sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bahaya "wabah" miras oplosan jika alkohol legal dilarang

Pembatasan akses minuman keras legal potensial bikin marak peredaran minuman oplosan.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 15 Des 2020 17:31 WIB
Bahaya

Segerombolan pemuda melangkah memasuki sebuah gang sempit di kawasan Kampung Pedurenan, Kelurahan Durenjaya, Bekasi Timur, Jawa Barat, Kamis (10/12) malam itu. Di penghujung gang, mereka berhenti. Di sana, sebuah toko berukuran sekitar 4x5 meter berdiri. 

Di depan toko tersebut, botol-bolol minuman beralkohol dipajang, baik yang lokal maupun impor. Dengan cekatan, Rio, 23 tahun, melayani pesanan para pemuda itu. Transaksi jual-beli tuntas tanpa banyak basa-basi. 

"Semalam bisa dapat Rp3 juta. Yang paling ramai itu malam Minggu, bisa dapat Rp5-6 juta," ujar Rio saat berbincang dengan Alinea.id di sela-sela tugasnya sebagai penjaga toko. 

Toko yang buka 24 jam sehari itu, menurut Rio, sudah beroperasi sejak tujuh tahun lalu. Bersama seorang rekan, Rio mulai bertugas menjaganya sejak tiga tahun lalu. Hanya minuman "legal" yang boleh dijual di toko tersebut. 

"Kami tidak melayani oplosan. Dilarang sama bos dan aturannya kan enggak boleh," kata Rio sembari menunjukkan sebuah lembaran surat izin yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission (OSS), lembaga nonkementerian yang berwenang mengeluarkan izin usaha .

Meskipun mengantongi izin beroperasi, toko yang dijaga Rio sebenarnya terancam ditutup jika isi draf Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol (RUU Minol) yang kini tengah dibahas DPR tidak diubah dan disahkan. 

Disebutkan dalam draf RUU itu, setiap orang yang memproduksi, menjual, mengedarkan, dan meminum minuman alkohol pabrikan, tradisional, dan racikan bakal kena sanksi pidana. Ancaman hukumannya beragam, dari mulai denda hingga hukuman bui.

Rio yang sehari-hari hanya dapat duit dari jaga toko miras tentu tak setuju. Menurut dia, menenggak minuman keras dalam batas wajar tidak akan berbahaya. Ia menyebut minuman oplosan yang kerap menimbulkan persoalan. 

Sponsored

"Makanya kami tidak melayani permintaan oplosan. Risikonya besar. Dan saya sebagai karyawan kan menggantungkan hidup dari bisnis ini. Kalau diperketat, saya yakin banyak yang nganggur. Usaha lain yang berhubungan dengan ini juga saya yakin akan macet," kata dia. 

Meskipun bukan akhir pekan, jualan Rio laris manis. Rombongan pembeli bergantian menyambangi toko yang dijaga Rio. Dua perempuan muda, Nurhayati dan Siti, juga jadi konsumen toko Rio malam itu. 

Datang berbarengan, kedua perempuan yang sama-sama bekerja sebagai pemandu lagu di kawasan Kartini, Jakarta Timur itu, memesan sebotol anggur dan bir merek lokal. Kepada Alinea.id, mereka mengaku berniat mengoplos anggur dan bir itu. 

Menurut Siti, oplosan anggur dan bir lebih "nendang". Ia dan rekannya tak berani mencoba jenis oplosan lain. "Yang parah itu oplosan Cap Tikus. Banyak yang meninggal kan kalau dengar-dengar dari berita. Saya sendiri enggak pernah meminumnya," kata Siti.

Ilustrasi minuman beralkohol beragam merek. /Foto Pixabay

Ekses pengetatan akses minol legal

Bahaya minuman oplosan bukan sekadar asumsi. Menurut catatan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), dari 2008 hingga November 2020, setidaknya ada 1.164 orang meninggal dan 702 lainnya dirawat di rumah sakit karena menenggak minuman keras oplosan. 

"Tapi, sekali lagi, data ini hanya dari pantauan media sehingga sangat mungkin data real di lapangan lebih dari itu. Sayangnya, memang belum ada data resmi yang dikeluarkan pemerintah terkait hal ini," kata peneliti CIPS Pingkan Audrine Kosijungan saat dihubungi Alinea.id, Senin (14/12) lalu. 

Yang paling fenomenal ialah kasus maraknya peredaran minol oplosan di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada April 2018. Ketika itu, sebanyak 42 orang tewas karena menenggak minol oplosan di Cicalengka. Di seluruh Bandung Raya, saat itu total ada 61 orang tewas.

RUU Minol memang tak hanya menyasar minol oplosan. Pada pasal 4 draf RUU tersebut, minol pabrikan juga dilarang, yakni miras golongan A yang berkadar etanol (C2H5OH) 1%-5%, golongan B (5-20%), dan golongan C (20%-55%). 

Pengecualian--sebagaimana disebutkan pada pasal 8 draf RUU itu--hanya berlaku untuk penggunaan minol dalam kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. 

Pelanggaran oleh produsen dan penjual dipidana penjara minimal dua tahun dan paling lama sepuluh tahun atau denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Adapun mereka yang kedapatan meminum alkohol di luar ketentuan kena pidana dengan hukuman minimal tiga bulan dan paling lama dua tahun. 

Jika tidak direvisi, Pingkan mengatakan, isi RUU itu bakal menimbulkan beragam persoalan turunan. Salah satu yang paling berbahaya ialah potensi maraknya minol ilegal dan oplosan karena tertutupnya akses minol yang legal. 

Prediksi itu bukan tanpa dasar. Menurut Pingkan, kasus-kasus warga tewas karena minuman oplosan cenderung meningkat tak lama setelah Permendag Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol (Permendag Minol) diberlakukan pada 2014. 

"Intinya aturan tersebut membatasi penjualan minol (di minimarket dan toko kelontong). Saat dilihat dengan data pantauan media, angka korban (tewas karena minol) oplosan meningkat setelah tahun tersebut. Kalau melihat dari draf RUU yang sekarang, aturannya sangat restriktif dan justru dapat mendorong alkohol ilegal menjamur," tutur dia. 

Berdasarkan kajian CIPS, minol ilegal atau oplosan mematikan karena kebanyakan mengandung metanol. Memiliki rumus kimia CH3OH, metanol biasanya digunakan sebagai pelarut di industri dan sangat berbahaya jika dikonsumsi manusia. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Kesimpulan serupa diutarakan kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Josias Simon Runturambi. Sebagai analogi, ia mencontohkan maraknya peredaran narkotika ilegal saat penggunaan narkotika untuk kepentingan medis dilarang di Amerika Serikat. 

"Ini juga sama. Dengan aturan yang ada aja, yang oplosan masih bisa jebol. Apalagi, kalau nanti betul-betul dilarang. Pasti ada beberapa, katakanlah, organisasi kriminal yang akan masuk (menjual). Ini bagian demand and supply. Jadi, itu yang perlu diperhatikan," ujar Josias kepada Alinea.id

Bersama sejumlah kriminolog UI, Josias pernah meneliti karakteristik kejahatan yang dipicu minuman keras di lima kota di Indonesia pada 2017. Dari hasil penelitian, menurut Josias, hampir tidak ada korelasi antara kejahatan dengan konsumsi miras legal. 

"Yang banyak dipakai dalam kejahatan itu yang miras oplosan itu. Itu keras karena campurannya itu. Minol (oplosan) tidak bisa diukur kadar alkhoholnya," kata dia. 

Dalam penelitiannya, Josias juga menemukan beragam jenis oplosan. Yang paling umum ialah alkohol lokal dicampur bir dan minuman soda. Yang paling ekstrem, semisal minol dicampur obat anti nyamuk, obat sakit kepala, spiritus, bensin, dan lexotan. "Mereka (produsen) ngasal aja itu. Itu yang membuat kejahatan terjadi," ujar Josias. 

Petugas memusnahkan ribuan botol miras (minuman keras) di Serang, Banten, Jumat (21/12/2018). /Foto Antara

Janji perkuat penegakan hukum

Anggota Baleg DPR Achmad Baidowi menepis argumentasi larangan minol legal bakal bikin marak peredaran minol oplosan. Menurut dia, semangat pembahasan RUU Minol justru demi meminimalisasi peredaran minuman oplosan dan menekan angka kejahatan yang dipengaruhi alkohol. 

"Justru kalau tanpa pengaturan, oplosan itu banyak. Nanti kan law enforcement-nya diperkuat. Law enforcement itu tidak mesti penjara karena khawatir penjara penuh. Kan ada juga rehabilitasi. Narkoba saja ada rehabilitasi, masa alkohol enggak," ujar Awiek saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (12/12). 

Saat ini, draf RUU Minol telah dikembalikan ke tiga partai pengusul, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Gerindra, dan Partai Persatuan Pembangunan. Draf tersebut dikembalikan untuk direvisi kembali. 

Namun demikian, revisi hanya terbatas pada aturan-aturan terkait pengecualian minuman beralkohol untuk kegiatan-kegiatan keagamaan, kebudayaan, dan kepentingan medis. 

"Ini juga bertujuan untuk menghindari salah tafsir terkait proses produksi untuk cairan alkohol untuk kepentingan medis dan kepentingan budaya dan agama. Yang kita larang itu minumannya. Artinya, kalau untuk medis, kan bukan untuk diminum," terang Awiek. 

Meski berpolemik, Awiek menegaskan, RUU Minol diusulkan dan dibahas demi melindungi masyarakat. "Misalnya, baru-baru ini ada kecelakaan lalu lintas akibat mabuk. Jadi, posisinya lebih untuk melindungi generasi muda kita ke depan," ujar politikus PPP itu. 


 

Berita Lainnya
×
tekid