sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Banjir jadi ancaman terbesar bencana di ibu kota baru

Menurut BNPB, banjir menjadi bencana yang kerap terjadi di Kalimantan Timur.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Minggu, 01 Sep 2019 06:10 WIB
Banjir jadi ancaman terbesar bencana di ibu kota baru

Penetapan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai kawasan ibu kota baru Indonesia, dilakukan salah satunya atas pertimbangan minimnya ancaman bencana di wilayah ini. Namun menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada risiko banjir yang mengancam kawasan tersebut.

Berdasarkan dokumen Kajian Risiko Bencana Provinsi Kalimantan Timur 2016-2020 Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 60,34% bencana yang terjadi di Kaltim didominasi oleh banjir.

Dirunut sejak tahun 1815 hingga 2019, bencana banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di provinsi ini. Ada total 267 kejadian banjir, dengan korban jiwa meninggaln dan hilang sebanyak 76 orang dan 2.792 jiwa luka-luka.

Deputi bidang Sistem dan Strategi BNPB Bernardus Wisnu Widjaja menjelaskan, pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah ialah menerapkan upaya pengelolaan risiko bencana. Meskipun potensi bencana alam lain relatif kecil, kemungkinan banjir masih harus ditekan. Menurutnya, hal ini harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat umum.

“Masyarakat harus memahami betul risiko banjir dan bertindak seperti apa. Ini soal penataan kultur masyarakat juga, seperti menjaga kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan,” ucap Bernardus saat dihubungi reporter Alinea.id, Sabtu (31/8).

Di samping itu, tata ruang dan wilayah kawasan ibu kota baru harus dipersiapkan dengan benar. Bernardus memandang, peluang kerusakan lingkungan dan bencana alam dapat meningkat bila tidak disertai konsep tata ruang dan pemeliharaan lingkungan.

Langkah untuk memelihara keasrian lingkungan, di antaranya dapat dilakukan dengan menjaga fungsi sumber perairan. Daerah-daerah sumber air di Kaltim, tidak boleh digunakan untuk aktivitas lain. Ini dimaksudkan agar tidak mengakibatkan kerugian bagi penduduk.

“Sumber air harus dipelihara agar tetap sebagai rumahnya air. Jangan sampai sebagaimana Jakarta, kota menjadi rusak karena tidak dikelola baik,” kata dia.

Sponsored

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kaltim Yohana Tiko mengatakan, bencana banjir menjadi langganan warga Kaltim karena dapat terjadi setiap tahun. “Kalau banjir hampir setiap tahun, karena meluapnya Sungai Mahakam,” kata Yohana.

Selain itu, WALHI Kaltim mencatat ada sekitar 120 titik api di Kutai Kartanegara. Jumlah ini belum termasuk titik api yang terdapat dalam taman hutan rakyat (Tahura) Bukit Soeharto.

Titik panas yang berpotensi bencana kebakaran hutan itu selalu terpantau terdapat di beberapa daerah, yaitu Kecamatan Penajam, Kecamatan Sepaku, Kelurahan Lawe-lawe, dan Kelurahan Girimukti.

Adapun di Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, sekitar 188 hektare lahan gambut terbakar selama enam bulan pada September 2018 hingga Maret 2019.

Dalam catatan Yohana, pada Juli 2019 lalu kebakaran hutan menghanguskan empat hektare lahan di wilayah RT 19 Desa Babulu Darat, Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara. Sementara bencana longsor tak jarang terjadi pula di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Longsor terutama kerap terjadi di Desa Telemow dan Desa Bukit Raya yang hampir pasti mengalami longsor di setiap musim hujan.

Terhadap rencana memeprcepat pembangunan infrastruktur untuk pemindahan ibu kota, Yohana mengingatkan urgensi pelestarian lingkungan.

“Jangan sampai percepatan yang terburu-buru ini membuat kerusakan alam dan lingkungan. Atas nama investasi dan pembangunan, pemindahan ibu kota tak boleh dilakukan sewenang-wenang,” kata dia.

Transparansi pemerintah

Yohana juga mengkritisi sikap pemerintah yang dinilai tidak terbuka terhadap hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Menurut Yohana, sikap tertutup pemerintah menunjukkan rencana pemindahan ibu kota seperti kejar tayang, dan tak mempertimbangkan dampak sosial di masyarakat setempat.

“Kami belum melihat secara langsung kajian ilmiah rencana pemindahan ibu kota ini, padahal itu landasan utama. Makanya rencana ini terlihat seperti terburu-buru dan tidak jelas,” ucap Yohana Tiko.

Lebih jauh, proses pengambilan keputusan pemindahan ibu kota juga dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Tak satu pun metode seperti jajak pendapat atau survei, dilakukan langsung kepada masyarakat di Kaltim.

“Katanya sudah melakukan kajian bertahun-tahun, tapi tidak dibuka hasil kajian itu seperti apa. Masyarakat tak dilibatkan jadi subyek dalam mengambil keputusan,” kata Yohana.

Karena itu, Yohana menyayangkan keputusan pemindahan lokasi ibu kota negara ke dua kabupaten di Kaltim tersebut. Dia khawatir akan muncul dampak sosial, bahkan konflik di masyarakat akibat pembangunan dan investasi wilayah permukiman baru untuk menampung sekitar 1,5 juta penduduk dari Jakarta.

“Sikap pemerintah yang cenderung menjadikan masyarakat sebagai obyek semata ini yang selalu bikin kita geram,” katanya.

Yohana menjelaskan, perlindungan terhadap hak masyarakat adat di Kaltim selama ini masih rendah. Bercermin dari konflik sosial dan perusakan alam akibat alih fungsi lokasi pertambangan dan perkebunan yang terjadi selama ini di Kaltim, Yohana menilai dampak lebih besar akan timbul akibat pengembangan gedung perkantoran, bahkan bisnis perumahan.

Dia mengingatkan agar percepatan investasi dan pembangunan ibu kota di Kaltim tak menyisihkan urgensi percepatan perlindungan wilayah kelola masyarakat adat.

“Selesaikan dulu permasalahan yang ada di Kalimantan Timur dan percepat undang-undang masyarakat adat,” ujarnya.

Selain dampak sosial, masalah lain yang harus dikelola ialah daya tampung terhadap arus urbanisasi dan strategi penyediaan sumber energi di ibu kota baru. Yohana menyebutkan, rencana pemindahan ibu kota ke Kecamatan Sepaku di Penajam Paser Utara bukan pilihan tepat. Sebab, menurutnya, hal itu menyalahi peruntukan ruang. 

Dia membandingkan pengalihan fungsi lahan pertanian di Desa Mulawarman, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang membuat kawasan itu berganti menjadi lokasi pertambangan.

Yohana juga mengkritik kesiapan pemerintah pusat dan Pemda Kaltim dalam menyediakan pasokan energi listrik untuk kebutuhan fungsi operasional pemerintahan yang baru.

“Bagaimana strategi penyediaan energi untuk gedung perkantoran yang membutuhkan pasokan listrik dalam jumlah besar? Padahal energi listrik di Kaltim ini sudah byar-pet,” tutur Yohana.

Begitu pula dengan penyediaan air bersih. Dia menyarankan agar sumber energi listrik dan air perlu diperhitungkan dengan cermat untuk mencegah potensi bencana ekologis seperti terjadi di Jakarta.

Berita Lainnya
×
tekid