sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Debat terbuka, pakar sebut sawit bukan penyebab deforestasi terbesar

Pakar kehutanan Yayasan Pusaka Alam sebut sawit sangat berguna bagi iklim dunia.

Dave Linus Piero
Dave Linus Piero Senin, 04 Okt 2021 13:09 WIB
Debat terbuka, pakar sebut sawit bukan penyebab deforestasi terbesar

Polemik pembudidayaan kelapa sawit terus bergulir. Ada yang mendukung pemanfaatannya, ada juga yang menentang dengan alasan berdampak pada perubahan iklim global.

Menurut Yanto Santosa, pakar kehutanan Yayasan Pusaka Alam, sawit sangat berguna bagi iklim dunia. Bahkan, sawit bisa menghasilkan oksigen dan juga dapat berkontribusi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau kontribusi sebuah negara dalam menurunkan gas emisi karbon.

“Sawit memiliki laju fotosintesa lebih tinggi ketimbang dengan hutan tropika,” tegas Prof Yanto Santosa dalam debat terbuka "Peran Kelapa Sawit dalam Perubahan Iklim Dunia", diselenggarakan atas kerjasama Divisi Riset Kebijakan dan Advokasi RJR dengan Pusaka Kalam pada Senin (4/10).

Menurut Yanto, sawit bukanlah penyebab deforestasi terbesar di dunia. Ia merujuk pada data dari European Commission 2013 bahwa ranch sapi merupakan pemicu deforestasi global dengan luas mencapai 58 juta hektare atau 24,3%. Sementara itu, perluasan kebun sawit hanya 5,5 juta hektar atau sebesar 2,3%.

Selain itu sawit juga mempengaruhi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Dengan adanya kebun sawit, beberapa jenis satwa meningkat. “Memang beberapa mamalia memang turun, tapi untuk burung, kupu-kupu, herpetofauna, kepadatan cacing meningkat,” jelas Pakar Kehutanan Yayasan Pusaka Alam ini.

Yanto juga menjelaskan bahwa sawit didiskriminasi oleh Food and Agriculture Organization (FAO). Organisasi ini tidak memasukkan sawit ke dalam jenis hutan. "Ini FAO, bayangkan, bambu, aren, sabu masuk hutan. Kenapa sawit bukan kategori hutan?” ujar Yanto.

Sementara itu, Sadino, pakar hukum kehutanan menyatakan bahwa regulasi di kehutanan sudah salah kaprah. Banyak hal yang pelaksanaannya tidak sesuai dengan undang-undang (UU). Meskipun sudah diatur dalam UU, tapi masih saja timbul multitafsir.

“Karena konteks kehutanan adalah administrative law, maka ini perlu diperhatikan. Dalam konteks mengatur pidana sejak awal ada kekeliruan, dan itu dilanjutkan dalam regulasi saat ini. Meskipun sudah diatur dalam UU, tapi itu masih multitafsir,” ujar Sadino.

Sponsored

Sadino menyebut definisi hutan dalam undang-undang berbeda-beda. Padahal itu merupakan hal fundamental yang harus kuat. Soal legalitas perkebunan sawit, Sandino menegaskan bahwa tidak ada yang mengatakan bahwa sawit ilegal, merujuk pada peraturan masing-masing daerah.

Tiap daerah, katanya, memiliki peraturan yang berbeda dalam kasus perkebunan sawit ini. “Kalau menurut teman-teman kehutanan ilegal, tapi menurut orang lain, pemerintah daerah, belum tentu ilegal,” ujar Sadino.

Sandino mencontohkan, di daerah Kalimantan Tengah, perkebunan sawit tenang-tenang saja, tidak dilarang oleh pemerintah, asalkan perizinannya benar. “Teman-teman di Kalimantan Tengah aman saja, karena (mereka) mengerti hukum, karena input (masukan) dari saya juga,” terang Sandino.

Di akhir pemaparannya, Yanto menjelaskan bahwa jika kelapa sawit menjadi tanaman hutan, maka luas areal berhutan Indonesia akan meningkat drastis, sekitar 16,2 juta hektare.  Kemudian, ada peningkatan kontribusi serapan gas rumah kaca dari areal berhutan.

Pun nilai ekonomi dan kontribusi kawasan hutan yang terdegradasi semakin tinggi. Kemudian, penyelesaian permasalahan kebun kelapa sawit di kawasan hutan menjadi relatif lebih mudah.

Berita Lainnya
×
tekid