sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dugaan disembunyikan petinggi partai hingga pemulangan penyidik KPK

Harun Masiku merupakan salah satu dari empat tersangka yang lepas dari operasi senyap KPK pada Rabu, 8 Januari 2020.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Kamis, 06 Feb 2020 11:53 WIB
Dugaan disembunyikan petinggi partai hingga pemulangan penyidik KPK

Mantan calon legislatif (caleg) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-)P Harun Masiku seperti belut yang sulit ditangkap dengan tangan kosong. Tak terasa sudah hampir sebulan sejak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap yang menyeret eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga berhasil menangkap pria berumur 49 tahun itu.

"Sampai Rabu (5/2), KPK belum bisa menemukan keberadaan tersangka HM (Harun Masiku)," kata Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/2).

Harun merupakan salah satu dari empat tersangka yang lepas dari operasi senyap KPK pada Rabu (8/1). Tiga tersangka yang berhasil ditangkap ialah Wahyu Setiawan, eks anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina, dan eks anak buah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Saeful Bahri.

Keberadaan Harun sempat terendus oleh Ditjen Imigrasi Kemenkumham tepat dua hari sebelum peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) terjadi. Pria kelahiran Ujung Pandang, Makassar itu, tercatat telah bertolak ke Singapura melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta pada Senin (6/1).

Fakta tersebut dipegang teguh oleh jajaran pimpinan KPK. Tak ada tindakan lebih dari badan antikorupsi saat mengetahui eks caleg PDIP itu berada di Singapura. Lembaga antirasuah hanya mengeluarkan surat pencegahan ke Ditjen Imigrasi agar mempersempit ruang gerak Harun untuk kabur ke negara lain.

Sayangnya, fakta imigrasi berbanding terbalik dengan temuan majalah Tempo edisi 18 Januari 2020. Dalam liputan itu, Harun dikabarkan sudah kembali ke Tanah Air, bahkan sejak Selasa (7/1), atau tepat sehari sebelum OTT.

Namun, temuan Tempo tidak dimanfaatkan oleh KPK untuk berupaya lebih dalam memburu Harun. KPK, masih berpegang teguh dengan data Ditjen Imigrasi. Hingga akhirnya, lembaga yang dinaungi Yasonna H Laoly itu meralat temuannya.

"HM telah melintas masuk kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Batik pada 7 Januari 2020," ujar eks Dirjen Imigrasi Ronny F Sompie saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (22/1).

Hingga akhirnya KPK meyakini Harun sudah kembali ke Indonesia. Bahkan, lembaga antirasuah itu mengaku telah mengendus Harun ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, saat operasi senyap berlangsung.

Saat operasi itu, KPK mengaku telah mengejar Harun ke PTIK. Bahkan, santer kabar beredar, tak hanya Harun yang melarikan diri ke sekolah ilmu kepolisian itu. Berdasarkan info yang dihimpun, salah satu petinggi PDIP turut mencari persembunyian ke PTIK.

Nahas, tim Satgas Penindakan KPK gagal menangkap eks kader partai berlambang banteng moncong putih itu. Kegagalan pemburuan Harun di PTIK, diduga karena penyelidik KPK ditahan oleh petugas kepolisian di PTIK. Tak hanya ditahan, tim Satgas Penindakan KPK bahkan diperiksa identitas maupun urinenya.

Atas kejadian tersebut, KPK-Polri mengklaim pengawalan di sekitar sekolah tinggi kepolisian itu memang sedang dijaga ketat karena akan ada kegiatan Wakil Presiden Ma'ruf Amin pada Kamis (9/1) paginya.

"Ada kesalahpahaman dengan petugas provos pengamanan PTIK di sana yang sedang melakukan sterilisasi tempat, karena ada kegiatan esok harinya. Sampai kemudian, Deputi Penindakan (KPK) berkoordinasi lebih lanjut dengan pihak Polri untuk menjemput tim," papar Fikri.

Dugaan disembunyikan oleh petinggi PDIP

Seperti ditelan bumi, keberadaan Harun sudah tidak terdeteksi oleh KPK sejak mengklaim terendus di PTIK. Taji KPK dipertaruhkan dapat menyeret eks caleg PDIP itu untuk dijebloskan ke penjara. Bagaimana tidak, dugaan adanya peran petinggi partai penguasa di negeri ini santer merebak dalam menyembunyikan Harun mengemuka.

Indonesian Corruption Watch (ICW) menduga adanya peran petinggi partai untuk menyembunyikan Harun dari KPK. Salah satu pihak terduga dari petinggi PDIP ialah Yasonna H Laoly. Hal ini dapat dilihat dari sikap Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dalam merespons kasus suap yang menyeret Wahyu Setiawan itu.

Salah satunya, memberikan keterangan keliru ihwal keberadaan Harun masih berada di Singapura. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, menganggap, pernyataan Yasonna terkait keberadaan eks caleg PDIP itu sesat.

Diketahui, Yasonna pernah menyatakan eks caleg PDIP Harun Masiku masih berada di luar negeri pada Kamis (16/1). Padahal, keterangan tersebut berbanding dengan fakta yang ada. Berdasarkan rekaman CCTV yang diperoleh Tempo, Harun telah kembali pada Selasa (7/1).

"Saat itu dia (Yassona) berkata Harun masih berada di luar negeri sejak 6 Januari 2020 dan belum kembali ke Indonesia. Padahal berdasarkan penelusuran Tempo yang pada akhirnya dibenarkan oleh Imigrasi, Harun telah kembali dari Singapura pada 7 Januari 2020 atau satu hari sebelum kejadian tangkap tangan KPK," kata Kurnia, dalam keterangannya.

Selain itu, Kurnia menyebut, Yassona telah berperan ganda sebagai kader PDIP dan Menkumham saat mengikuti acara konferensi pers partai berlambang banteng moncong putih itu dalam merespons perkara suap pada Rabu (15/1). Kurnia menduga, adanya konflik kepentingan yang dilakukan Yassona saat menghadiri acara tersebut.

"Bagaimana pun secara etika kehadiran Yasonna tidak dapat dibenarkan, bahkan potensi konflik kepentingan yang bersangkutan amat kental," papar Kurnia.

Imbas anggota Tim Satgas tangani perkara suap PAW

Belum ditangkapnya Harun merupakan salah satu soal dari perkara yang menyeret eks caleg PDIP itu. Sejumlah anggota tim Satgas Penindakan yang menangani kasus tersebut turut terkena imbas. Setidaknya, terdapat seorang penyidik dari Polri dan seorang jaksa dari Kejagung yang dihadapkan ke instasi masing-masing oleh Firli Cs lantaran menangani kasus ini.

Keduanya ialah Yadyn Palebangan dan Kompol Rossa Purbo Bekti. Keduanya, diketahui merupakan anggota tim Satgas KPK khusus menangani perkara ini. Surat keputusan pengembalian pegawai itu diteken pada Januari 2020. Surat pengembalian Rossa diteken pada Rabu (22/1). Sedangkan Yadyn, pada Selasa (28/1).

Langkah pimpinan KPK dalam mengembalikan dua pegawai itu menuai kritik. Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menganggap, tindakan pengembalian pegawai secara sepihak itu akan menghambat proses penanganan perkara suap Harun Masiku.

"Rossa kini tengah melakukan penyidikan skandal kasus korupsi Harun Masiku yang mendapatkan perhatian serius dari publik. Tetapi mengapa Rosa justru harus dipulangkan. Bukankah, ada begitu banyak penyidik yang dimiliki Polri dan KPK sangat terbatas jumlahnya penyidiknya," kata Bambang dalam keterangannya.

Pengembalian tersebut akan mengorbankan upaya pemberantasan korupsi. Bahkan, kata Bambang, proses penanganan perkara terhadap Harun akan semakin tidak menemukan titik terang

"Dipastikan Harun Masiku akan 'terpingkal-pingkal' dan 'cekakakan' karena tak bisa segera ditangkap. Apakah ini kesengajaan?" ujar Bambang.

Terpisah, ICW meminta pimpina KPK jilid V tidak sewenang-wenang untuk mengembalikan petugas ke instasi asalnya. Mereka meminta, Firli Cs dapat serius mendukung kerja pegawai KPK dalam mengusut kasus yang menyeret Wahyu Setiawan.

"ICW mengingatkan kepada Pimpinan KPK agar serius mendukung kerja-kerja tim penyidik KPK dalam membongkar kasus PAW Harun Masiku. Pengembalian Kompol Rosa oleh pimpinan KPK merupakan bentuk tindakan yang jelas-jelas berseberangan dengan upaya menuntaskan skandal PAW tersebut," ujar Kurnia.

Berita Lainnya
×
tekid