sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

New normal Covid-19: Antara buka sekolah atau menuju sistem pendidikan baru

Polemik pembukaan sekolah mengemuka seiring wacana new normal Covid-19. Apa risikonya?

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Selasa, 09 Jun 2020 15:50 WIB
New normal Covid-19: Antara buka sekolah atau menuju sistem pendidikan baru

Tahun ajaran baru 2020/2021 segera dimulai pada Juli 2020. Wacana membuka kembali sekolah di tengah pandemi SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease 2019 (Covid-19) pun mengemuka. Wacana itu muncul seiring dengan rencana new normal atau kenormalan baru di beberapa wilayah di Indonesia.

Pemprov DKI Jakarta sudah memutuskan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi menuju new normal. Beberapa aktivitas sosial dan ekonomi pun perlahan dibuka kembali.

Namun, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan belum berencana membuka sekolah selama masa PSBB transisi. Ia mengatakan, sekolah baru akan dibuka kalau PSBB transisi berhasil dilalui dengan mulus. Di sisi lain, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengemukakan, sekolah baru akan dibuka pada Januari 2021.

Siapkah sekolah dibuka?

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad mengaku, belum ada keputusan resmi dari pemerintah mengenai wacana pembukaan sekolah.

“Masyarakat agar menunggu pengumuman resmi dari Kemendikbud,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (5/6).

Meski begitu, ia memastikan pihaknya akan mempertimbangkan masukan yang ditujukan untuk Kemendikbud. “Semua masukan dipertimbangkan,” ujarnya.

Dalam keterangan tertulis, Minggu (7/6), Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud Evy Mulyani mengatakan, Kemendikbud tak langsung membuka sekolah di wilayah zona hijau penularan Covid-19. Ia menuturkan, pembukaan institusi pendidikan itu dilakukan secara hati-hati dan mengikuti protokol kesehatan.

Sponsored

Mengemukanya wacana membuka kembali sekolah di tengah wabah, ikut mendorong komisioner bidang pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebar angket untuk mengetahui pendapat siswa, guru, dan orang tua.

Angket itu disebar di akun Facebook pribadinya pada 26-28 Mei 2020. Sebanyak 9.643 siswa, 18.111 guru, dan 196.546 orang tua ikut berpartisipasi jajak pendapat itu. Mereka berasal dari 91 kabupaten/kota di 25 provinsi.

“Berdasarkan hasil angket tersebut, sebanyak 63,7% pelajar setuju sekolah dibuka kembali pada Juli 2020 dan 36,3% menolak,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (3/6).

Sebanyak 54% guru pun setuju sekolah dibuka pada Juli 2020. Namun, 66% orang tua menolak.

Seorang anak diukur suhu tubuhnya. Foto Antara.

Retno mengatakan, orang tua yang setuju sekolah dibuka kembali beralasan keterbatasan jaringan internet, kesulitan membeli kuota internet, anak-anak terlalu berat dengan tugas, dan jenuh mendampingi anak-anaknya di rumah.

Sementara orang tua yang tidak setuju punya alasan pertimbangan kesehatan anak dan jaminan sarana protokol kesehatan di sekolah. Selain itu, mereka khawatir anak-anaknya tertular virus di perjalanan dan pulang sekolah.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, ada identifikasi masalah yang harus dipertimbangkan terkait rencana pembukaan sekolah.

“Pertama adalah perbedaan kondisi antarwilayah,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (5/6).

Ia mengatakan, kondisi geografis Indonesia sulit dipukul rata. Sebab, beberapa daerah ada yang masuk kategori zona hijau, sedangkan yang lainnya ada di zona kuning dan merah.

Kedua, kesenjangan antarkelas sosial, ekonomi, dan pendidikan. Menurutnya, orang tua kelas menengah ke atas kemungkinan bisa melakukan pekerjaan jarak jauh, sehingga dapat mengawasi anak-anaknya belajar di rumah.

Kondisi tersebut berbeda dengan orang tua yang bekerja sebagai buruh lepas, nelayan, atau petani, yang membuat mereka sulit mengawasi anak-anak selama belajar secara daring.

“Tingkat pendidikan orang tua pun sangat memengaruhi kemampuan mereka dalam mendampingi anak melakukan kegiatan belajar dari rumah,” katanya.

Ia melanjutkan, perbedaan kelas ekonomi membuat risiko penularan virus yang juga berbeda. Menurut dia, siswa yang harus naik kendaraan umum punya risiko tertular dalam perjalanan, jika sekolah kembali dibuka dengan cara tatap muka.

“Hal ini tidak dialami mereka yang dapat diantar ke sekolah dengan kendaraan pribadi,” ucapnya.

Hal lain yang perlu diingat, katanya, kondisi ekonomi orang tua juga berimbas pada ketersediaan alat kesehatan, seperti masker dan penyanitasi tangan untuk anak-anaknya.

Problem lainnya, Hetifah melihat, bila sekolah dibuka kembali perlu diperhatikan sarana dan prasarana di sekolah yang menunjang protokol kesehatan.

“Menurut data dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud (2018), 30,52% SD tidak memiliki sumber air atau memiliki sumber air yang tidak layak,” ujarnya.

“Sebanyak 12,09% SD memiliki jamban yang tidak layak atau tidak ada, dan 35,19% SD tidak memiliki sarana mencuci tangan.”

Pertimbangan dan metode baru

Siswa mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Pekanbaru, Riau, Kamis (16/4/2020). Foto Antara/Rony Muharrman

Guru besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FIKM UI) Hasbullah Thabrany mengatakan, pembukaan sekolah bisa saja dilakukan di zona hijau, dengan catatan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Meski bisa dibuka kembali, namun Hasbullah mengingatkan agar tak sembarangan karena zona hijau bukan berarti sudah terbebas dari Covid-19.

“Kita tidak pernah tahu, sebenarnya ada orang tanpa gejala di situ (atau tidak),” katanya saat dihubungi, Jumat (5/6).

Jika Kemendikbud memutuskan memberi izin sekolah buka kembali di zona hijau, Hasbullah berpendapat, ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan. Ia menyarankan, perlu menerapkan sistem penggunaan kelas secara bergantian.

“Jadi, kapasitas maksimalnya separuh dan sedikit mungkin ada jam istirahat di mana mereka bisa bermain di luar. Karena pada anak-anak SMP, SD apalagi, sangat sulit bisa disiplin keras,” ujarnya.

“Perlu ada pengawasan super ketat dalam menerapkan protokol kesehatan di jenjang SD dan SMP.”

Sementara itu Hetifah menyodorkan beberapa rekomendasi bila pemerintah benar-benar membuka sekolah di zona hijau. Pertama, menurutnya, pemerintah perlu mengutamakan kawasan perdesaan serta daerah terluar, terdepan, dan tertinggal yang akses teknologinya terbilang minim.

Kedua, belajar di sekolah diutamakan untuk siswa tingkat akhir, yang memerlukan pembelajaran intensif jenjang ujian akhir dan persiapan ke jenjang pendidikan berikutnya.

“Dilakukan uji coba dulu pada tingkat SMP dan SMA, sebelum membuka SD,” tuturnya.

Ketiga, Kemendikbud sebaiknya memberikan buku panduan protokol bagi sekolah yang ingin dibuka kembali. Keempat, sebut dia, untuk daerah zona kuning dan merah dan perkotaan yang punya akses internet memadai, sebaiknya tetap menerapkan pembelajaran jarak jauh. Ia mengatakan, Kemendikbud perlu fokus meningkatkan kualitas pembelajaran jarak jauh dengan berbagai cara.

“Antara lain program peningkatan kapasitas guru, subsidi kuota dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), program-program parenting, dan lain-lain,” katanya.

“Koordinasi dengan Kemenkominfo juga perlu ditingkatkan untuk secara masif meningkatkan akses infrastruktur telekomunikasi ke seluruh pelosok Indonesia.”

Kelima, kata dia, daerah yang memutuskan membuka sekolah, sistem belajarnya bisa dibagi beberapa shift, agar interaksi siswa dapat diminimalisir. Selain itu, juga menetapkan student care center yang bisa dibuat di tingkat RW atau kelurahan.

“Kita dapat mencontoh Singapura dengan membangun sentra-sentra perawatan anak bagi orang tua yang memiliki kesulitan untuk mengawasi anak-anak di rumah karena alasan pekerjaan atau yang lainnya,” katanya.

Terakhir, menurut dia, bagi sekolah yang hendak dibuka kembali, perlu dipastikan punya standar sarana dan prasarana memadai. Oleh sebab itu, kata Hetifah, perlu ada koordinasi yang kuat antara Kemendikbud, pemerintah daerah, dan pihak sekolah untuk mendukung protokol kesehatan Covid-19.

“Bila perlu, terapkan sanksi bagi daerah yang membuka sekolah tanpa memenuhi detail prasyarat sarana prasarana yang telah ditetapkan,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, pengamat pendidikan Budi Trikorayanto berpendapat, sebelum membuka sekolah, sebaiknya pemerintah berkaca pada kasus Korea Selatan, Prancis, dan Finlandia. Menurutnya, saat sekolah dibuka di tengah pandemi, di negara-negara itu guru dan murid tertular SARS-CoV-2.

Ia berharap, pemerintah tak berspekulasi dengan kesehatan anak-anak. “Jika mempertimbangkan new nomal, kenormalan baru pendidikan adalah belajar di rumah. Aman, hemat, dan sehat,” kata dia saat dihubungi, Jumat (5/6).

Budi berpendapat, lebih baik Kemendikbud fokus memperkuat metode belajar di rumah ketimbang mempertimbangkan membuka sekolah kembali. Ia menganggap hal itu relevan.

“Memang enggak boleh main-main dengan kesehatan anak. Mereka masa depan bangsa,” ujarnya.

Kendala tetap ada. Ia mengakui tak semua wilayah Indonesia mendapat akses internet. Maka, kata dia, untuk daerah yang tak sulit akses internet, bisa merujuk Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 yang diterbitkan Kemendikbud.

Di dalam surat edaran itu disebut, pembelajaran jarak jauh luar jaringan internet bisa dilaksanakan melalui media televisi, radio, modul belajar mandiri, lembar kerja, bahan ajar cetak, alat peraga, dan media belajar dari benda atau lingkungan sekitar.

Infografis pembukaan sekolah. Alinea.id/Dwi Setiawan.

“Jadi, kalau buat saya, new normal pendidikan ya memang belajar di rumah. Ke sekolah itu kalau penting-penting saja. Dan saya yakin arahnya memang ke sana ada Covid-19 atau tidak,” tuturnya.

Bagi Budi, pandemi Covid-19 merupakan momentum terjadinya perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Dalam kacamata Budi, pendidikan di sekolah layaknya pabrik, pendidikan massal, dan bernuansa feodalistik. Metode itu, katanya, harus ditinggalkan karena memandang murid sebagai sumber daya manusia yang masuk dalam ekosistem faktor produksi dari mesin industri.

“Tidak dilihat sebagai pribadi yang punya kehendaknya sendiri, tiap anak memiliki minat dan bakatnya masing-masing. Pendidikan yang memperhatikan satu persatu anak itu tidak bisa dilakukan di pabrik pendidikan yang belajar dengan sistem kelas,” ucapnya.

Dengan atau tanpa adanya Covid-19, menurut Budi, sistem pendidikan memang menuju model edukasi yang memanfaatkan teknologi, dalam hal ini internet. Proses belajar, ujarnya, tetap dilakukan di rumah, tetapi secara terstruktur dan bertanggung jawab.

“Siswa akan lebih merdeka mau belajar apa saja. Orang tua dikembalikan sebagai pendidik utama anak-anaknya,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid