga orang lainnya, yakni Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun wafat setelah baku tembak di rumah Nasution, serta Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo dan Kolonel Anumerta R. Sugiyono wafat di Yogyakarta.

Peristiwa kelam dan penuh kontroversi itu sudah terjadi 54 tahun silam. Buku-buku biografi Pahlawan Revolusi pun sudah beberapa yang terbit.

Biografi Ahmad Yani bisa dibaca dalam buku Profil Seorang Prajurit TNI (1990) karya Amelia A. Yani, Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani (2007) (kemudian terbit kembali dengan judul Jenderal (TNI) Anumerta Ahmad Yani; Sang Perwira di Tengah Badai Revolusi, 2016) karya Agus Salim, dan Ahmad Yani; Sebuah Kenang-Kenangan (1981) karya Ibu A. Yani.

Biografi Sutoyo Siswomiharjo bisa dibaca di buku Mayjend Anumerta Sutoyo Siswomiharjo; Jenderal yang Memberantas Korupsi (2017) karya Ifah Nurjany. Dan, sosok Donald Izacus Pandjaitan, bisa dibaca dalam buku D.I. Pandjaitan; Gugur dalam Seragam Kebesaran (1997) karya Marieke Pandjaitan br. Tambunan, Ramadhan KH, dan Sugiarta Sriwibawa.

Panutan anak muda

Sementara itu, Pierre Tendean, yang gugur dengan pangkat bukan perwira tinggi militer, ternyata juga menggugah beberapa penulis untuk mengisahkan kehidupannya. Sebuah buku mengenang Pierre Tendean pun diluncurkan di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Senin (25/2). Buku ini berjudul Sang Patriot; Kisah Seorang Pahlawan Revolusi.

Sebenarnya, ini bukan satu-satunya buku soal Pierre Tendean. Pada Agustus 2018 terbit Jejak Sang Ajudan; Sebuah Biografi Pierre Tendean karya Ahmad Nowmenta Putra dan Agus Lisna. Namun, Sang Patriot mengklaim sebagai buku biografi resmi tentang Pierre.

Buku Sang Patriot terbitan Kompas. (gerai.kompas.id).

Buku ini ditulis enam penulis, yakni Iffani Saktya, Irma Rachmania Dewi, Laricya Umboh, Neysa Ramadhani, Noviriny Drivina, dan Ziey Sullastri, dengan editor Abie Besman.

Acara diskusi menghadirkan Sayidiman Suryohadiprojo (purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Darat, yang ikut dalam operasi penumpasan G30S), Effendi Ritonga (penulis pengantar buku dan mantan Wali Kota Banjarmasin), James Luhulima (Redaktur Pelaksana Harian Kompas), Abie Besman (editor buku dan Produser Eksekutif Kompas TV), dan Noviriny Drivina (salah seorang penulis buku).

Dalam diskusi itu, James Luhulima menilai, Pierre berpotensi menjadi sosok budaya pop, karena ia nasionalis dan punya tampang rupawan. Sedangkan Abie Besman menilai, Pierre bisa menjadi panutan bagi generasi milenial.

“Pierre Tendean tergolong unik. Meski peran dan kehidupannya sudah lama terputus, masih saja banyak generasi milenial yang ingin mengulasnya,” kata Abie dalam acara peluncuran buku Sang Patriot di ruang auditorium Perputakaan Nasional, Jakarta Pusat, Senin (25/2).

Bahkan, kata Abie, di media sosial ada grup “Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean Fans Club”, sebuah grup yang mengakomodir orang-orang yang penasaran dengan sosok Pierre Tendean. Ide penulisan buku ini bermula, karena banyak informasi simpang siur.

Absen dari pembahasan

Buku ini memang didukung banyak sumber primer alias sezaman, tetapi data dari arsip dan transkrip wawancara sepertinya hanya digunting-tempel, tanpa ada analisis mendalam.

Semasa SMA, Pierre pernah masuk sebuah klub bola voli. Ketika itu, ia kerap diejek dengan sebutan londo (Belanda) atau Indo oleh suporter tim lawan. Pierre memang berdarah Minahasa-Prancis.

Aksi patriot Pierre dalam peristiwa kelam 1965 bukan hanya disebabkan karena proses belajar di akademi militer. Namun juga pengaruh kuat, sisi batin sebagai seorang pemuda Indo. Mengenai hal ini, bisa diselisik lebih jauh bila kita membuka buku Yang ter(di)lupakan; Kaum Indo dan Benih Nasionalisme (2011) karya Pradipto Niwandhono.

Di dalam bukunya, Pradipto menulis, posisi kaum Indo dalam penulisan sejarah Indonesia dan fakta menarik benih-benih nasionalisme yang muncul, justru berawal dari kecemburuan sosial. Kaum Indo tak diterima dalam golongan Eropa, dan menjadi gunjingan karena darahnya “tercemar”. Mereka pun disebut manusia setengah Eropa.

Pierre Tendean meninggal dunia di usia masih 26 tahun. (Repro buku 30 Tahun Indonesia Merdeka/Wikipedia).

Sebagai kaum Indo, tentu saja Pierre mengalami fase yang sama dengan para pemuda Indo lainnya—yang akhirnya malah mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, menonjolkan sikap nasionalisme juga merupakan perjuangan pengakuan identitas.

Peran seorang ayah, Aurelius Lammert Tendean, seakan-akan dinihilkan dari buku biografi Pierre Tendean ini. Padahal, Aurelius merupakan teladan utama Pierre. Aurelius adalah dokter spesialis jiwa berdarah Minahasa. Ia terkenal humanis.

Pada 1955, dokter Aurelius menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Jiwa Tawang (kini RSJ dr. Amino Gundohutomo, Semarang). Surat kabar De Locomotief Samarangsch handels en advertentie blad edisi 26 Januari 1955 melaporkan, Aurelius menggratiskan pelayanan kesehatan. Sebab, saat itu situasi paceklik ekonomi-politik sedang dialami negara yang baru 10 tahun berdiri.

Akibatnya, jumlah pasien meningkat. Padahal, kapasitas rumah sakit hanya 200 pasien, sedangkan dokternya hanya Aurelius, dibantu 11 perawat.

Kemudian, keputusan Aurelius yang menekan biaya perawatan di rumah sakitnya pada awal September 1955. Sebelum keputusan itu, surat kabar Java-bode nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie edisi 31 Agustus 1955 menulis, RSJ Tawang mengalami lonjakan pasien dan biaya yang membengkak.

Mulai 1 September 1955, Aurelius mengumumkan biaya perawatan sebesar Rp7,50, dan seiring sejalan naik menjadi Rp10,50 per hari. Meski tak diulas di dalam buku, sebagai seorang anak, Pierre pasti mewarisi sifat mengabdi seperti sang ayah.

Berita Lainnya
×
tekid