sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kejari Jakut terima uang denda tindak pidana korupsi di Pelindo

Uang denda sebesar Rp500 juta yang diserahkan oleh keluarga melalui penasehat hukumnya dan selanjutnya disetorkan langsung ke kas negara.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Rabu, 27 Jul 2022 22:22 WIB
Kejari Jakut terima uang denda tindak pidana korupsi di Pelindo

Kejaksaan Negeri Jakarta Utara telah menerima pembayaran uang denda sebesar Rp500 juta, dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan mobile crane di PT Pelindo II Jakarta. Uang denda itu diterima dari terpidana Haryadi Budi Kuncoro.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Utara Rolando Ritonga mengatakan, terpidana sebelumnya merupakan salah satu pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Ia menerima vonis dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.2605 K/pid.sus/2017 tanggal 7 Februari 2018.

"Uang denda sebesar Rp500 juta yang diserahkan oleh keluarga melalui penasehat hukumnya dan selanjutnya disetorkan langsung ke kas negara milik Kejaksaan Republik Indonesia," kata Rolando dalam keterangan, Rabu (27/7).

Rolando menyebut, putusan itu berisi amar, pertama yaitu menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primair.

Kedua, menjatuhkan pidana penjara selama sembilan tahun dan pidana denda sebedar Rp500 juta dan subsidari delapan bulan.

"Ketiga memerintahkan terdakwa ditahan di rutan," ujar Rolando.

Sebagai informasi, Haryadi Budi Kuncoro adalah adik mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW). Ia merupakan staf pada Direktorat Teknik dan Manajemen Resiko PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II (Persero).

Hukuman mantan Manajer Senior Peralatan Pelindo II Haryadi Budi Kuncoro diperberat dari 16 bulan penjara jadi sembilan tahun penjara. Artidjo Alkostar dkk memaparkan alur korupsi pengadaan alat berat crane pelabuhan senilai Rp37 miliar itu.

Sponsored

Hal itu terungkap saat Mahkamah Agung (MA) melansir putusan Nomor 2606 K/Pid.Sus/2017. Duduk sebagai Ketua Majelis Artidjo Alkostar dengan anggota Krisna Harahap dan MS Lumme. Dalam pertimbangannya, terurai alur korupsi tersebut.

Berikut alur korupsi sebagaimana terpapar dalam pertimbangan tersebut:

1. PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) melaksanakan rapat pembahasan dan rencana kegiatan di 2011, dan RJ Lino selaku Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) mengusulkan pengadaan mobile crane dengan kapasitas 25 dan 65 ton. 

2. Dalam pelaksanaan kegiatan Ferialdy Noerlan memerintahkan Haryadi untuk membuat kajian investasi dan menghitung harga satuan mobile crane

3. Haryadi memerintahkan Muhammad Saleh dan Mashudi Sunyoto untuk membuat kajian investasi mobile crane dari hasil kajian tersebut.

4. Namun hampir semua cabang Pelabuhan Pelindo II tidak membutuhkan mobile crane. 

5. Ferialdy Noerlan menyuruh Mashudi Sunyoto supaya menghadap langsung kepada RJ Lino untuk melaporkan hal tersebut.

6. Haryadi memerintahkan Erfin Ardiyanto memasukkan investasi mobile crane ke dalam daftar tambahan usulan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) dan usulan tersebut tidak dilampiri Hasil Kajian Investasi dan diajukan ke Direktorat Keuangan dengan pengantar Wakil Kepala Dinas yang ditandatangani oleh Ferialdy Noerlan.

7. Dalam pelaksanaan mobile crane tersebut, Haryadi mengarahkan Mashudi Sunyoto untuk mempergunakan spesifikasi mobile crane yang diproduksi oleh Harbin Construction Machinery Co Ltd (HCM). 

8. Dalam proses lelang yang memasukkan penawaran hanya satu perusahaan, sehingga lelang dinyatakan gagal.

9. Pada 25 November 2011 dilakukan lelang kedua untuk pengadaan 10 unit mobile crane kapasitas 25 ton dan 65 ton kebutuhan Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Teluk Bayur, Banten, Bengkulu, Cirebon dan Jambi.

10. Terdakwa melanjutkan proses pembukaan dokumen dan evaluasi dan secara melawan hukum meloloskan PT GNCE (Guangxi Narishi Century M&E Equipment Co) selaku penyedia barang. 

Artidjo dkk memutuskan akibat perbuatan itu, negara merugi Rp37,9 miliar. Artidjo mendasarkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan InvestigasiBPK Nomor 761/HPI/XVI/01/2016, yang signifikan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

Atas dasar itu, Artidjo dkk memperberat hukuman Haryadi dari 16 bulan penjara (putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi Jakarta) menjadi 9 tahun penjara. Selain itu pihaknya menjatuhkan pidana denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama delapan bulan.

Berita Lainnya
×
tekid