sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PPNI: Eksportir benur manipulasi sistem kemitraan dengan nelayan

KPK membongkar kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster di KKP melalui OTT terhadap Edhy Prabowo.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Jumat, 27 Nov 2020 15:35 WIB
PPNI: Eksportir benur manipulasi sistem kemitraan dengan nelayan

Perusahaan pengekspor lobster disebut melakukan praktik manipulatif dari sistem kemitraan dengan nelayan dan perempuan nelayan pembudi daya lobster. Akibatnya, nelayan dan perempuan nelayan dirugikan karena hanya dimanfaatkan untuk memenuhi syarat administrasi perusahaan.

"Realitas di lapangan, nelayan dan perempuan nelayan pembudi daya lobster hanya dijadikan alat untuk memuluskan langkah perusahaan untuk melengkapi persyaratan administrasi," ujar Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Masnu’ah, dalam keterangannya, Jumat (27/11).

Dirinya melanjutkan, kebijakan ekspor benih lobster ala Edhy Prabowo, yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, juga tidak menguntungkan negara. Pangkalnya, tidak berkontribusi terhadap pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

"Negara hanya mendapatkan PNBP sebesar Rp250 dari 1.000 benih lobster yang diekspor ke luar negeri," jelasnya.

Berdasarkan temuan PPNI dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), terdapat tiga fakta yang merugikan nelayan dan perempuan nelayan pembudi daya lobster. Pertama, perusahaan eksportir benur membeli ukuran konsumsi untuk dipindahkan ke keramba jaring apung (KJA) miliknya dan diklaim sebagai keberhasilan budi daya.

Kedua, perusahaan membeli lobster berukuran di atas 50 gram (gr) dari pembudi daya untuk dilepasliarkan di alam dan diklaim sebagai keberhasilan panen. Ketiga, mengklaim lahan KJA milik nelayan pembudi daya dan hasil panennya sebagai keberhasilan budi daya.

"Pihak yang diuntungkan hanyalah perusahaan yang mendapat rekomendasi ekspor. Bahkan, pihak yang paling diuntungkan adalah negara tujuan ekspor lobster, yaitu Vietnam," tegas dia.

"Hal tersebut karena Vietnam merupakan produsen utama budi daya lobster dalam lalu lintas perdagangan lobster dunia. Setelah mencapai ukuran tertentu yang layak untuk dikonsumsi, Vietnam akan kembali menjual lobster tersebut dengan harga yang berpuluh-puluh lipat dan salah satu tujuan pasarnya adalah Indonesia," imbuh Masnu'ah.

Sponsored

Dirinya mempertanyakan kedigdayaan Indonesia dalam mengelola lobster secara mandiri dan berbasis masyarakat bahari. Padahal, potensi pengelolan di nusantara tergolong besar dengan kelimpahan sumber daya alamnya.

"Itu dapat terwujud jika pemerintah mendorong dan memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumber daya perikanan yang ada di laut Indonesia. Toh, itukan mandat dari UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya, dan Petambak Garam yang ada di Indonesia," tegas Masnu’ah.

Edhy Prabowo sebelumnya diringkus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) kasus dugaan suap atau gratifikasi ekspor benur. Sebanyak tujuh orang, termasuk politikus Partai Gerindra itu, yang telah ditetapkan tersangka.

Keenamnya, yakni dua Staf Khusus Menteri KP, Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misata (APM); staf istri Edhy, Ainuh Faqih (AF); pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP), Suharjito; serta swasta, Amiril Mukminin.

Edhy diduga menerima suap sebesar Rp4,8 miliar dari berbagai sumber pemberian. Perinciannya, PT ACK sebesar Rp3,4 miliar dan Suharjito US$100.000 atau setara Rp1,41 miliar.

Pemberian itu diduga untuk memuluskan perusahaan Suharjito ditetapkan sebagai eksportir benur melalui agen pengakutan ekspor (forwarder). PT ACK menjadi satu-satunya forwarder benur yang disepakati dan direstui Edhy. Swasta harus menggunakan jasa PT ACK dengan tarif Rp1.800 per benih.

Berita Lainnya
×
tekid