sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
M Rahmat Yananda

Kepemimpinan dan adaptasi kenormalan baru

M Rahmat Yananda Jumat, 05 Jun 2020 13:46 WIB

Kelemahan Presiden Jokowi Widodo dalam mengelola pandemi Covid-19 adalah, kecenderungannya untuk mengedepankan aksi publisitas mencapai tujuan strategis, yaitu pemulihan ekonomi. Aksi ini seringkali tidak selaras dengan substansi permasalahan pandemi.

Bahkan aksi tersebut kurang sejalan dengan tampilan Gugus Tugas yang berhati-hati dalam berkomunikasi dan membuat keputusan sebagai wajah pemerintah di publik. Sejak awal pandemi, pemerintah lebih fokus kepada persoalan ekonomi daripada kesehatan. Dalam praktiknya, kebijakan pemerintah sarat dengan narasi ekonomi. 

Yang termutakhir adalah kampanye “kenormalan baru (new normal)” yang diinisiasi langsung Presiden dengan melakukan simulasi protokol kesehatan untuk beraktivitas di pusat perbelanjaan. Sementara itu, kasus positif dan meninggal masih bertambah, tes belum maksimal, dan prasyarat lain menuju kenormalan baru belum terpenuhi. Apalagi potensi gelombang kedua juga terbuka. Indonesia masih dalam tahap merespons pandemi, belum masuk ke tahap pemulihan dan masih jauh dari berhasil (Egger dkk., 2020, Deloitte Insight).

Sedangkan menurut McKinsey (Daly, 2020), banyak pemerintah di negara berkembang di Asia masih dalam tahap sangat awal, yaitu resolve yang akan diikuti oleh tahap resilience, return, reimagine, dan reform.

Dalam tahap resolve, pemerintah masih beroperasi dalam moda krisis yang masih jauh dari pembukaan ekonomi (return) karena terlebih dahulu harus memastikan risiliensi (resilience) mengatasi kasus berjalan dan ancaman kasus baru. 

Di tahap respons, sektor kesehatan bekerja keras melandaikan kurva, meningkatkan kapasitas layanan kesehatan, mengisi kelangkaan alat-alat kesehatan (masker, APD, dll), menyediakan informasi dan panduan, mengendurkan regulasi untuk meningkatkan kapasitas sistem medis (telehealth, obat-obatan, peralatan dll).

Sektor ekonomi menyediakan anggaran tanggap darurat untuk individu dan bisnis, memberikan bantuan untuk pengangguran, dan menutup serta mengatur ulang bisnis seperti hotel dan industri penerbangan. Sedangkan sektor pemerintah meningkatkan kapasitas untuk membantu kelompok terdampak, menutup perkantoran dan mengembangkan telework, memastikan keamanan pekerja layanan publik, memaksimal penggunaan TI dan kemanan siber, dan memperpanjang tenggat (pajak, sensus, dll). Di tahap respons, simulasi pembukaan pusat perbelanjaan yang dilakukan Presiden seharusnya tidak menjadi prioritas. 

Simulasi Presiden tersebut merupakan publicity stunt. Aksi spontan atau terencana di tengah-tengah publik untuk mendapatkan dampak publisitas langsung atau menviralkannya setelah aksi dilakukan. Beberapa kali Presiden melakukan aksi sejenis untuk menyampaikan bantuan. Presiden membagikan bantuan di pinggir jalan dan mendatangani perkampungan penduduk.

Dalam tahapan respons/penyelesaian, aksi mengusung tema pembukaan ekonomi tidak mewakili substansi pandemi karena yang harus dilakukan adalah memastikan langkah-langkah yang terukur untuk melakukan tes, mengarantina, melakukan pengobatan, dan mendukung layanan kesehatan. 

Langkah berbeda Presiden dengan melakukan simulasi ke pusat perbelanjaan adalah peluncuran/sosialisasi awal kebijakan kenormalan baru, seakan-akan Indonesia telah masuk ke dalam tahap pemulihan/kemajuan. Fokusnya adalah ekonomi, yang dalam praktiknya adalah pelonggaran PSBB. Sementara bukti-bukti yang relevan menunjukkan Indonesia masih di tahap respon, bergulat dengan krisis kesehatan.  

Kenormalan baru jangan sampai prematur
Ketergesaan masuk ke tahap pembukaan ekonomi dengan mengampanyekan “normal baru” telah menjadi buzzword,  yang dapat saja tergelincir menjadikan capaian di tahap respons prematur. Sejatinya, konsep kenormalan baru terpadu dengan keseluruhan rangkaian kebijakan pengelolaan pandemi setelah respons terhadap pandemi terkelola.

Menurut WHO langkah-langkah respons sebelum masuk normal baru sebagai berikut: jumlah kasus yang terinfeksi telah mengalami penurunan (< 1) dalam suatu kurun waktu tertentu (14 hari); penurunan kasus harus diikuti oleh kemampuan layanan kesehatan mengidentifikasi, mengisolasi, melakukan tes, melacak kontak, dan mengarantina; kelompok yang memiliki kerentanan tinggi tertular seperti panti jompo, fasilitas kesehatan mental dan pemukiman padat mendapatkan perlindungan; langkah-langkah pencegahan dipastikan telah menjadi kebiasaan warga sehari-hari seperti jaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker dengan dukungan perancangan ulang fasilitas di ruang publik dan lingkungan kerja; pengendalian terhadap pihak-pihak yang berpotensi membawa virus; dan terakhir, keterbukaan kepada publik untuk menyampaikan pendapat, memberikan masukan dan pelibatan dalam periode transisi. 

Kenormalan baru yang prematur dapat terjadi jika serangkaian kebijakan terpadu menurut WHO tersebut tidak diikuti dengan disiplin. Terlalu cepat melakukan pelonggaran telah menjadi kekhawatiran banyak pihak. Perdana Menteri Kanada Trudeau mengingatkan bahwa negara tersebut masih dalam tahap pemulihan ketika Provinsi Quebec yang telah merencanakan dua kali pembukaan ekonomi secara bertahap. Menurutnya, pembukaan kembali secara dini dapat mengirim Kanada kembali ke karantina karena adanya ancaman gelombang kedua selama musim panas.  (Reuters.com). 

Gubernur Andrew Cuomo menolak tuntutan prematur untuk membuka kembali negara bagian New York walaupun ia menyadari orang-orang tengah berjuang tanpa pekerjaan. Menurutnya, diperlukan lebih banyak pemahaman tentang virus. Sikap Cuomo tersebut ditunjukkan ketika separuh gubernur di Amerika Serikat membuka kembali sebagian kegiatan ekonomi. Menurut Cuomo, ia membutuhkan lebih banyak informasi tentang pandemi sebelum melakukan pelonggaran karena New York adalah negara bagian yang paling parah dihantam pandemi (aljazeera.com).

Sementara itu, pemerintah daerah di Meksiko menolak seruan Presiden Andrés Manuel López Obrador untuk membuka kembali ekonomi di sekitar 300 kota yang tidak memiliki kasus aktif. Para pemimpin daerah akan menunggu sampai Juni sebelum melanjutkan kegiatan normal. Meksiko melaporkan 51.633 total kasus dan 5.332 kematian telah mengalami peningkatan infeksi baru. Para dokter di garis depan khawatir bahwa pembukaan dini dapat menyebabkan gelombang kedua. Ini baru saja terjadi di Chili dan Guatemala, di mana pemerintah harus membatalkan rencana pembukaan kembali (apnews.com). 

Kepemimpinan daerah

Publicity stunt ala Presiden Jokowi mengabaikan substansi pengelolaan pandemi kontras dengan aksi nyata para kepala daerah. Dengan segala keterbatasan, mereka berusaha fokus kepada substansi di wilayahnya dengan mengacu langkah-langkah yang ditetapkan WHO. Para kepala daerah memutuskan melakukan PSBB.

PSBB dilakukan sesuai konteks daerah, mengelola dampak sosial, dan bahkan memperpanjang PSBB beberapa kali berdasarkan ukuran-ukuran keilmuan. Di samping itu, mereka mengeluarkan aturan-aturan khusus seperti DKI Jakarta menerbitkan SIKM (Surat Izin Keluar Masuk) memastikan penyelenggaraan efektif. 

Kebijakan daerah dikonsultasikan dan dikolaborasikan dengan Gugus Tugas, pakar epidemiologi dan perguruan tinggi, komunitas medis, tenaga kesehatan, perangkat daerah dan warga. Kebijakan tersebut adalah bentuk dari aksi yang lebih substansial dari para kepala daerah secara transparan, berbasis bukti (data), partisipatif dan mampu membangun harapan. 

Di awal pandemi, Gubernur Anies Baswedan menginisiasi pembatasan pergerakan penduduk untuk mengurangi penularan di DKI Jakarta, yang disusul dengan pembatasan di Bodetabek. Gubernur Ridwan Kamil mengambil langkah cepat melakukan tes massal daerah zona merah di Jawa Barat. Gubernur Ganjar Pranowo dengan pendekatan langsung ke warga Jawa Tengah di provinsi dan di luar provinsi, khususnya di Jabodetabek, mengajak mereka untuk menahan diri agar tidak mudik.

Walaupun terkesan ada rivalitas antara Gubernur Khofifah Indar Parawansa dengan Wali Kota Tri Rismaharini, kedua pemimpin tersebut tengah berlomba menahan peningkatan kasus di Jawa Timur. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah langkah berani Wali Kota Dedy Yon Supriyono memilih “lockdown” kota Tegal.

Banyak kepeloporan dan inisiasi kepala daerah lainnya untuk menanggulangi Covid-19 di wilayahnya. Kecuali Jawa Timur, daerah-daerah tersebut tengah mempersiapkan diri bahkan sudah memutuskan melakukan pelonggaran PSBB. Hasil kerja daerah tampak nyata. 

Pendulum kepemimpinan pengelolaan pandemi telah bergerak dari pusat ke daerah. Kepemimpinan kepala daerah sangat menentukan dan dapat mengimbangi aksi publisitas pemerintah agar normal baru tidak prematur. Kepala daerah beserta aparaturnya lebih memahami situasi dan kemampuan layanan kesehatan, ketahanan sosial dan ekonomi, dan terutama  kesiapan dan kemampuan adaptasi daerah dan warga ke normal baru. 

Ketergesaan pemerintah membuka sektor ekonomi dapat dimoderasi daerah dengan menyajikan data dan langkah-langkah terukur sehingga langkah yang seharusnya dapat dieksekusi. Ketika Presiden Jokowi mendorong kenormalan baru dengan simulasi pembukaan pusat perbelanjaan, ternyata pemda lebih cenderung melanjutkan PSBB.

Ketika pemerintah menyebutkan beberapa provinsi dapat membuka pariwisata, ternyata salah satu provinsi tersebut malah memperpanjang PSBB. Pemerintah harus menerima penilaian dan keputusan daerah mengingat mereka lebih paham situasi dan bertindak sebagai eksekutor. 

Kepemimpinan adaptif, kunci kenormalan baru

Kepala daerah diharapkan dapat menjembatani pengetahuan (data), kebijakan, dan  praktik untuk maju ke  tahap selanjutnya yang mensyaratkan semua pihak harus mampu beradaptasi dengan situasi pendemi. Adaptasi dilakukan dengan membangun kesadaran (1) mengapa harus beradaptasi, (2) apa yang perlu diadaptasi, (3) bagaimana beradaptasi, dan (4) bukti-bukti yang diperlukan untuk mendukung adaptasi (Ramalingan, Wild dan Ferrari, 2020). 

Beradaptasi diperlukan mengingat meningkatnya kasus, kasus positif dan meninggal, terbatasnya fasilitas kesehatan, beragamnya perilaku kelompok menyikapi kebijakan, kapasitas organisasi, hasil dari intervensi, dampak dan perubahan yang tidak terduga, dan munculnya pemahaman, bukti dan pelajaran baru. Apa saja yang diadaptasikan sejalan dengan protokol WHO.

Beradaptasi adalah menerima masukan dan proses kolektif secara terbuka dan transparan. Dan adaptasi membutuhkan data sebagai pondasi untuk kepentingan testing, kapasitas rumah sakit, jumlah nakes, umpan balik staf kesehatan, staf garis terdepan,  layanan dan bisnis. Data dari komunitas dan pemangku kepentingan juga dibutuhkan.

Manajemen adaptasi menghadapi Covid-19 ternyata dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah berkoordinasi dengan Gugus Tugas. Awalnya, daerah-daerah memutuskan mengajukan PSBB, melanjutkan proses tersebut dan menurunkan skala PSBB ke tingkat komunitas, RW dan desa. Keputusan untuk masuk ke normal baru harus dilakukan berbasis konteks daerah, seperti Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) ala Ridwan Kamil atau PSBB Transisi versi Anies Baswedan. 

Dalam pengelolaan pandemi, daerah-daerah telah berkolaborasi dengan Forkompinda, perguruan tinggi dan rumah sakit. Daerah mengerahkan aparat dan fasilitas yang terbukti karena sebagian daerah telah mampu melandaikan kurva pandemi dan melanjutkan ke tahap pemulihan. Sementara itu sebagian pemerintah daerah mampu menjaga wilayahnya sebagai zona hijau. Ternyata para kepala daerah tersebut memiliki kepemimpinan adaptif menghadapi pandemi. 

Bagaimana dengan kenormalan baru? Mengapa daerah? Nasehat Dr. Anthony Fauci, Direktur NIAD (National Institute of Allergy and Infectious Diseases) AS, pantas dipertimbangkan ketika diwawancarai CNN mengatakan,”…and you've got to understand that you don't make the timeline, the virus makes the timeline..:”. Kenormal baru adalah tahapan yang harus dimasuki dengan hidup bersama (persisnya bergulat bersama!) pandemi. Mengembalikan situasi sosial dan ekonomi dipandu protokol baru adalah keniscayaan.

Tidak ada satu pihak pun yang menolak masuk kenormalan baru.  Akan tetapi keputusan untuk memasukinya sangat bergantung kepada para aktor yang telah belajar, memahami, menyusun manajemen adaptasi dan melihat celah yang pas untuk bertindak. Dan para aktor tersebut adalah kepala daerah dengan segenap mitra dan jajarannya. 

Para pemimpin daerah paling memahami dan memiliki kapasitas merumuskan dan memutuskan masuk ke normal baru dengan kebijakan yang selaras konteks lokal. Para pemimpin daerah telah bekerja dan belajar selama tahap respons membatasi penularan dan melandaikan kurva. Kemampuan adaptasi dan bertindak fleksibel secara disiplin dengan protokol  yang jelas menjadi kunci transisi bergerak maju (emerge) mencapai kondisi yang lebih baik. Sebagian kepala daerah telah memiliki pengalaman dan kemampuan tersebut. 

Krisis dengan skala pandemi telah membuktikan, pemerintah adalah aktor utama yang mampu bergerak  efektif dibandingkan bisnis dan masyarakat. Pengalaman Indonesia tiga bulan ini menunjukkan, pemerintah daerah yang dapat bergerak lebih efektif. Sementara itu, pemerintah pusat dengan mengoptimalkan Gugus Tugas, dapat memberikan keleluasaan pilihan kebijakan dan menambahkan dukungan sumber daya (orang, uang dan peralatan), kepada daerah masuk ke normal baru. 

Pemerintah pusat tidak perlu mendorong-dorong daerah masuk ke normal baru melalui aksi-aksi publisitas yang hanya memunculkan kebingungan. Kenyataannya, PSBB kota Bekasi, lokasi Presiden Jokowi melakukan simulasi kenormalan baru, diperpanjang dengan adaptasi.  Sebaiknya sementara ini pemerintah pusat memperhatikan dan belajar dari pengalaman daerah.

Mengumpulkan praktik-praktik terbaik pengalaman daerah, membagikannya ke daerah lain atau ke kementerian dan lembaga negara. Langkah ini adalah persiapan penting jika terjadi gelombang kedua.  

Berita Lainnya
×
tekid