sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Abai protokol kesehatan dan ancaman klaster Covid-19 di perkantoran

Sejak pemberlakuan PSBB transisi di Jakarta, klaster perkantoran menjadi ancaman baru penularan Covid-19.

Akbar Ridwan Marselinus Gual
Akbar Ridwan | Marselinus Gual Jumat, 07 Agst 2020 19:09 WIB
Abai protokol kesehatan dan ancaman klaster Covid-19 di perkantoran

Soni—bukan nama sebenarnya, mulai aktif kembali bekerja di kantor, setelah Pemprov DKI Jakarta memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi pada 5 Juni 2020. Meski sebelumnya, karyawan di sebuah stasiun televisi swasta itu tak benar-benar total bekerja di rumah.

Soni mengatakan, perusahaannya tetap mengurangi aktivitas kerja di kantor dengan menerapkan sif, walau sudah ada kelonggaran.

“Sepekan itu cuma kebagian dua atau sekali doang ke kantor,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (4/8).

Perusahaan tempatnya bekerja pun terbilang ketat dalam menerapkan protokol kesehatan. Di pintu gerbang, setiap karyawan akan dicek suhu tubuhnya. Ada pula aturan wajib mengenakan masker.

“Petugas keamanan selalu mengingatkan pekerja soal physical distancing. Hand sanitizer juga tersedia di tiap akses ke gedung atau ruang kerja,” ujarnya.

Selain itu, karantina mandiri untuk pekerja yang berisiko juga dilakukan. “Rapid test massal juga sempat diadain, meski jatuhnya bukan sesuatu yang wajib," ucapnya.

Beberapa kali perusahaannya melakukan penyemprotan disinfektan. Berpijak dari segala kebijakan protokol kesehatan yang dilakukan peruahaannya, Soni yakin hingga saat ini masih aman dari penularan Covid-19.

Sayangnya, Soni mengaku, masih saja ada karyawan yang abai protokol kesehatan, seperti tak mengenakan masker. Meski begitu, hingga kini tak ada sanksi yang diberlakukan perusahaan untuk pekerja yang melanggar.

Sponsored

“Hanya teguran lisan,” tuturnya.

Sama seperti Soni, sudah sebulan ini Yosse mulai bekerja di kantor lagi. Namun, berbeda dengan Soni, aparatur sipil negara (ASN) di Pusat Prestasi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) itu justru merasa waswas.

"Banyak OTG (orang tanpa gejala) sekarang kan," kata Yosse saat berbincang, Rabu (5/8).

Dalam kondisi normal, katanya, terdapat 70 pegawai yang bekerja di bagiannya. Namun, untuk mencegah penularan virus, Kemendikbud menerapkan sistem sif. Dilakukan pula rapid test secara berkala, setiap bulan.

Penerapan protokol kesehatan di Gedung Pusat Prestasi Nasional, menurut Yosse juga sangat ketat. Pegawai yang tak mengenakan masker dilarang masuk.

Selain menerapkan sistem kerja sif, untuk menghindari kerumunan, kantor tempat Yosse bekerja juga meniadakan pertemuan. Di kantor Yosse juga terdapat satuan tugas (satgas) Covid-19.

"Untuk melakukan sesuatu, kita lapor dulu ke mereka, bisa apa enggak. Jadi, enggak semua keputusan kita ambil," ucap dia.

Sejumlah pekerja berjalan usai bekerja dengan latar belakang gedung perkantoran di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (16/4/2020). Foto Antara/Akbar Nugroho Gumay.

Abai protokol kesehatan

Ketika PSBB transisi diberlakukan dan segala aktivitas sosial-ekonomi dilonggarkan pada awal Juni 2020, kantor menjadi salah satu klaster penularan Covid-19. Per 28 Juli 2020, Gugus Tugas Covid-19 melaporkan, ada 90 klaster perkantoran dan menyumbang 459 kasus positif.

Kementerian menyumbang angka positif paling banyak, yakni 139 kasus, dengan 20 klaster. Lalu, perkantoran di lingkungan Pemprov DKI ada 34 klaster, dengan jumlah kasus positif 141.

Perkantoran badan usaha milik negara (BUMN) menyumbang delapan klaster, dengan 35 kasus. Kemudian, badan atau lembaga 10 klaster, dengan 25 kasus. Kepolisian menyumbang satu klaster, dengan empat kasus. Terakhir, perkantoran swasta ada 14 klaster, dengan 92 kasus.

Hingga 5 Agustus 2020, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta menutup sementara 31 kantor perusahaan. Dalam keterangan tertulisnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, 24 dari 31 perusahaan ditutup sementara lantaran ditemukan pegawai yang tertular Covid-19.

Sebanyak 24 perusahaan itu, delapan ada di Jakarta Pusat, dua di Jakarta Barat, empat di Jakarta Utara, tujuh di Jakarta Timur, dan tiga di Jakarta Selatan. Tujuh perusahaan lainnya ditutup sementara karena tak mengindahkan protokol kesehatan.

Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, kantor berpotensi menjadi tempat penularan Covid-19 karena memiliki ruang tertutup. Jika kantor tersebut padat dan tak mengikuti persyaratan jaga jarak, maka membuat sirkulasi udara menjadi tidak baik.

"Kalau ada yang tertular, pasti akan mudah sekali. Jadi, disarankan sebaiknya kalau rapat atau berkantor itu tidak terlalu lama di dalam satu ruangan yang tertutup. Harus sering untuk bersirkulasi udara, atau keluar masuk (kantor)," katanya di Kantor Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Jumat (7/8).

Untuk meminimalisir potensi penularan virus di kantor, Wiku menyarankan agar karyawan tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti jaga jarak. Alasannya, sebuah tempat berpotensi menjadi klaster karena adanya interaksi cukup dekat.

Selain itu, salah satu yang menjadi perhatian adalah potensi penularan di lift kantor. Wiku mengatakan, dalam situasi seperti ini, perlu mengedepankan toleransi dengan menerapkan kebijakan pengurangan kapasitas.

"Misalnya, dulu diisi penuh, sekarang harus dikasih jarak. Mungkin cuma empat atau enam (orang) kalau liftnya besar. Pastikan jaraknya cukup," ujarnya.

Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, klaster perkantoran muncul akibat pelonggaran PSBB transisi. Penyebabnya, komunikasi pemerintah yang lemah dan warga yang abai terhadap protokol kesehatan.

"Ini yang menjadi susah karena sebagian masyarakat juga lebih percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal. Mereka lebih percaya pada teori konspirasi, macam-macam," kata Pandu saat dihubungi, Senin (3/8).

Selama karyawan tak menerapkan protokol kesehatan, Pandu mengatakan, kasus penularan akan terus mengalami peningkatan. Ia menuturkan, seharusnya Indonesia mencontoh negara, seperti Vietnam atau Korea Selatan yang sukses menekan penyebaran karena patuh protokol kesehatan.

"Mereka setengah mati sebetulnya. Karena tidak semua klaster ditelusuri, banyak juga klaster tersembunyi. Tapi mereka tegas, sehingga tidak meluas," katanya.

Ia melanjutkan, tidak disiplinnya warga akan berdampak negatif terhadap pemulihan ekonomi, termasuk kepercayaan internasional. "Orang enggak akan percaya lagi sama Indonesia," ujarnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, pembukaan kantor perlu dilakukan karena bila ditutup dikhawatirkan perekonomian kian anjlok. Trubus mengingatkan, pertumbuhan ekonomi sudah ditetapkan minus. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu (5/8) melaporkan, kontraksi ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 sebesar 5,32%.

"Supaya tidak menimbulkan gejolak di masyarakat, saya pikir kantor-kantor tetap dibuka saja, tetapi sekarang dengan bagaimana memperketat protokol kesehatan,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (5/8).

 Karyawan beraktivitas di sebuah gedung perkantoran di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Foto Antara/Wahyu Putro A.

Mencegah penularan

Pandu menyarankan, pelonggaran harus berbasis komunitas. Menurut dia, cara ini akan efektif karena setiap warga memiliki kepentingan dengan komunitasnya masing-masing. Hukuman atas pelanggaran ditentukan pemimpin kepada anggotanya masing-masing.

"Seharusnya, sebelum pelonggaran dibangun komunitasnya, dibuat satgas (satuan tugas) di masing-masing kantor. Mereka yang atur karyawannya,” katanya.

“Makanya paling tepat adalah pembatasan sosial berbasis komunitas. Komunitas tempat kerja, tempat tinggal yang efektif bisa mengatur orang."

Senada dengan Pandu, Trubus pun menyarankan kantor membentuk semacam gugus tugas internal Covid-19. Tim internal itu, kata Trubus, bisa diberikan tugas untuk melakukan pengawasan penerapan protokol kesehatan para pekerjanya. Di samping itu, mereka juga diberi mandat untuk memberikan sanksi bagi yang melanggar.

Trubus mengatakan, pembentukan tim internal sangat dibutuhkan. Sebab, seringkali karyawan sungkan untuk menegur pekerja lain agar menerapkan protokol kesehatan.

"Itu hampir banyak terjadi. Di sinilah kemudian menurut saya jadinya ada faktor abai. Kemudian ada faktor pembiaran," ucapnya.

Menurut Trubus, sanksi bisa secara administratif atau sosial, seperti membersihkan toilet. Trubus mengatakan, sanksi penting diterapkan agar memberikan efek jera bagi karyawan yang kerap melanggar protokol kesehatan.

Lebih lanjut, hukuman diperlukan karena sekalipun seorang karyawan atau pegawai negeri sipil kelompok terdidik, tetapi itu tak menjamin mereka menerapkan protokol kesehatan. Hal itu tampak dari banyaknya kasus di kementerian.

"Kalau kita lihat kantor kementerian dan BUMN kan orang-orang terdidik. Kenapa mereka jadi abai? Berarti ini ada edukasi yang gagal," katanya.

"Karena apa? Karena faktor tidak adanya penindakan hukum yang ketat tadi. Ini supaya mereka patuh dilakukan penindakan hukum. Jadi, kalau misalnya mereka lengah atau melanggar, kasih saja sanksi, seperti membersihkan toilet agar jera."

Lebih lanjut, Trubus menilai, pola kerja pun harus diubah. Ia menyarankan, perusahaan bisa membuat ketentuan sif kerja untuk meminimalisir risiko penularan virus. Selain itu, kebijakan ini bisa membuat ruang kantor tak diisi semua karyawan, hanya maksimal 50%.

Infografik klaster perkantoran. Alinea.id/Dwi Setiawan.

"Di satu sisi yang pekerjaannya bisa dilaksanakan dengan WFH (work from home/bekerja di rumah), ya WFH. Kalau yang harus ke kantor, ya ke kantor dengan catatan protokol kesehatan ditegakkan," ujarnya.

Catatan lainnya, Trubus menyarankan agar perusahaan swasta dan instansi negara juga menyediakan transportasi khusus bagi pegawainya. Sebab, dengan diberlakukannya kembali sistem ganjil-genap di Jakarta, akan berimplikasi dengan meningkatnya penumpang transportasi umum.

Penyediaan kendaraan khusus untuk karyawan, menurut dia, penting dilakukan karena perjalanan pergi dan pulang dari kantor punya risiko tinggi penularan virus.

"Kalau penularan di kantor sendiri saya rasa enggak terlalu tinggi. Justru yang tinggi di luar kantor," katanya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid