Agama alasan PKS kritik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual tak mengakomodir azas moral.

Partai Keadilan Sejahtera mengkritik sejumlah poin yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Alasannya, karena dalam RUU tersebut tak mengakomodir azas moral dan agama.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKS, Ledia Hanifah, mengatakan pihaknya mendesak agar nilai dalam Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa dijadikan pedoman dan azas utama dalam merancang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pasalnya, kata Ledia, pada draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang ada saat ini belum mengutamakan aspek agama dan moralitas dalam memandang tindak pelanggaran seksual. Karena itu, pihaknya memandang untuk menggunakan pendekatan ketaatan terhadap agama dalam RUU tersebut.
“Ini penting, menggunakan pendekatan ketaatan pada Agama sebagai salah satu perspektif dalam pencegahan kejahatan seksual. Sebab, ketaatan terhadap ajaran agama yang dianut akan menimbulkan kesadaran yang hakiki,” kata Ledia dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Rabu (13/2).
Selain mengkritik isi RUU, Ledia juga keberatan terkait nama RUU tersebut. Menurutnya, penggunaan istilah ‘kekerasan seksual’ tidak tepat untuk definisi undang-undang. Ia menyarankan kekerasan seksual diganti dengan kejahatan seksual.
Kejahatan seksual lebih menggambarkan tindak pidana yang lebih tegas karena di situ ada unsur kesalahan. Juga definisi tindak pidananya juga terkesan lebih kuat,”ucapnya.
Hal serupa juga dikatakan peneliti dari Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Dinar Dewi Kania. Ia menilai draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum mengakomodir nilai-nilai moral sesuai adab di Indonesia. Itu karena urusan seksual dalam RUU tersebut masih dilihat dari sudut pandang paksaan, belum mengakomodir urusan seks yang dilatarbelakangi suka sama suka.
“Jadi, ada kesan yang melanggar itu adalah yang hanya dalam bentuk paksaan seperti pemerkosaan. Sedangkan yang berkaitan dengan moral belum diakomodir,” kata Dinar.
Menurut Dinar, jika tak ada nilai-nilai moral dalam RUU tersebut, sama halnya dengan negara-negara barat, yang memperbolehkan LGBT dan praktik aborsi. Sebab, yang dinilai berdasarkan sudut pandang hak atas individu terhadap tubuhnya sendiri, bukan mengenai moral.
Selain itu, Dinar pun kurang sependapat dengan pandangan bahwa cara berpakaian bukan faktor seseorang diperkosa. Sebab, hal tersebut terkadang kontradiktif dengan temuan di masyarakat.
“Mamang ada yang bilang ‘ada tuh orang yang kerudungan juga jadi korban pemerkosaan’, bagi saya kita harus dua sisi. Perempuan juga harus mengatur pola berpakaiannya,” ucap Dinar.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Bailout SVB dan pendanaan startup yang kian selektif
Sabtu, 25 Mar 2023 16:05 WIB
Jerat narkotika di kalangan remaja
Jumat, 24 Mar 2023 06:10 WIB