sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Mahsun

Mudik atau pulang kampung: Setali tiga uang

Mahsun Jumat, 24 Apr 2020 15:31 WIB

Bahasa merupakan hasil konsensus masyarakata penuturnya atas penciptaan atau perubahan kata secara arbitrer. Kemudian terkait argumen, bahwa perubahan makna dari yang cakupannya luas ke yang cakupannya lebih sempit lazim terjadi seperti dicontohkan di atas memang sudah menjadi sifat dasar lain dari bahasa manusia, namun proses yang terjadi pada kasus kata "alim", misalnya berbeda dengan kasus perubahan makna mudik yang diintroduksi Presiden Jokowi. Perubahan yang dilakukan penutur bahasa Indonesia atas kata "alim" bahasa arab tersebut terjadi sebelum kata itu menjadi unsur leksikal kolektif penutur bahasa Indonesia, jadi belum didaftarkan di dalam kamus bahasa Indonesia.

Kata itu terdaftar dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dengan maknanya yang mengalami penyempitan. Adapun untuk kasus kata mudik, diintroduksi maknanya menjadi menyempit saat kata itu sudah terdaftar sebagai kekayaan bahasa Indonesia di dalam kamus, dengan makna di antaranya, sebagai pulang ke desa/kampung. Apa lagi harus diingat, bahwa kamus merupakan salah satu piranti dari kodifikasi suatu bahasa yang menjadi kerangka acuan dalam berbahasa secara baik dan benar.

Kamus bersama Tata Bahasa Baku, dan Ejaan Baku (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) merupakan perangkat aturan kebahasaan yang dijadikan kerangka acuan dalam berbahasa secara baik dan benar atau berbahasa Indonesia standar/baku.

Berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi setiap warga negara Indonesia menjadi kewajiban seperti yang diamanahkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Selain itu, kebaradaan piranti peraturan kebahasaan yang bersifat baku di atas memiliki makna penting dalam dua hal, yaitu: sebagai dasar bagi dimungkinkannya bahasa untuk ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui jalur pendidikan dan sebagai dasar untuk menjaga ikatan warga negara dalam satu kesatuan komunitas bangsa.

Adalah tidak mungkin suatu bahasa ditransmisikan ke generasi penerus melalui jalur pendidikan tanpa kodifikasi bahasa yang berwujud standardisasi aspek kebahasaan di atas. Hal itu disebabkan pendidikan/pembelajaran mempersyaratkan adanya evaluasi capaian hasil pembelajaran. Untuk menyatakan bahwa siswa tertentu memperoleh nilai baik sementara yang lainnya kurang baik dalam pembelajaran bahasa maka harus ada materi standar/baku yang akan dijadikan patokan dalam penilaian.

Artinya, kodifikasi bahasa penting bagi dunia pendidikan. Selanjutnya, dalam hubungan dengan pentingnya kodifikasi aspek kebahasaan bagi upaya menjaga keutuhan komunitas bangsa, dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya bahasa standar dapat mempertahan laju perubahan bahasa menjadi beberapa bahasa baru. Dalam teori linguistik diakronis, perbandingan bahasa, bahasa manusia ini sesungguhnya berasal dari sebuah bahasa purba.

Itu sebabnya, berdasarkan bukti-bukti perangkat kata berkerabat (cognate sets) yang ditemukan dalam bahasa-bahasa modern, para komparatifis (ahli perbandingan bahasa) berhasil merekonstruksi bahasa purba (protolanguage), misanya kita mengenal Protobahasa Austronesia untuk bahasa purba dari tidak kurang 1200 bahasa-bahasa yang masuk kelompok Austronesia, Protobahasa Indo-Eropa untuk bahasa purba, bahasa-bahasa yang termasuk kelompok Indo-Eropa dan sebagainya.

Sponsored

Munculnya beragam bahasa yang tidak kurang dari 6000 buah bahasa di dunia berawal dari sebuah bahasa purba. Melalui proses historis, temporal, politis, sosial, spasial, dengan dilandasi ketiga sifat dasar bahasa manusia di atas  lalu muncul beragam bahasa baru. Dengan adanya bahasa standar, kreativias penciptaan bahasa dapat terkendali.

Artinya, meskipun dalam bahasa itu muncul berbagai varian karena faktor historis, politis, sosial, temporal, dan spasial di atas masih dapat dilacak keterhubungannya pada bahasa baku. Sebagai contoh, bahasa prokem atau bahasa gaul yang sering dirisaukan akan menggilas bahasa Indonesia, seperti bahasa gaul para remaja di Malang, yang dikenal bahasa walikan. Kosakata yang mereka munculkan itu adalah kosakata bahasa Indonesia baku yang dibalik, misalnya ibu menjadi ubi, datang menjadi ngatad dan lain-lain.

Contoh lain, dulu saat saya masih remaja ada model bahasa prokem yang dikembangkan dari kosakata bahasa Indonesia dengan menggunakan kaidah/sistem penambahan konsonan /d/ dengan vokal yang sama pada setiap suku kata dalam kata itu, misalnya kata makan akan menjadi: madakadan (kata makan dipilah dulu atas sukukata: ma-kan lalu diberi konsonan /d/ dengan vokal yang sama dengan vokal suku katanya: ma > mada, kan >kadan; cotoh lain kata itu ( i-tu: idi-tudu> iditudu). Artinya, anak-anak remaja yang ingin tampil beda sebagai sebuah kelompok sosial baru mencoba menciptakan ciri pembeda melalui bahasa dengan menginovasi sumber daya kebahasaan yang sudah ada.

Lalu apa hubungannya bahasa baku dengan menjaga keutuhan komunitas? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bahasa merupakan lambang identitas, jati diri. Bahasa menyatukan komunitas penuturnya secara internal dan membedakan komunitasnya dengan komunitas lain secara eksternal. Itu sebabnya, jangan heran mengapa keteraturan perubahan bunyi pada bahasa Jerman Tinggi dan Jerman Rendah, yang garis batasnya berada di Sungai Rhen (Rhenishfan) tidak ditemukan secara teratur, berubah-ubah sesuai pengaruh kaisar yang silih berganti. Hal ini menggambarkan adanya faktor kekuasaan yang mempengaruhi batas negara dan batas bahasa.

Begitu pula, mengapa di wilayah bagian barat bahasa Sumbawa memiliki variasi dialektal yang cukup tinggi, sementara di bagian timur tidak demikian. Hal itu sangat dipengaruhi oleh banyaknya kerajaan kecil (kedatuan) di wilayah tersebut. Garis pemisah antarwilayah pakai dialek mencerminkan garis pemisah antarkedatuan. Rupanya setiap kerajaan kecil/kedatuan ingin memperlihatkan eksistensinya dengan menggunakan bahasa sebagai pembeda.

Pembedaannya, lebih dominan pada pembedaan fonologi, misal: bedus menjadi bedes, bedis yang bermakna kambing. Demikian halnya mengapa bahasa Jawa dialek Solo-Yogya berterima menjadi bahasa Jawa baku, tentu tidak lepas dari besarnya pengaruh kerajaan Mataram. Apa yang ingin dikatakan bahwa, keberadaan bahasa Indonesia baku dengan berpedoman pada penggunaan bahasa yang terkodifikasi dalam bentuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia merupakan salah satu wujud kita ingin mempertahankan  keutuhan Indonesia, karena bahasa baku akan mamppu menahan laju pertumbuhan bahasa baru yang boleh jadi dibentuk karena faktor identitas secara politis.

Sehubungan dengan itu, menarik untuk dikutip pernyataan Lee Kuan Yew, dalam bukunya: "One Man's View of the Wold" (2013) yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah diwariskan oleh para pendiri bangsa sebuah warisan yang tak ternilai, yaitu bahasa persatuan Indonesia. Warisan yang tak ternilai inilah yang telah menepis ramalan terjadinya balkanisasi bangsa Indonesia saat krisis 1998.

Untuk mengakhiri uraian tentang persoalan penyematan makna baru pada kata mudik dan pulang kampung, saya ingin mengambil ungkapan yang menjadi anak judul tulisan ini: Setali Tiga Uang". Istilah itu berawal dari kondisi sebelum terjadinya perubahan nominal uang rupiah awal 1966, di Indonesia telah beredar mata uang yang sangat bervariasi, meskipun yang mendominasi adalah pecahan uang logam. Saat itu, nilai nominal terendah di bawah rupiah dikenal dengan istilah sen, sehingga ada uang yang bernilai nominal 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen.

Pada tahun 1950-an dikenal satu istilah yang menunjukkan nilai nominal mata uang 3/4 rupiah atau sama dengan 75 sen yang dikenal dengan nama "Setali". Uang yang setali itu jika ditukar dengan uang yang nilai nominalnya 25 sen maka akan diperoleh uang logam sejumlah tiga buah. Dari sini, mungkin untuk memperkenal makna kata setali, muncullah istilah setali tiga uang (satu uang setali nilainya sama dengan tiga uang logam yang bernilai nominal 25 sen).

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui pola berpikir analogis, muncullah ungkapan baru "Setali Tiga Uang," yang digunakan untuk merujuk ekspresi verbalnya boleh berbeda, tetapi substansi maknawinya sama. Dengan memanfaatkan ungkapan baru yang turut memperkaya daya ungkap bahasa Indonesia itu, ingin ditegaskan bahwa kata mudik dalam bahasa indonesia adalah setali tiga uang dengan "pulang kampung".

Adalah sia-sia berupaya membedakan kedua bentuk ekspresi itu, karena keduanya telah terkodifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai bentuk yang bersinonim. Menkreasi bentuk yang sudah terkodifikasi sebagai kaidah yang harus diikuti untuk berprilaku (verbal atau nonverbal) yang baik dan benar setali tiga uang dengan perilaku kita yang inkonsisten dalam memnbangu kehidupan yang tertib dalam berprilaku, baik verbal maupun nonverbal dengan mengikuti aturan yang sudah disepakati sebelumnya. Semoga kita menjadi anak bangsa yang senantiasa amanah dalam mengemban cita-cita para pendiri bangsa.

Berita Lainnya
×
tekid