sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Deideologisasi media di mata Rektor Unissula Prof Gunarto

Dulu, media mainstream menguasai dunia kewartawanan. Sekarang, media cetak hanya menguasai 4%.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Kamis, 17 Feb 2022 14:07 WIB
Deideologisasi media di mata Rektor Unissula Prof Gunarto

Posisi dunia kewartawanan dan media hari-hari ini sangat strategis. Wartawan dan media tidak hanya berfungsi memberi hiburan dan pendidikan. Tapi yang lebih penting ialah wartawan dan media menampilkan diri sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Salah satu contohnya, wartawan Udin, yang mengungkap kasus korupsi Bupati Bantul, sehingga ia dibunuh dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Ruh Udin selalu hidup sampai kapanpun di dunia kewartawanan dan media.

Disrupsi teknologi telah menjadi tantangan bagi media massa. Hasil survei Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020 menunjukkan terjadi pergerseran. Dulu, media mainstream menguasai dunia kewartawanan. Sekarang, media cetak hanya menguasai 4%. Media televisi masih mendominasi dengan 49,5%. Lalu media sosial angkanya sudah sangat tinggi 20,3%. Sementara situs web pemerintah 15,3%, media online 7%, dan media lainnya 3,9%.

Media massa kini memiliki dua tugas besar yang penting, sebagai industrialisasi pers, tapi di sisi lain menjadi sarana hiburan, pendidikan, dan penegakan kebenaran dan keadilan. Tantangan hari ini berbeda dengan masa lalu, yang dihadapi media massa adalah lebih banyak kepada bagaimana eksistensi atau tumbuh berkembangnya media-media massa di tengah terjadinya disrupsi teknologi digital yang sangat kuat.

"Media massa perlu melakukan kritik yang mendalam, supaya fungsi media massa itu tetap berperan sebagai hiburan, pendidikan, dan penegakan kebenaran dan keadilan," kata rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Prof. Gunarto dalam talkshow refleksi Hari Pers Nasional, Rabu (16/2/2022).

Menurut Prof. Gunarto, pemanfaatan atau kontribusi wartawan dan media pada era digital ini menyangkut apa yang disebutnya sebagai deideologisasi media. Ideologi media mengalami pergeseran yang sangat tajam. Di satu sisi media selalu berjuang untuk menjalankan fungsi-fungsinya sebagai hiburan bagi masyarakat, pendidikan, dan penegak kebenaran dan keadilan. Tapi di sisi lain, muncul satu peradaban baru di mana media mengalami deideologisasi yang lebih bersifat pragmatisme. Sehingga muncul satu fenomena bahwa pemberitaan itu tidak berbasis pada fakta, tapi berlandaskan pada setting sosial yang diinginkan oleh para industrialis di media.

Dikatakan, tekanan-tekanan peradaban ini menjadikan fungsi sosial kontrol media sebagai hiburan, pendidikan, dan penegak kebenaran dan keadilan mengalami satu tantangan yang kuat luar biasa.

"Tentunya ada satu peradaban baru yang disebut dengan buzzer, ada juga endorser, dan influencer. Ketiganya sering kali menjadikan industrialisasi media bergeser dari nilai-nilai pendidikan, kebenaran, dan keadilan menjadi nilai setting yang ditentukan oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi," serunya seperti ditayangkan Multimedia Unissula.

Ditambahkannya, perjalanan media menjadi pusat pertarungan politik yang terus-menerus sehingga timbul pro dan kontra terhadap sikap-sikap politik atau ekonomi yang terpecah menjadi dua.

Sponsored

Prof. Gunarto mengimbuhkan, media memasuki post-truth era di mana kebohongan dapat menjadi kebenaran. Dengan memainkan emosi dan perasaan masyarakat. Emosi dan perasaan dimainkan oleh para buzzer, endorser, dan influencer yang memiliki followers yang banyak melalui kampanye di medsos yang sangat gencar, sehingga post-truth adalah era yang menyedihkan.

"Karena kebenaran dan keadilan tidak lagi berdasarkan pada data dan fakta. Tetapi berdasarkan kepada kampanye di medsos yang terus-menerus yang sangat masif dan terstruktur sehingga mampu mempengaruhi perasaan masyarakat. Dan masyarakat terpolarisasi menjadi dua kepentingan," cetusnya.

Dia menawarkan solusi agar orang harus cermat dan bijaksana menangani medsos agar tidak mudah menjadi korban para buzzer-buzzer politik, ekonomi, dan sosial yang memiliki agenda-agenda politik yang pragmatis. Tradisi kritis dan cerdas dengan melakukan tabayyun (sikap tidak tergesa-gesa dan meneliti terlebih dahulu ketika menerima berita atau informasi) apabila mendapat informasi.

"Tinggal kita mampu secara mandiri untuk membaca kebenaran apa adanya. Supaya kita dapat membaca keadilan sebagai ruh perjuangan kalau kita terlibat di dunia media," ujar Prof. Gunarto.

Sebuah permasalahan harus disikapi secara lebih seimbang, melihat secara holistik, dengan meneliti dari sisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. "Sehingga kita lebih bisa menjelaskan kebenaran secara apa adanya. Dan bisa melihat kelemahan-kelemahan pemberitaan dan memberi perspektif ke depan, yang memberikan jalan keluar dari problem-problem besar di dunia media," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid