sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ancaman petaka di balik PSBB setengah hati

PSBB perlu dievaluasi Jokowi. Pemerintah diminta segera melarang mudik.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 10 Apr 2020 06:05 WIB
Ancaman petaka di balik PSBB setengah hati

Sudah hampir sebulan Arif Syaefudin mendekam di rumahnya di Depok, Jawa Barat. Selain tak lagi punya proyek yang sedang digarap, Arif juga sengaja tak keluar rumah karena khawatir terjangkit Covid-19. Apalagi, Depok merupakan salah satu daerah episentrum penyebaran penyakit tersebut. 

"Sebenarnya, pertengahan bulan Maret ada syuting buat konten Ramadan. Tapi, waktu itu orang-orang mulai sudah was-was karena Corona. Akhirnya, plan awal ini harus diubah lagi konsepnya. Ada beberapa konten yang enggak jadi digarap," tuturnya kepada Alinea.id, Rabu (8/4).

Arif sehari-hari bekerja sebagai anggota tim kreatif di salah satu production house (PH) di Jakarta. Maret lalu, konten-konten yang dipesan klien kepada PH tempat Arif bekerja dibatalkan. Oleh PH, Arif pun diwajibkan bekerja dari rumah. 

Dalam situasi itu, Arif sempat berencana mudik ke kampungnya di Purworejo, Jawa Tengah. Namun, rencana itu pun terpaksa batal setelah pemerintah mengimbau agar warga di Jabodetabek tak pulang kampung demi mencegah penyebaran Covid-19. 

"Kalau aku lebih baik enggak mudik, nunggu semua ini berakhir. Toh, nanti ada kabar libur Lebaran bakal ada pengganti. Aku khawatir kalau di tengah perjalanan kepapar virus, semisal saat berhenti di rest area atau dari dalam bus," kata pria berusia 26 tahun itu. 

Belakangan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang melarang mudik. Namun, larangan itu hanya berlaku bagi aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN serta personel TNI dan Polri. Pegawai swasta seperti Arif hanya diimbau tidak pulang kampung. 

Menurut Jokowi, ada dua kelompok masyarakat yang tidak bisa dilarang mudik saat Lebaran. Pertama, kelompok masyarakat yang penghasilannya tergerus lantaran pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). 

Kedua, mereka yang pulang karena menjalani tradisi. "Warga yang mudik karena tradisi puluhan tahun kita miliki di negara kita Indonesia," ujar Jokowi saat mengumumkan larangan tersebut dalam telekonferensi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (9/4). 

Sponsored

Petugas merapikan kasur tidur di Dalem Joyokusuman, Gajahan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (8/4). /Foto Antara

Kepada Alinea.id, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Rumadi Ahmad membenarkan jika pemerintah memang tak mengambil opsi melarang mudik sepenuhnya. 

Itu setidaknya terlihat dari tak adanya larangan mudik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB.

Rumadi menyebut tiga alasan. Pertama, pemerintah sudah memilih kebijakan PSBB untuk meredam pandemi. Kedua, pemerintah memandang masyarakat Indonesia bakal sulit untuk dikarantina alias lockdown

Ketiga, pemerintah melihat tak semua negara berhasil menerapkan karantina wilayah. "Mengunci wilayah tidak selalu berhasil. Italia sudah lockdown, tapi ternyata gagal. India juga begitu, malah terjadi kekacauan," ujarnya.

Meski tak melarang mudik bagi warga biasa, Rumadi mengatakan pemerintah telah menginstruksikan aparat keamanan menindak tegas para pemudik yang tidak mematuhi pedoman PSBB sesuai ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. "Semua tindakan hukum dalam kerangka kedaruratan kesehatan masyarakat," imbuhnya.

Ia mengakui bukan perkara mudah memastikan Covid-19 tak menyebar ke daerah tanpa larangan mudik. Terlebih, pengidap Covid-19 tanpa gejala berisiko ikut dalam rombongan pemudik dan menularkan virus di kampung halaman mereka. 

Karena itu, kata Rumadi, pemerintah pusat telah bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengkarantina para pemudik. "Setelah sampai di daerah tujuan langsung diisolasi selama 14 hari. Di beberapa daerah, bahkan desa-desa sudah ada yang menyiapkan tempat karantina dengan memanfaatkan dana desa," ucapnya.

Lebih jauh, Rumadi mengungkapkan, pemerintah juga tengah menggodok aturan teknis untuk memastikan para pemudik dalam kondisi sehat sebelum memulai perjalanan pulang kampung. "Gugus Tugas Covid-19, Kemenkes dan Kemenhub bisa membuat aturan teknisnya untuk mengontrol calon pemudik," terang dia. 

Petugas merapikan kasur tidur di Dalem Joyokusuman, Gajahan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (8/4). /Foto Antara

PSBB dinilai setengah hati 

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengkritik keras kebijakan pemerintah yang tak melarang mudik. Menurut dia, pemerintah terkesan membiarkan pandemi Covid-19 meluas. 

"Menurut saya, ada inskonsistensi kebijakan. Jadi, karena ketidaktegasan pemerintah sendiri dalam mengambil kebijakan pada akhirnya tak berpengaruh efektif terhadap PSBB," ucapnya kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (7/4).

Jika serius menekan penyebaran Covid-19, menurut Trubus, pemerintah semestinya memasukkan larangan mudik dalam PP 21 Tahun 2020 dan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020. "Mestinya dibuat aturan larangan mudik sekalian sanksinya," jelas dia. 

Trubus mengaku pesimistis karantina pemudik selama 14 hari di kampung halaman bakal efektif. Apalagi, tak semua daerah memiliki fasilitas kesehatan untuk mengkarantina pemudik dan anggaran yang memadai untuk merawat pasien Covid-19. 

"Namanya mudik kan enggak menjamin. Di sana siapa yang ngawasin, siapa ngurusin? Namanya juga di kampung dengan segala keterbatasannya. Peralatan dan alat tesnya juga enggak ada. Belum tentu ada duitnya pemerintah daerah. Jadi, ini kebijakan yang inkonsisten," tegas dia. 

Menurut dia, pemerintah pusat justru terkesan melempar beban tanggung jawab ke pemerintah daerah dengan memperbolehkan mudik. Mudik, kata dia, bisa menjadi petaka bagi daerah. "Pemerintah pusat akhirnya lepas tanggung jawab," kata dia. 

Tak hanya soal regulasi, Trubus pun menyayangkan pernyataan para pembantu Jokowi yang kerap kontradiktif saat bicara soal mudik. Menurut dia, informasi tentang mudik masih simpang siur dan membingungkan publik. 

"Sengaja dibikin seperti itu. Presiden (sempat) bilang dilarang mudik. Tapi, di luar itu, saat yang ngomong Pak Luhut, enggak dilarang. Beda lagi. Sampai ke bawah, akhirnya (jubir Presiden) Fadjrul (Rahman) sama (Mensesneg) Praktikno beda lagi. Ujung-ujungnya hanya membuat masyarakat panik," kata dia. 

Sikap ambigu pemerintah soal mudik itu, kata Trubus, potensial menimbulkan beragam persoalan di lapangan. Menurut dia, penegak hukum bakal kerepotan karena kesulitan dalam menindak pemudik yang melanggar aturan. "Bisa-bisa timbul gesekan," imbuhnya. 

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Hasbullah Thabrany meminta masyarakat tidak terpaku dengan kebijakan pemerintah yang tak melarang mudik. Menurut dia, seharusnya publik mawas diri dengan menunda mudik.

"Sebaiknya masyarakat melarang dirinya sendiri untuk membagi-bagi penyakit. Risiko bagi musibah dalam pulang kampung besar. Sebaiknya, masyarakat tidak tergantung pada pemerintah, tapi lihat manfaat untuk dirinya, keluarga, dan sanak famili di kampung," kata dia. 

Seperti Trubus, Hasbullah juga mengaku kecewa pemerintah tak memasukkan larangan mudik dalam PP dan Permenkes. Padahal, kasus Covid-19 sudah tercatat di 33 provinsi di Indonesia. Sebagai solusi agar wabah Covid-19 tak bertambah parah karena mudik, ia pun menyarankan aparat penegak hukum tegas.

"Yang terbaik ada enforcement (penegakan hukum). Tapi, tergantung situasi masing-masing daerah. Ini memang masalah besar buat kita sebab kasus (Covid-19) sudah menyebar hampir di semua provinsi," kata dia. 

Lebih jauh, ia pun meminta pemerintah segera menyiapkan aturan teknis terkait mudik, semisal mewajibkan semua penumpang kendaraan umum wajib bermasker dan memberikan sanksi bagi sopir yang melanggar protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah. 

"Jika tidak (bermasker), jangan diangkut. Kalau sopir masih angkut, denda sopir atau suruh kerja bakti bersihkan atau semprot disinfektan lingkungan sekitarnya. Harus ada contoh tindakan tegas bagi yang melanggar," kata dia. 

Warga melintas di depan spanduk bertuliskan 'stop mudik' di Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (8/4). /Foto Antara

Evaluasi PSBB  

Pakar kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan menilai pemerintah sudah salah sejak awal dalam mengatasi pandemi Covid-19. Menurut dia, pemerintah terlalu birokratis dalam upaya-upaya mencegah penyebaran wabah. 

"Ada dua gejala. Pertama, masalah sektor maupun metode. Pendekatannya masih struktural dan masih sektoral. Padahal, WHO (World Health Organization) sejak awal dahulu sudah menyatakan tentang pandemi yang harus multisektor dan metodenya fleksibel," ucap Satria kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (7/4).

Selain terlalu birokratis, Satria mengatakan, pemerintah juga terlalu berat menimbang risiko ekonomi dalam menangani pandemi. Hal itu setidaknya terindikasi dari ketentuan dalam Permenkes yang menyebut usul PSBB harus disetujui pemerintah pusat terlebih dulu.

"Padahal, jelas kalau ekonomi Indonesia dan global sudah jatuh. Ketidakpastian ini membuat daerah ragu karena PSBB itu semi-lockdown. Uniknya, PSBB juga menunggu daerah usul untuk PSBB dan baru disetujui oleh pusat atau tidak. Ini menunjukkan itung-itungan ekonomi," ucapnya.

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Menurut Satria, pemerintah daerah harus diberi kelonggaran dalam menetapkan PSBB. Pasalnya, pemerintah daerah perlu mengambil tindakan cepat memutus rantai penyebaran virus lewat jalur-jalur transportasi.

"Kalau bersikeras tidak lockdown, maka karantina wilayah atau PSBB secara nasional (harus bisa diberlakukan) tanpa menunggu screening dari pusat. PSBB juga harus mampu menghentikan perpindahan penduduk melalui saluran-saluran transportasi," kata dia. 

Karena itu, Satria menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi PSBB, khususnya soal mekanisme dan syarat permohonan PSBB. Menurut dia, aturan itu kurang fleksibel. "Kalau gini, by request nantinya. Sementara, tidak semua daerah punya kapasitas yang sama untuk request," kata dia.

Satria juga mengkritik pedas kebijakan pemerintah yang tidak melarang mudik. Menurut dia, tak adanya larangan mudik menunjukkan sikap setengah hati pemerintah dalam menjalankan pedoman PSBB. 

"Soal mudik itu kontradiktif. Ada wacana libur mudik akan diganti. Sementara, tak ada pembatasan saat ini. Pengambilan kebijakan yang cepat harus dilakukan karena kita berlomba dengan sebaran Covid-19 tiap hari," ucapnya.

Lebih jauh, Satria meminta agar para pembantu Jokowi satu suara saat bicara soal Covid-19. Berkaca pada kajian terbaru yang dirilis Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menurut Satria, publik menganggap penanganan pandemi oleh pemerintah masih tergolong buruk.

"Survei INDEF menempatkan kepercayaan (publik) di level sekitar 30%. Trust menjadi penting karena kalau tidak ada bagaimana mau satu komando dan satu tujuan. Sementara, Presiden berharap PSBB dapat dijadikan satu komando di dalam mengatasi pandemi," kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid