sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Darurat kekerasan seksual pada anak di sekolah

Hasil pengawasan KPAI, kasus kekerasan seksual pada anak terjadi pada jenjang SD dan SMP.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Senin, 01 Jul 2019 10:26 WIB
Darurat kekerasan seksual pada anak di sekolah

Kekerasan pada anak-anak di sekolah kian mengkhawatirkan. Berdasarkan temuan hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada sebelas kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak berada di lingkungan sekolah.

Sebelas kasus tersebut terjadi pada Januari hingga Juni 2019. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyebut, jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) paling banyak terjadi kekerasan seksual pada anak.

Adapun rinciannya, SD terjadi sebanyak delapan kasus, sedangkan SMP tiga kasus.

"Mayoritas korban merupakan anak perempuan sebanyak sembilan kasus, dan hanya dua kasus yang korbannya adalah anak laki-laki. Artinya, anak lelaki maupun anak perempuan sama-sama rentan menjadi korban kekerasan seksual di sekolah," ujar Retno dalam keterangan pers, Senin (1/7).

Retno mengatakan, pelaku kejahatan seksual di sekolah mempunyai modus yang beragam. Karena itu, dia meminta semua pihak untuk mewaspadainya.

Pelaku kekerasan seksual di lembaga pendidikan formal, kata Retno, masih didominasi oleh para guru. Bahkan, terdapat satu kasus yang dilakukan oleh kepala sekolah.

"Guru dan kepala sekolah yang notabene berstatus mulia sebagai pendidik telah mencederai profesi mulianya tersebut. Para guru dan kepala sekolah yang seharusnya menjadi teladan bagi para siswanya dan wajib menjunjung nilai-nilai moral dan agama, ternyata telah melakukan perbuatan bejat terhadap anak didiknya sendiri di lembaga pendidikan tempatnya bekerja," kata dia.

Kendati demikian, KPAI mengeluarkan beberapa rekomendasi. Adapun rekomendasi itu yakni, mendorong pihak sekolah menyediakan ruangan khusus untuk peserta didik berganti pakaian dengan diawasi guru piket. 

Sponsored

Sebab, kata Retno, kondisi rawan terjadi kekerasan seksual adalah saat peserta didik usai berolahraga dan hendak berganti pakaian seragam sekolah,

"Sehingga guru pelaku tidak leluasa melakukan aksi bejatnya. Di luar ruangan juga perlu ada closed circuit television atau CCTV agar terlihat orang yang masuk dan keluar ruangan tersebut, hal ini merupakan bagian dari pengawasan demi melindungi anak-anak," ujar Retno.

KPAI mendorong pemerintah daerah (Pemda), untuk menganggarkan pembelian kamera pengawas atau CCTV untuk dipasang di ruang-ruang seperti: ruang laboratorium, ruang UKS, ruang kelas, perpustakaan hingga di belakang halaman sekolah.

Selanjutnya, KPAI mendorong Dinas Pendidikan di daerah-daerah dapat melakukan sosialisasi pada kepala sekolah dan guru agar mengedukasi anak didiknya untuk berani bicara soal kekerasan seksual yang dialami. 

Selain itu, KPAI juga meminta kepada pihak sekolah untuk menginisiasi program sekolah ramah anak (SRA). Hal itu bertujuan agar korban kekerasan seksual tidak diam, tetapi berani mengatakan yang dialaminya.

KPAI mendorong Inspektorat dan Dinas Pendidikan dapat mengevaluasi kepala sekolah setempat jika ditemukan kasus kekerasan seksual. Hal ini juga mendorong kepala sekolah untuk bersungguh-sungguh menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan di wilayah kerjanya, sekaligus memberikan pembelajaran dan efek jera kepada sekolah lainnya.

Terakhir, KPAI meminta para orangtua peserta didik dapat memiliki kepekaan dan mengenali perubahan sikap anak-anak. Sebab, korban kekerasan seksual menunjukkan perilaku ketakutan, murung, dan prestasi  belajar menurun.

Karena itu, jika orangtua memiliki kepekaan lebih, maka dapat mencegah kekerasan seksual. Para anak yang menjadi korban juga dapat segera dilakukan rehabilitasi psikis dan kesehatan reproduksinya.

Berita Lainnya
×
tekid