sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Yanuar Nugroho: Kita hanya punya BRIN, maka BRIN itu harus benar

Keputusan Jokowi melebur Kemenristek ke Kemendikbud banjir kritik.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Rabu, 05 Mei 2021 17:04 WIB
Yanuar Nugroho: Kita hanya punya BRIN, maka BRIN itu harus benar

Setelah 59 tahun eksis, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) resmi bubar dan dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pembubaran kementerian yang berdiri sejak era Soekarno itu disepakati dalam rapat paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (9/4) lalu. 

Sebagai penggantinya, pemerintah menjadikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai lembaga otonom. Sebelumnya, lembaga yang lahir dari mandat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) itu melekat pada Kemenristek. 

Langkah kontroversial yang diambil Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu banjir kritik. Apalagi, Jokowi menunjuk Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Banyak kalangan yang menyebut arah riset bakal dipolitisasi sesuai kepentingan penguasa. 

Research Advisor Centre for Innovation Policy and Governance Yanuar Nugroho juga demikian. Dengan dibubarkannya Kemenristek, Yanuar khawatir tidak ada lagi kementerian yang benar-benar mengurusi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

"Ini menandai akhir dari perjalanan panjang sejak 1962, 59 tahun kementerian itu ada, dicatat sejarah, dibubarkan Pak Jokowi," kata Yanuar dalam wawancara eksklusif via Zoom dengan Alinea.id, Senin (3/5) lalu. 

Yanuar menduga Kemenristek merupakan korban dari hasrat pemerintah menggenjot investasi dan pertumbuhan ekonomi. Seiring lahirnya UU Cipta Kerja, pemerintah ingin agar peran Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) diperkuat sebagai kementerian.

Namun, itu terganjal UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam beleid itu, jumlah kementerian dibatasi maksimal 34. "Maka, kalau bikin Kementerian Investasi harus ada kementerian yang dikorbankan," imbuh mantan deputi di Kantor Staf Presiden (KSP) itu.

Di sisi lain, partai penguasa juga punya niat membentuk Dewan Pengarah di BRIN. Karena sebelumnya BRIN berada di bawah kementerian, hasrat itu tidak mungkin terlaksana. Pasalnya, kementerian tidak diperbolehkan punya Dewan Pengarah. 

Sponsored

Selain persoalan-persoalan politis yang melatarbelakangi pembubaran Kemenristek, Yanuar juga mengungkapkan beragam tantangan yang bakal dihadapi Kemendikbud dan BRIN ke depan, mulai dari yang substansial hingga yang sifatnya administratif.  

Berikut petikan wawancara Alinea.id dengan Yanuar: 

Bagaimana Anda memandang langkah pemerintah membubarkan Kemenristek dan menjadikan BRIN lembaga otonom?

Intinya, Kemenristek/BRIN dipolitisasi karena keinginan partai untuk adanya Dewan Pengarah itu tidak terkomodasi. Kalau kementerian ada Dewan Pengarah, ya, enggak boleh dong. UU Kementerian Negara mengatakan kementerian tidak boleh (ada) Dewan Pengarah. Kalau badan boleh. BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), misalnya, punya Dewan Pengarah. BRIN boleh bila kalau terpisah (Kemenristek). Itulah dasar persoalan. Jadi, menyatunya BRIN dengan Kemenristek ini dipandang tidak bisa bergerak seperti amanat UU atau tidak bisa ikuti keinginan apa pun. Apa pun namanya pokoknya pemerintah enggak bisa ngapa-ngapain.

Nah, yang saya baca adalah, sejalan dengan UU Ciptaker, peran BKPM juga ingin diperkuat. Bukan sebagai badan, tetapi sebagai kementerian. UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara mengatakan, enggak bisa jumlah kementerian maksimal 34. Maka, kalau bikin Kementerian Investasi harus ada kementerian yang dikorbankan. Saya membacanya begitu. Maka Kemenristek dengan BRIN dipisah, Ristek digabung dengan Kemendikbud.

Intisari dari pendapat saya adalah saya tidak persoalkan BRIN. Orang dia amanat UU. Yang saya persoalkan adalah pembubaran Kemenristek.  Saya tidak bisa atau masih sulit menerima plesetan itu dilebur ke Kemendikbud. Sudah, intinya dibubarkan karena tidak ada kementerian yang secara khusus menangani iptek, menangani ristek. Enggak ada. Ini menandai akhir dari perjalanan panjang sejak 1962, 59 tahun kementerian itu ada, dicatat sejarah, dibubarkan Pak Jokowi.

Ada potensi tata kelola iptek jadi berantakan karena Kemenristek dilebur ke Kemendikbud?

Kalau riset dan inovasi di Indonesia mau maju, tata kelolanya mesti benar. BRIN tugasnya adalah menata riset negara, riset pemerintah. That's fine. Kemendikbud-Ristek juga punya tugas, menyiapkan dan membuat kebijakan riset. Tata kelola riset dan inovasi itu mensyaratkan pemisahan, setidaknya pembedaan wewenang perencanaan atau kebijakan, implementasi, pengawasan. Bayangan saya, dengan Kemendikbud-Ristek dan BRIN yang ada adalah kebijakannya di Kemendikbud, sistem BRIN melaksanakan.  Kemudian, pengawasannya bisa lewat komunitas espitemik lewat telaah sejawat, peer review, atau dari mana pun. BRIN mesti berfokus pada bagaimana dana pemerintah ini memang menghasilkan.

Karena persoalan substantif ini nanti, Kemendikbud-Ristek itu akan gede banget itu rentang tangan dari kebijakan. Iya kan? Paud (pendidikan anak usia dini), dasar, menengah, vokasi, pendidikan tinggi, riset, ilmu pengetahuan ini kebijakan semua loh. Itu kementerian dengan tanggung jawab paling besar di Indonesia kali. Bahkan, di dunia itu.

Sementara BRIN, fokusnya pada riset negara. Nah, ini ada tantangan tersendiri. Tantangannya adalah integrasi. Karena Pasal 48 UU Sisnas Iptek itu mengamanatkan integrasi lembaga riset pemerintah yang banyak itu, Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), BPPT (Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), mungkin juga Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir). Ini mesti diintegrasi oleh BRIN plus semua litbang K/L (kementerian/lembaga). Nah, itu yang, menurut saya, jadi tantangan bagi BRIN. Jadi, tantangan pertama adalah memastikan tata kelolanya benar. Tata kelola tadi, kebijakan dengan pelaksanaan jangan satu lembaga dong, dengan pengawasan yang juga jangan satu lembaga dong.

Saya khawatirkan ada (potensi tata kelola berantakan). Karena sangat mungkin Kemendikbud mengatakan, 'Oh, saya enggak mau urusi sebanyak itu kebijakannya.' Bisa kan? Kalau Kemendikbud-Ristek mau menangani itu, jempolnya enggak hanya dua. Jempol kaki saya naikin empat.

Kedua, yang dikhawatirkan banyak orang dan sudah diumumkan, (keberadaan) Dewan Pengarah. Saya cenderung untuk bersikap kritis. Sebentar, Dewan Pengarah ini mengarahkan apa? Jangan buru-buru nolak dulu. Kalau mengarahkan organisasi, ya, boleh-boleh saja. Mengarahkan organisasi kok. Apakah itu kemudian itu berdampak pada kredibilitas? Itu nanti dulu kita omongin. Tetapi, prinsipnya kalau Dewan Pengarah arahkan organisasi, fine.

Kalau mengarahkan perkembangan arah ilmu pengetahuan, nah, itu masalah. Misalnya, ini arah pengembangan ilmu ini bagaimana atau ini arah pengembangan elektronika intrumentasi ke mana. Nah, itu enggak ada urusan sama Dewan Pengarah. Itu ilmu. Itu urusannya dengan akademi ilmu pengetahuan Indonesia nanti. 

Nah, jadi kalau Dewan Pengarah itu isinya adalah mengendalikan atau memberikan arahan bagaimana BRIN bekerja, for me, that's fine. Tetapi, kalau Dewan Pengarah itu cawe-cawe, dalam pengertian, ilmu mana yang perlu kita kembangkan mana yang tidak, nah, itu masih debatable.

Pendapat Anda soal Megawati Soekarnoputri yang ditunjuk jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN?

Itu Anda jangan tanya ke saya. Anda tanya ke Pak Jokowi atau Pak Pratikno (Mensesneg). Saya enggak tahu. Kalau Anda tanya ke saya, saya melihatnya, ya, karena mungkin kaitannya riset dengan arah ideologi negara itu. Jadi, mau memastikan, 'Oh, Indonesia 2045 itu yang didorong inovasi itu mengarah ke sana.' 

Itu sesuai dengan, kasarnya, Pak Handoko (Kepala BRIN) kemarin mengatakan sesuai ideologi negara, ya. Oh, kemudian yang diambil sebagai Ketua Dewan Pengarah adalah Ketua BPIP, ya, itu Bu Mega. Well, kan Dewan Pengarah enggak satu orang, ya. Ada banyak kan? Menurut saya, itu nanti yang perlu dikawal siapa saja anggota-anggota Dewan pengarah itu.

Apa tantangan-tantangan yang bakal dihadapi pemerintah dengan pembubaran Kemenristek dan pembentukan BRIN otonom ini?

Pertama, rentang kendali kebijakan. Kedua, menjaga prinsip good governance. Itu tantangan subtantif. Tantangan administrasinya adalah Kemenristek yang digabung ke Kemendikbud ini akan panjang buntutnya. Integrasi dua kelembagaan. Duitnya gimana? Struktur organisasi tata kerjanya gimana? Hal yang sama akan dihadapi oleh BRIN. Kalau dia meleburkan atau mengintegrasikan lembaga-lembaga, seperti apa model integrasinya? Belum tentu dalam setahun BRIN ini bisa bekerja.

Bayangkan! Ketika lembaga dipimpin oleh kepala lembaga setingkat menteri, pasti kan eselon I dengan hak kewajiban-kewajiban setara menteri, lalu masing-masing lembaga punya lima sampai delapan deputi. Kemudian, lembaga-lembaga itu masuk ke BRIN yang kita enggak tahu sebanyak-banyaknya (deputi) berapa. Masak iya deputinya jadi dua puluh? Kan enggak mungkin. Nah, terus orang-orang itu pindah ke situ gimana? Belum tentu juga dengan litbang-litbang lain. Jadi, ini BRIN ada masalah subtantif dan administratif.

Wewenang BRIN meluas hingga mengatur proses perencanaan, pelaksanaan, dan dana riset. Perlu seperti itu?

Selain BRIN, kan ada lembaga riset pemerintah lainnya, seperti Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), Bapeten (Badan Pengawas Teknologi Nuklir), dan sebagainya. Kalau seandainya itu terjadi, ya. Artinya, mengandaikan, mengasumsikan Kemendikbud memang tidak tangani kebijakan, ya? Kalau memang disatukan, tidak akan ideal. Itu karena arah riset ini, arah inovasi ini enggak bisa (dibebankan pada) satu lembaga. Ini enggak bisa.

Akan tetapi, kalau hanya riset pemerintah yang ditangani BRIN, jadi memastikan integrasi, kalau Anda lihat di negara lain, memang terintegrasi riset pemerintah itu. Jadi, bagaimana mengatakan apakah ini ideal. Enggak ada yang ideal. Model (riset dan inovasi) Korea Selatan berbeda dengan Jepang, berbeda dengan China, berbeda dengan Amerika Serikat. Setiap negara memastikan atau memilih modelnya. Yang saya lihat adalah BRIN ini akan menjadi riset pemerintah. Jadi, memfasilitasi apa yang dibutuhkan pemerintah untuk maju.

Sulit mengatakan (ideal). Ya, maksud saya, kalau semua dijadikan satu gitu, tentu tidak ideallah karena perlu fokus. Tetapi, kalau kita bisa memastikan bahwa memang ini riset pemerintah, saya kira, ya, boleh-boleh saja. Kita perlu nanti menunggu perpres (peraturan presiden) soal BRIN dan Kemendikbud-Ristek. Ini kan sedang diproses secara cepat. Kita perlu menunggu dan melihat lebih jelas tanggung jawab kebijakan ada di siapa, tanggung jawab implementasi di siapa, tanggung jawab pengawasan di siapa.

Apa konsekuensinya bila Ketua Dewan Pengarah BRIN diisi figur politik?

Berisiko kalau seluruh Dewan Pengarah diisi figur politis. Itu berisiko sekali. Pertama, saya tidak tahu akan ada berapa orang di Dewan Pengarah BRIN. Kalau saya defend saja, saya tidak mengatakan saya setuju. Lalu, kalau saya boleh memilih, saya akan memilih tokoh politik? Tentu saja tidak. Tetapi, ya sudah.

Kalau saya, Kepala Dewan Pengarah itu merepresentasikan kepentingan stakeholder riset nasional. Harusnya Dewan Pengarah itu merepresentasikan atau mewakili kepentingan stakeholder riset nasional. Mereka yang menggunakan hasil riset, yaitu pemerintah dan kelompok industri barangkali. Mereka yang melakukan riset, yaitu para ilmuwan, akademisi, para inovator. Mereka yang terlibat dalam dukungan riset berbagai intermediasi dan lain-lain. Itu harusnya yang duduk di Dewan Pengawas. Jadi, Dewan Pengarah itu mesti dipastikan isinya itu. 

Kita kan khawatir Ketua Dewan Pengarah itu politisi sehingga Dewan Pengarah itu akan di-skip. Apakah ada kekhawatiran itu? Ada. Apakah saya khawatir? Saya khawatir. Tetapi, saya melihat ada proses politik juga nantinya kan. Karena Dewan Pengarah isinya kan tidak hanya ketua. Ada anggotanya. Nanti ketika anggotanya sudah terpilih dan ternyata figur politik semua, kita harus teriak. Saya akan berteriak itu kalau Dewan Pengawas isinya figur politik semua. Tidak ada mewakili industri, tidak ada mewakili akademisi, enggak ada mewakili ilmuwan. Wah, itu enggak benar.

Saya enggak tahu, ya. Pak Jokowi saja memilih sendiri kan Bu Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Well, itu political call. Kita boleh enggak setuju. Saya enggak setuju sih. Maksud saya enggak setuju itu gini. Dewan Pengarah BRIN seharusnya dipimpin oleh orang atau tokoh di bidang riset dan inovasi. Nanti, bahwa Presiden membuat putusan politis, itu gimana dia sebagai presidennya. Yang kita harus kawal adalah nanti anggota-anggotanya siapa.

Ada hukum alam dalam riset dan inovasi yang kita enggak bisa ngelawan. Kalau enggak dapat legitimasi, kalau enggak dapat kredensial, enggak akan jalan. Sudah. Kalau enggak ada kredensial, diketawain. Enggak akan jalan. Orang akan melihat kita dengan titik: 'Ah, kasihan Indonesia ini.' Maka, itu saya mendorong Dewan Pengarah itu diisi oleh figur-figur yang punya kredensial di bidang riset dan inovasi. 

Hanya itu cara yang, menurut saya, sekarang memulihkan reputasi tidak hanya BRIN, tetapi pemerintahan Pak Jokowi yang sudah dianggap menghabisi ilmu teknologi dengan membubarkan Kemenristek. Jika ada satu langkah yang bisa dikerjakan untuk kembalikan kepercayaan publik, kepercayaan dunia akademisi intelektual terhadap niat baik pemerintah ini menjaga arah iptek, isilah Dewan Pengarah itu dengan orang-orang yang benar.

Saya masih melihat sampai saat ini langkah membubarkan Kemenristek dan melebur ke Kemendikbud itu langkah yang salah. Saya akan yakin jika nanti beneran di Kemendikbud itu enggak ada dirjen yang mengurusi iptek. Yang ada cuma direktur gitu. Ini Jokowi akan dikenang sebagai pemerintahan yang membubarkan Kemenristek, dianggap tidak memiliki keberpihakan pada ristek. Yang kita punya hanya BRIN kan, maka itu BRIN harus benar.

Apakah lembaga riset pemerintah lainnya seperti LIPI, Bapeten, Lapan dan lainnya gelisah jika harus menyatu dengan BRIN?

Ya, ada. Dan, kegelisahan itu lebih pada kegelisahan atau kegalauan administratif, bukan substantif. Kegalauan mereka adalah kegalauan umum seorang PNS (pegawai negeri sipil) yang lembaganya mau dibubarkan. Terus, nanti saya gimana, ya? Gaji saya gimana, ya? Kalau digabung ke BRIN, saya jadi apa, ya? Itu kegalauan mereka.

Saya beri gambaran tadi, di Lapan, Batan, BPPT, LIPI, eselon I-nya itu anggaplah lima. Lima kali empat itu dua puluh. Sekarang mereka dipimpin eselon IA dengan hak dan kewajiban setara menteri. Itu juga empat. Berarti ada dua puluh empat eselon I ini. Di BRIN besok, eselon I ada berapa? Maksimal deputi sekarang cuma tujuh sampai dua belas. Pasti bingung kan? Kebingungan itu turun ke bawah. Lah, nanti eselon II gimana? Kalau gitu, eselon III gimana? Kebayang enggak sekian ribu orang itu? Itu loh kegalauannya. Bukan kegalauan subtantif. Wah, nanti gimana, ya, konsep riset antariksa? Enggak, bukan itu galaunya. Galaunya itu galau PNS.

Megawati sempat menyuarakan bahwa pelaksanaan tugas BRIN ini harus berlandaskan Pancasila. Apa implikasinya?

Yang saya pahami BRIN itu diharapkan atau mempunyai mandat dalam UU Nomor 11 tahun 2019 itu memberikan arah atau menjadi arah pembangunan Indonesia ke depan. Itu yang saya pahami dari UU 11 tahun 2019. BRIN ada di sana untuk memberikan arah haluan negara. Bahwa sekarang figur politik yang ada di situ dan ada kaitannya dengan ideologi negara, menurut saya, ini bukan terkait dengan arah ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ini terkait dengan pilihan-pilihan riset dan inovasi yang strategis untuk diambil atau dilakukan oleh negara. Figur politik di Dewan Pengarah itu, saya membacanya, adalah untuk memastikan BRIN mengambil pilihan-pilihan riset dan inovasi yang memang strategis untuk arah pembangunan negeri. Maka, kaitan dengan ideologi Pancasila itu jadi masuk akal. 

Saya mencoba untuk tidak skeptis atau nyinyir, ya. Saya melihatnya kalau ini berkaitan dengan pilihan. Misalnya, begini. Mau kembangkan material lanjut atau mau mengembangkan vaksin kalau duitnya hanya segini? Material lanjut itu penting untuk lithium battery, misalnya, nikel. Tetapi, vaksin penting untuk keluar dari pandemi. Ini bingung kan? Ini tugasnya Dewan Pengarah. Tetapi, kembangkan vaksin ujungnya ilmu apa? Material lanjut itu arahnya ke mana? Itu enggak ada urusan Dewan Pengarah. Tetapi, mereka memilih karena duitnya cuma Rp30 triliun. Berapa banyak kita spend untuk vaksin? Berapa banyak untuk material lanjut? Termasuk, misalnya, riset tentang deradikalisasi, riset tentang pluralisme, atau riset tentang masyarakat marjinal. Nah, itu pilihan-pilihan yang saya bayangkan.

Pada 2020, dana riset Indonesia hanya mencapai 0,25% dari PDB. Angka ini masih jauh lebih rendah dari pada negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Berapa dana riset yang ideal bagi Indonesia? 

Tiap negara hitungannya beda-beda, ya. Saya enggak hafal angkanya. Tetapi, Anda lihat itu biasanya sekitar 1,5% sampai 2,5% APBN di negara-negara maju. Soal dana riset ini satu hal. Yang lebih penting bagaimana dana riset ini dimanfaatkan. Untuk dana riset, kan Pak Jokowi pernah janji dana abadi riset. Dana abadi riset itu, kalau saya tidak salah ingat, tahun 2019 awal itu sudah dimulai Rp1 triliun setahun bunganya yang digunakan. Jokowi, kalau tidak salah, menjanjikan Rp3-Rp5 triliun dan berakhir 2024 dengan angka sekitar antara Rp5-Rp10 triliun. Dana abadinya tok loh, ya. Itu belum termasuk dana yang sudah dialokasikan untuk dana riset masing-masing kementerian yang itu akan mau disatukan di BRIN. Tahun 2018 besarnya sekitar Rp25-Rp26 triliun. Kalau enggak salah 2019, sekitar Rp30 triliun. 

Dari pengamatan saya, dari analisis 2019, kalau saya tidak salah, yang membuat Pak Jokowi itu tidak begitu happy adalah dari sejumlah dana riset itu yang dipakai untuk riset kurang dari 40%. Artinya, yang kurang itu untuk apa? Mobil dinas, rumah, administrasi, dan lain-lain. Umumnya yang dipakai untuk dukungan riset itu 25% maksimal. Nah, saya mengira BRIN ini ditugaskan untuk itu. Jadi, BRIN ini ditugaskan untuk memastikan agar dana riset itu sebagian besar dipakai untuk riset.

Dengan SDM dan kekayaan yang kita miliki ini, apa jenis riset dan inovasi yang perlu diprioritaskan? Apa kita punya peluang berkompetisi di level dunia?

Indonesia yang dimaui Pak Jokowi itu Indonesia menjadi negara maju sebagai ekonomi nomor empat atau nomor lima dunia pada 2045. Kalau 2045 mau kayak gitu, Indonesia ekonominya tidak bisa seperti sekarang. Sekarang ini ekonomi Indonesia itu mengandalkan jual-beli komoditi. Kalau perlu, sambil merusak alam. Jual karet, jual kayu, jual batubara, menjual komoditi atau industri, tetapi industri alas kaki atau industri tingkat rendah. Enggak bisa kita menjadi negara maju kalau seperti itu.

Satu-satunya cara menjadi negara maju di 2045 adalah ekonomi kita mesti ditransformasi menjadi ekonomi yang berbasis pengetahuan dan inovasi. Istilah kerennya itu knowledge and inovation based economic. Hanya dengan itu Indonesia bisa jadi negara maju. Kalau begitu arah risetnya apa? Apapun yang bisa mentrasformasi arah riset kita dari ekonomi eksploitatif atau ekonomi dagang komoditi menjadi ekonomi yang base-nya knowledge and inovation.

Tantangan utama itu ada delapan. Pertama, rendahnya mobilitas sosial. Kedua, urbanisasi yang makin cepat. Ketiga, tersierisasi lewat digitalisasi keterhubungan. Keempat, perubahan iklim. Kelima, ketahanan pangan. Keenam, kutukan sumber daya alam. Ketujuh, ketahanan energi. Kedelapan, kualitas institusi kenegaraan. Delapan tantangan utama ini yang harus di-tackle kalau kita mau mengubah ekonomi kita. Maka, harus ada di negara yang namanya misi inovasi, mengarah menjawab delapan tantangan tadi. Kalau kita tidak bisa menjawab delapan tantangan itu, aduh, enggak ada cerita itu.

Jadi, kalau ditanya ke saya, harusnya BRIN seperti apa atau strategi riset dan inovasi ke depan seperti apa, ya, menjawab delapan tantangan tadi. Karena itu yang akan menentukan gagal atau berhasilnya kita jadi negara maju, negara yang di-drive oleh knowledge and inovation. 

Ada contoh spesifik produk apa yang bisa kita kembangkan berbasis riset? 

Ada yang namanya RIRN (Rencana Induk Riset Nasional) dan PRN (Prioritas Riset Nasional). Itu sudab lengkap dengan produknya. Kalau kita kerjakan, banyak banget. CPO (minyak sawit) misalnya, kalaupun kita mau jual komoditinya, minyak sawitnya, masalah kita itu ada pada efisiensi produksi loh. Per hektarenya berapa liter. Saya lupa angkanya, tetapi sekarang kita masih beroperasi di bawah efisiensi 30%. Artinya, masih bisa lipat tiga tanpa harus menambah luas lahan.

Riset di bidang CPO seharusnya adalah riset mengenai produktivitas sawit. Indonesia, karena malas atau tidak melakukan itu, untuk menambah itu gimana caranya? Memperluas kebun sehingga merusak makin banyak hutan. Harusnya enggak usah nambah luasan hutan yang sudah menjadi kebun sawit itu. Tetapi, ditingkatkan efektivitas produktivitasnya. Nah, ini masalah kita dengan riset kita. Karena kita tidak cukup setia dengan menjalankan ini, maka ketika dibutuhkan, seolah-olah kita tidak punya apa-apa.

Kita ini tidak punya pengembangan riset mengenai vaksin. Maka, ketika ada corona, baru teriak-teriak. Karena kita terbiasa membeli ventilator, ketika ventilator penuh, teriak-teriak. Baru terpaksa bikin. ITB (Institut Teknologi Bandung) terpaksa bikin, ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) terpaksa bikin. Itu bukan dari strategi riset. Itu karena kepepet. Jadi, call for BRIN adalah menstrategikan riset. Kalau kayak gini caranya, besok kalau pandemi kita teriak-teriak lagi. Enggak bisa. Akan terulang itu. Wong, risetnya hasil kepepet kok.

Saya lupa angkanya, tapi ada sekian triliun dana untuk Kemenkes (Kementerian Kesehatan). Yang dipakai untuk riset itu cuma Rp600 miliar. Gede itu. Wong, dananya KSP cuma Rp80 miliar. Tetapi, menunjukkan jomplangnya itu loh. Ini sektor yang butuh riset insentif. Untuk kesehatan kok. Dan, cara kita menangani ...Coba lihat cara menangani vaksin itu! Wah, itu udah....

Kalau BRIN mulai bekerja dan strategi risetnya jalan, kira-kira berapa lama Indonesia menyejajarkan diri dengan negara-negara maju yang memang andal di bidang riset dan teknologi? 

Saya sangat optimistis dua puluh tahun itu paling lama. Ini saya tidak bermaksud menglorifikasi masa lalu, ya, dan saya bukan orang Orde Baru. Saya itu demo waktu mau menjatuhkan Soeharto tahun 1998. Tetapi, di zaman Soeharto, iptek itu menjadi penggerak banyak hal. Lewat project yang dipimpin Pak Habibie, misalnya. Dia bikin pusat industri strategis. Dia bikin macam-macam kan? Dia bikin PT Pindad, pabrik kereta api, pabrik senjata. Wah, semua itu. Itu teroskestrasi.

Kita butuh kayak gitu. Orde Baru banyak kekurangannya, tetapi juga ada kelebihannya. Karena kita begitu sentimen sama Soeharto, kita jatuhkan Soeharto dan kita rusak semua legacy-nya, termasuk yang baik. Di bidang iptek, legacy Soeharto itu bagus. Legacy Soeharto yang lain adalah integrasi perencanaan dan penganggaran program pembangunan negara. Itu dirusak semua karena begitu bencinya kita sama Soeharto. Maka, jadilah kita punya arah dua rezim, rezim perencanaan di Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan rezim keuangan di Kemenkeu (Kementerian Keuangan). Sampai sekarang enggak nyambung itu. 

Sama juga di iptek ini. Karena kita bencinya sama Soeharto dan Habibie, dihancurin. Lihat zaman Gus Dur, Megawati, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Bahkan, Pak Jokowi periode pertama itu enggak ada wacana publik mengenai Iptek. Baru sekarang ini muncul karena di-drive-nya bukan karena iptek. Tetapi, karena startup. Bukan karena mengenai pentingnya riset. Malah di kepala kita, ketika bicara teknologi, pemerintahan Pak Jokowi ini isinya adalah teknologi digital. Enggak paham kalau teknologi banyak banget. Enggak cuma digital.

Bu Susi (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan) ngomong ilegal fishing. Tetapi, teknologi kelautan dan teknologi laut dalam kita kembangkan enggak? Itu kayak gitu-gitu. Sebagai akademisi yang memahami, saya pikir, ini gimana sih republik ini. Ngeri loh. Riset dan inovasi enggak ada strateginya. Mau jadi negara maju kok enggak punya strategi? Jadi, kalau nanti BRIN jalan, maka message-nya BRIN ini harus menjadi badan yang membadankan strategi riset dan inovasi untuk kemajuan bangsa. Kalau BRIN gagal melakukan itu, BRIN gagal.

Seringkali pengembangan ristek itu tergantung dari kemauan politik Presiden meskipun blue print-nya sudah ada. Kalau berbasis kemauan politik, apa tidak mungkin Indonesia jadi negara maju berbasis riset dan teknologi pada 2045 itu hanya angan-angan saja? 

Gini. Saya omong fakta, ya. Bagaimanapun, riset yang dijalankan oleh negara itu pasti politis. Sebagai ilmu pengetahuan, dia boleh bilang bebas nilai. Tetapi, riset itu, apalagi riset negara, pasti politis. Bahkan, enggak cuma riset. Apa pun yang dikerjakan negara ini, dikerjakan pemerintah, maksudnya politis. Ia dikerjakan karena keputusan politik. Mulai dari makanan yang kita impor apa, bunga tabungan berapa, sampai baju yang dipakai itu apa. Itu politis. Pasti. 

Pertanyaannya, sampai seberapa aspek politik dari riset ini? Berdampak pada kemajuan negara ini atau tidak? Misalnya, berani enggak pemerintah ambil langkah tegas? Dalam 10 tahun ke depan, dari anggaran riset kita yang Rp36 triliun itu, kita arahkan 80% untuk program riset prioritas. Berani enggak kita seperti itu? Kalau kita seperti itu, kita bisa bold seperti itu.

Saya di Inggris 12 tahun. Beberapa tahun di sana, saya terlibat dalam yang namanya European Research Area (ERA). Tahun 1999, orang Eropa itu kumpul di Portugal. Mereka galau, 'Kok kalah dengan Jepang, China? Kalau begitu, kita mesti fokuskan riset.' Mereka punya sepuluh grand (design) jalan (membangun riset) dan tantangan utama. Lalu, mereka punya ERA. Mereka tentukan duitnya dipakai apa saja. 

Begitu disepakati, beasiswa (riset) yang bayari orang di sana, 80%. Yang 20% itu untuk namanya blue sky research. Blue sky itu adalah ide riset yang tidak ada dalam program. Harusnya kita kayak gitu. Harusnya kita berani bilang yang 80% duitnya akan kita pakai untuk satu, dua, tiga. Yang 20% untuk blue sky. Bebas untuk apa saja. Tetapi, yang 80% memang untuk genjot seperti itu. Kalau kita berani kayak gitu dan bayangan saya BRIN akan seperti itu, sukses itu. 
 

Berita Lainnya
×
tekid