sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cegah radikalisme, mahasiswa dinilai perlu pembinaan Pancasila

Paparan radikalisme di kampus dinilai disebabkan tak adanya organisasi yang mengawal ideologi bangsa.

Valerie Dante
Valerie Dante Selasa, 05 Feb 2019 16:03 WIB
Cegah radikalisme, mahasiswa dinilai perlu pembinaan Pancasila

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir, menilai bahwa persoalan berkebangsaan menjadi salah satu masalah utama di kalangan mahasiswa Indonesia. Hal ini membuat sejumlah mahasiswa terkena paparan radikalisme.

Mengutip hasil survei Alvara Research Center dan Mata Air Foundation pada 2017, Nasir menyebut 23,5% dari 1.800 mahasiswa yang diteliti dari 25 universitas di Indonesia, memiliki paham yang cukup radikal.

"Lebih dari 23% yang berpotensi radikal itu karena apa? Karena tidak ada kelompok organisasi mahasiswa yang mengawal ideologi bangsa yang masuk ke dalam kampus. Ini menjadi penting," kata Nasir dalam dialog interaktif di Gedung Kemenristekdikti, Jakarta, Selasa (5/2).

Radikalisme, lanjutnya, dapat memecah belah bangsa dan bersifat destruktif terhadap kegiatan berkebangsaan. Untuk mencegahnya, Nasir menekankan perlu adanya refleksi radikalisme di kampus-kampus.

Menurutnya, perlu ada kegiatan-kegiatan di kampus yang didesain untuk mengedepankan empat unsur konsensus dasar berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Dalam upaya mencegah penyebaran paham radikalisme di universitas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menristekdikti (Permenristekdikti) Nomor 55 Tahun 2018, tentang Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Menurut Nasir, dalam aturan tersebut terdapat sejumlah pasal yang mengatur pengawalan atau pembinaan ideologi negara.

Nasir mengklaim, Permenristekdikti tersebut sudah mendapat respons positif dari sejumlah organisasi mahasiswa, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

"Langkah berikutnya saya harus sosialisasikan dengan para rektor universitas, lalu mereka sampaikan kepada mahasiswa binaannya. Harus ada integrasi di sini," kata dia.

Sponsored

Dalam Pasal 3 dari Permenristekdikti 55/2018, disebutkan bahwa universitas dapat membentuk unit kegiatan mahasiswa (UKM), yang secara khusus memiliki fungsi sebagai wadah pembinaan ideologi Pancasila. 

"Kami tidak mengharuskan, di Pasal 3 itu kami bilangnya dapat membuka atau memberlakukan, artinya kampus boleh membuka, boleh tidak, tergantung kondisi kampus masing-masing. Kalau dianggap perlu, silakan bentuk. Bagi saya, jika mahasiswanya itu heterogen, sebaiknya dibentuk," tuturnya.

Lebih lanjut Nasir menuturkan, UKM itu akan bertugas menyosialisasikan empat pilar kebangsaan dan bernegara. Selain itu, UKM tersebut nantinya dapat melibatkan atau bekerja sama dengan organisasi kemahasiswaan ekstra, dalam menjalankan peranannya.

"UKM ini nantinya akan mengawal atau membina ideologi dan memberi wawasan kebangsaan dan bela negara. Dalam UKM ini bisa melibatkan misalnya satu perwakilan dari PMII, GMKI, PMKRI, dan lainnya," imbuhnya.

Menurut Nasir, peraturan ini sudah mulai diberlakukan sejak Oktober 2018. Sejauh ini, kata dia, terdapat dua perguruan tinggi yang menanggapinya dengan baik. Salah satunya adalah Institus Pertanian Bogor (IPB) yang akan mulai mengimplementasikannya pada 2019.

Nasir menyebut, sejauh ini target pemerintah hanyalah agar peraturan tersebut tersosialisasikan dengan baik, agar kampus menjadi tempat mengawal ideologi kebangsaan dan bela negara.

"Urusan masalah radikalisme, ekstremisme, atau yang sifatnya menghancurkan kebangsaan, itu harus diselesaikan. Saya harapkan empat pilar berkebangsaan terjaga baik," ungkapnya.

Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan salah satu penyebab radikalisme dapat berkembang di universitas, adalah karena wawasan mahasiswa terhadap empat pilar kebangsaan kini telah terbatas pemahamannya. 

Menurutnya, mahasiswa sebagai warga negara, memiliki tanggung jawab untuk menjaga empat pilar kebangsaan tersebut. Namun Siti mengatakan, tanggung jawab itu perlahan hilang di kalangan mahasiswa saat ini.

Bagi Siti, Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 tidak cukup membuat mahasiswa menghargai dan mencintai ideologi negara. Dia meyakini, mahasiswa memerlukan teladan sebanyak-banyaknya untuk menyerap nilai-nilai kebangsaan.

"Tidak ada jaminan Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 dapat mendadak membuat mahasiswa cinta Pancasila atau UUD 1945, mereka buruh teladan. Baik dari kampus maupun elite kita. Harus ada pihak yang konsisten berkomitmen mempromosikan nilai kebangsaan dengan positif."

Pembinaan dan pengawalan ideologi ini, menurutnya, akan percuma jika hanya diucap saja dan tidak dilakukan secara nyata.

"Ideologi pancasila memang bukan hanya untuk diucapkan, harus dihayati dan dijiwai oleh para mahasiswa, serta kita semua. Harus dilaksanakan dengan penuh komitmen," jelasnya.

Berita Lainnya
×
tekid