sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Aris Syuhada

Pilkada dan reinventing government

Aris Syuhada Kamis, 03 Des 2020 10:34 WIB

Kebijakan dan pelayanan publik

Kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadikan garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan tata cara bertindak, baik tentang pemerintahan amupun tentang organisasi dan sebagainya, Kebijakan juga dapat dimaknai sebagai pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Dengan begitu, kebijakan berasal dari pemerintah atau organisasi.

Melalui tahap penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi legitimasi kebijakan, dan penilaian /evaluasi kebijakan, maka kebijakan dari negara dalam kepustakan internasional, disebut public policy (kebijakan publik). Ia berarti suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama (publik) yang harus ditaati dan berlaku mengikat kepada seluruh warga negara. Dalam hal ini, kebijakan publik berkaitan erat dengan administrasi negara. Sebab, ia bagian dari proses politik.

Sesungguhnya, reformasi birokrasi berarti penguatan terhadap pelayanan publik (public service). Pelayanan adalah bentuk kinerja yang bertujuan  melayani kepentingan masyarakat, yang tujuan dan sifatnya melayani kebutuhan rakyat. Hal ini diatur Keputusan Menteri Pendayaguanan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 63/Kep/M.PAN/7/2003. Menurut keputusan ini, kebutuhan segala kegiatan pelayanan publik dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sekarang, muncul pinilaian, bahwa kinerja pelayanan publik pemerintah masih sangat rendah alias sangat jauh dari nilai profesionalisme dan menjunjung tinggi asas transparansi dan akuntabilitas. Dengan kata lain, kinerja institusi atau lembaga publik dinilai masih banyak mengecewakan, baik dalam aspek kualitas maupun dalam aspek profesionalisme pelayanan.

Alih-alih mempertahankan kekecewaan atas pelayanan publik yang tidak prima itu, sistem desentralisasi melalui otda justru bertujuan utama mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan otda, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih prima dalam mengurus berbagai kebutuhanya dan membangun relasi yang baik serta mencari solusi atas berbagai persoalan dalam urusan publik.

Dengan demikian, jika pola dan budaya pelayanan publik dari pemerintah masih kurang profesional, maka tidak menutup kemungkin, birokrasi melahirkan dan menyuburkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Bukan hanya contradiction in terminus (bertentangan di dalamnya), melainkan praktik KKN juga-sesungguhnya-musuh utama 0tda.

Padahal, di era keterbukaan informasi publik seperti sekarang, hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Informasi Publik. Dengan demikian, seharusnya pemerintah lebih terbuka dalam menjaring dan menerima informasi. Artinya pemerintah mesti membuka ruang bagi publik dalam menerima masukan dari publik, sehingga proses pengawasan dan peimbangan (check and balances), terjadi. Dengan kata lain, pemerintah harus lebih transparan dan bertanggung jawab serta bermartabat dalam mengelola urusan-urusan publik.

Sponsored

Perubahan struktural

Tentang strategi peningkatan pelayanan kualitas pelayanan publik (public service) yang tujuan utamanya mengubah struktur masyarakat, wabilkhusus dalam memeranggi kemiskinan alias menyejahterakan masyarakat, Todaro (1999) sudah menerangkan, bahwa Teori Perubahan Struktural bertitik tekan pada tranformasi ekonomi yang fokus pada sektor pertanian menuju struktur perekonomian yang lebih modern dan sangat didominiasi sektor industri dan jasa.

Artinya, transformasi perubahan struktural dalam beberapa sektor tersebut harus dirangsang, supaya pertumbuhan ekonomi di segala sektor daerah semakin meningkat. Selain mengentaskan kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural, juga menumbuhkan pembangunan yang berpijak pada kebijakan-kebijakan yang propoor (memihak masyarakat miskin) dan menimbulkan tricle down efek (efek kesejahteraan yang menetes ke bawah alias terhadap kalangan masyarakat miskin, sehingga lebih sejahtera) (Arthur Lewis, 1999).

Senapas dengan itu, letimpangan sosial dan politik yang dikhawatirkan berakibat ledakan sosial mesti dicarikan bentuk dan solusinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Rendra, 1983: 65). Jika melihat kemiskinan yang semakin meluas dan kronis di Kabupaten Indramayu, maka jelas saja, diperlukan kesadaran pemimpin politik untuk menata kehidupan masyarakat miskin, memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat miskin, mengurangi ketimpangan, dan mewujudkan keadilan sosial.

Dalam banyak kadar, tampaknya hal tersebut dapat ditindaklanjuti melalui pelaksanaan program-program pembangunan yang berpusat kepada masyarakat, yang mengedepankan basis partisipasi rakyat dan basis kebijakan pertumbuhan ekonomi, dan berpihak pada masyarakat miskin. Dengan kata lain, propoor dan projob yang implisit-di dalamnya-strategi propoor (memihak masyarakat miskin), projob (memihak penciptaan lapangan kerja), progrowth (mendukung pertumbuhan ekonomi), proenvironment (memihak lingkungan), dan progender (memihak keadilan jender).

Dalam hal ini, penting dimengerti bahwa kemiskinan bukan semata-mata disebabkan habitus manusia (keniscayaan manusia). Melainkan disebabkan sistem dan struktur sosial bahkan akibat ketidakberdayaan, minim akses dan peluang, dan akibat kekurangan permodalan dan kurang keterampilan.

Menurut Nugroho (2001: 45), bahkan kemiskinan dan ketidakberdayaan, sengaja diciptakan oleh sistem yang feodalistik, yang tak berpihak pada kebijakan yang menyentuh rakyat. Bentuknya seperti implementasi program pemberdayaan, kredit murah, dan program bantuan sosial dan modal.

Political marketing

Kembali lagi tentang pilkada, Sulit dimungkiri, kontestasi politik elektoral membutuhkan strategi pemasaran (marketing strategy) yang matang dan tangguh. Sebab, agar mendapatkan kekuasan, maka calon atau parpol harus memenangkan pilkada. Untuk itu, sebelum memasuki panggung politik, maka calon atau parpol perlu menyiapkan diri terlebih dahulu. Bukan tim sukses dan uang saja, melainkan yang lebih utama ialah menyiapkan gagasan-gagasan untuk membangun sekaligus menyejahterakan masyarakat di daerah,

Selain Covid-19, maka-sebagaimana dalam pilkada-pilkada sebelumnya-, maka yang mengancam kesuksesan pilkada serentak sekarang adalah oligarki (segelintir orang yang menguasai aset-aset ekonomi dan kekuasaan politik) dan politik uang (money politics). Maksudnya, bukan mustahil, kekhawatiran diserang Covid-19 membuat voters (para pemilih) enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), sehingga tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada serentak kali ini, menurun drastis.

Pilkada serentak sekarang juga diancam kekuatan oligarki. Sebab, bukan saja kekuasaannya enggan dipreteli sebagian apalagi seluruhnya, melainkan pula yang lebih sublim dari itu, mereka-kemungkinan besar-akan menghambat bahkan menghentikan berbagai siasat demokratisasi ekonomi dan demokratisasi politik di daerah. Sebab, kalau tidak jatuh pada otokrasi, maka pilihannya tinggal dua: oligarki (kekuasaan segelintir orang) atau demokrasi (kekuasaan rakyat).

Politik uang merupakan ancaman nyata pilkada, karena ia bukan saja menghambat, tetapi juga-yang jauh lebih mendasar-tidak sebangun dengan kepentingan menciptakan para pemilih yang berintegritas. Lagi pula, tak hanya tak sepadan (tak apple to apple), melainkan menukarkan suara dengan uang pun merendahkan martabat para pemilih.

Akhirnya, calon pemimpin yang baik tak diukur dari kepemilikan dan membagi-bagikan uang kepada para pemilih, namun diukur dari integritas dan kecakapannya dalam mengelola pemerintahan yang menyatukan dan menyejahterakan masyarakat. Jadi, bukan saja tak relevan, tetapi politik uang juga dapat mengalahkan calon pemimpin yang baik tadi.

Padahal, calon pemimpin seperti itulah yang mestinya memasuki panggung dan menang. Karena, mereka akan memenangkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Dan, Pilkada sendiri bukan untuk tujuan yang lain, melainkan-hakikatnya adalah-mekanisme politik untuk memenangkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.   

Oleh karena itu, bukan gerakan sektoral, melainkan pilkada-sebenarnya-gerakan massa rakyat untuk memperbaiki atau paling tidak, mempertahankan keadaan yang sudah baik. Jadi, bukannya bersikap contradictio in terminus, justru para pemilih di daerah harus bahu-membahu dalam menciptakan pilkada yang baik, yang jadi ajang kntestasi bagi para calon pemimpin yang berintegritas dan cakap membangun daerah. Sebab, rugi besar jika politik elektoral ini tidak ramah kepada para calon pemimpin seperti itu. Alih-alih yang melanggengkan oligarkhi dan melakukan politik uang, mestinya calon pemimpin yang marketable (laku) dalam Pilkada adalah yang berintegritas dan cakap memimpin.

Bukan dengan membagi-bagikan uang, melainkan calon pemimpin yang sebaiknya berkontestasi dan dipilih publik ialah yang menyajikan berbagai agenda dan program strategis bagi daerah. Tentu bukan hanya janji, tetapi – sebagaimana diutarakan tadi – hal itu wajib ditopang oleh rekam jejak integritas dan kecakapan calon yang menjajakannya. Namun, bukan sekadar menjajakan, melainkan calon pemimpin ini mesti membangun persepsi yang baik kepada para pemilih. Caranya dengan menjaga kepercayaan publik sekaligus menawarkan program-program strategis yang dapat memajukan daerah.

Jadi, idealnya, peraihan suara terbanyak calon pada pilkada bukan lantaran politik uang dan pengaruh oligarki, melainkan oleh seberapa solidnya integritas, kecakapan, dan gagasan-gagasanya dalam memajukan daerah. Hal yang terakhir ini penting, karena tanpa gagasan-gagasan yang terencana dan terdokumentasikan, maka jika menang, kekuasaannya-kemungkinan besar-akan tidak berdampak pada kerukunan dan kesejahteraan publik dan kemajuan daerah. Dengan sarkas, kekuasaannya-kemungkinan besar-akan sia-sia, sementara para pemilihnya yang ‘merasa menang’, terjerembab dalam euforia sesaat dan-lalu-nirmakna.

Oleh karena itu, tanpa terjebak dalam kubangan politik oligarkhis dan politik uang, para calon dan tim sukses dalam pilkada justru ditantang untuk merumuskan dan mempraktikkan tiga hal sekaligus. Kesatu, political marketing (pemasaran politik) yang marketable (laku). Kedua, political marketing yang mendidik dan berdampak pada kemenangan. Ketiga, merealisasikan agenda dan program pemerintahan pasca terpilih.

Berita Lainnya
×
tekid