sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Khudori

Sakti Wahyu Trenggono dan ‘gas–rem’ kebijakan lobster

Khudori Senin, 04 Jan 2021 08:27 WIB

Presiden Jokowi menunjuk Sakti Wahyu Trenggono jadi Menteri Kelautan dan Perikanan, menggantikan Edhy Prabowo yang tersandung kasus benur. Sebagai “orang baru” di KKP, menarik mengikuti apa kebijakan “raja menara” itu dalam pro-kontra ekspor benih lobster. Akankah ia melanjutkan kebijakan Edhy yang melegalkan ekspor benur? Atau kembali mengadopsi kebijakan Susi Pudjiastuti, menteri sebelum Edhy, yang melarang ekspor benih lobster, termasuk penangkapan benur untuk budi daya. Sebelum sampai pada titik itu, ada baiknya menimbang ulang kebijakan Edhy dan Susi. 

Enam bulan berkuasa di KKP, 4 Mei 2020, Menteri Edhy mencabut Peraturan Menteri KP Nomor 56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah RI yang dibuat menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti. Alasannya, benih lobster melimpah. Mencapai lebih 10 miliar per tahun. Selain itu, selama Menteri Susi berkuasa, nelayan sengsara karena tak bisa menangkap benih dan membudidayakan lobster. Lewat beleid baru, Edhy tak hanya membolehkan budi daya, tetapi juga mengekspor benih lobster.

Jika dikaji lebih dalam, kebijakan Edhy dan Susi memang bertolak belakang. Bila dibuat spektrum, kebijakan Edhy ada di ekstrem kanan, sementara selama Susi berkuasa kebijakannya di ekstrem kiri. Konkretnya, kebijakan Edhy yang dituangkan di Permen KP No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di Wilayah RI adalah “budi daya YES” dan “ekspor benih lobster YES”. Sebaliknya, Susi adalah “budi daya lobster NO” dan “ekspor benih lobster NO”. Boleh dikata Edhy menginjak “gas pol”, sedangkan Susi menempuh “rem pol”. 

Lazimnya sesuatu yang ekstrem atau berlebihan itu tidak baik. Demikian pula kebijakan Edhy dan Susi. Selama Susi berkuasa, nilai ekspor lobster ukuran konsumsi tumbuh rerata 20,42%/tahun (BPS, 2019). Ekspor lobster konsumsi meningkat dari US$11.808.195 (2014) jadi US$28.452.601 (2018). Di sisi lain, larangan menangkap benur lobster untuk budi daya membuat sektor budi daya lobster lumpuh dan merosot. Produksi lobster hasil budi daya Indonesia pernah menjadi jawara dunia. Pada 2013, kontribusi produksi lobster hasil budidaya Indonesia mencapai 54,3% terhadap produksi dunia. Pada tahun yang sama, kontribusi Vietnam baru 41,9%. Pasca-Permen-KP 56/2016, kontribusi produksi lobster dari budi daya Indonesia terhadap dunia tinggal 9,6% pada 2016. Sebaliknya, pangsa Vietnam melesat hingga 85,3%. Ini bertahan hingga sekarang.

Kebijakan Edhy yang membuka ekspor benih lobster tentu salah kaprah. Selama ini tujuan utama ekspor benih lobster adalah Vietnam. Sementara Vietnam adalah kompetitor utama Indonesia dalam perlobsteran. Kedigdayaan Vietnam dalam ekspor lobster amat tergantung benih lobster dari Indonesia. Karena itu, meskipun dilarang ekspor di era Susi, penyelundupan tetap terjadi, yang 2019 mencapai Rp900 miliar. Ibarat laga sepak bola antara Indonesia vs Vietnam, kebijakan ekspor benih lobster tidak ubahnya pemain Indonesia mengumpan bola di mulut gawang Indonesia ke pemain Vietnam.  Kebijakan ini, sudah tentu, memberi modal kemenangan telak bagi Vietnam.

Selain itu, pembukaan kran ekspor benih lobster yang dihela korporasi selain sebagai legalisasi penyelundupan dan aktivitas ilegal, langkah ini hanya menguntungkan segelintir pelaku. Terutama eksportir. Sebagai price taker, nelayan penangkap benih hanya kebagian remah-remah. Agar mendapat hasil bernilai besar, mereka akan tergoda menangkap besar-besaran. Hasil evaluasi menunjukkan, 6 bulan sejak Permen 12/2020 terbit, benih lobster yang diekspor ke Vietnam ditaksir mencapai 37 juta ekor. Menurut aturan, jumlah benih yang diekspor hanya 30% dari yang ditangkap. Sisa benih itu mesti dibesarkan. Jika asumsi ini benar, mestinya ada 86,3 juta ekor benih lobster budi daya.

Data Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia menunjukkan, jumlah keramba jaring apung lobster di Indonesia hanya 10.000 unit dengan kapasitas budi daya cuma 3 juta ekor per tahun. Fakta ini menunjukkan, jorjoran ekspor benih lobster akhirnya berujung penangkapan berlebih. Jika ini berlanjut, lobster bakal berujung overeksploitasi dan kepunahan. Di sisi lain, jorjoran ekspor mendorong harga benih lobster melambung dan tak terjangkau pembudidaya. Harga benih lobster jenis pasir mencapai Rp15.000 per ekor. Padahal, sebelum beleid ekspor, harga benih itu antara Rp1.500-Rp3.000 per ekor. 

Karut-marut kian kasat mata tatkala tata kelola di lapangan tak mengindahkan aturan. Belum genap sebulan usia Permen 20/2020, Kementerian KP sudah menetapkan 31 calon eksportir pada 3 Juni 2020. Tak menunggu lama, 12 Juni ekspor benih lobster ke Vietnam dimulai. Padahal, menurut aturan, agar dapat izin eksportir harus melakukan budi daya, sudah bisa panen berkelanjutan, dan melepaskan 2% dari hasil budi daya ke alam guna menjaga kelestarian. Selain itu, ekspor juga mesti mengantongi izin Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan. Budi daya lobster setidaknya perlu waktu delapan bulan. Dengan syarat panen berkelanjutan, eksportir setidaknya harus melakoni budi daya 2-3 kali. Artinya butuh waktu 1,5 hingga 2 tahun baru bisa ekspor. Apa yang terjadi ini kuat mengindikasikan bahwa kebijakan yang dibuat bukan untuk memperkuat budi daya.

Sponsored

Ke depan, Menteri Sakti Wahyu Trenggono sebaiknya mengompromikan kebijakan yang bersifat ekstrem era Edhy dan Susi. Pilihan terbaik adalah “budi daya YES”, “ekspor benih lobster NO”. Pilihan ini membuat spektrum berada di tengah. Posisinya berada di tengah spektrum atau kombinasi antara “rem dan gas”. Lewat kompromi ini, nelayan tetap bisa menangkap benih lobster untuk dijual ke pembudidaya dalam negeri. Bukan diekspor ke kompetitor.

Di sisi lain, pembudidaya lobster bisa melanjutkan usahanya dengan kepastian suplai benih dari nelayan penangkap benih lobster. Pada saat yang sama, para ahli lobster mesti berjibaku menggali ilmu perlobsteran: mengapa survival rate di alam rendah, mengembangkan budi daya di pulau-pulau kecil dan pesisir secara terintegrasi, dari benih (hatchery), pembesaran hingga pemberdayaan masyarakat. Dengan kompromi ini, terbuka Indonesia jadi jawara lobster.

Berita Lainnya
×
tekid