Kontroversi wacana kembalinya TNI ke institusi sipil
Wacana ini mengingatkan publik terhadap memori kolektif kedudukan angkatan bersenjata di masa Orde Baru, sebagai penopang kekuasaan.
Tak menyalahi aturan
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi mengatakan, tak paham dengan perspektif orang-orang yang melontarkan wacana Panglima TNI sebagai upaya untuk mengembalikan dwifungsi TNI.
Menurut Muradi, yang dimaksud Panglima TNI adalah posisi-posisi yang masih berkaitan dengan pertahanan negara, dan sebagian juga sudah diatur dalam undang-undang TNI.
“Secara prinsipil tidak menyalahi aturan yang berlaku. Karena posisi yang akan diisi kan kayak Bakamla (Badan Keamanan Laut), BNN (Badan Narkotika Nasional), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), atau Basarnas (Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan). Masih berkaitan sama pertahanan,” ujar Muradi ketika dihubungi, Selasa (26/2).
Pengamat polisi, pertahanan, dan keamanan ini merujuk Pasal 37 ayat 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang TNI.
Di dalam pasal tersebut tertulis, prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan mahkamah agung.
“Sejauh para prajurit aktif tersebut telah terlebih dahulu meninggalkan jabatannya di ketentaraan,” ujarnya.
Hanya saja, kata Muradi, ketentuan ini harus dilindungi payung hukum yang jelas. Ia mengatakan, jabatan yang diisi tentara di Bakamla dan BNPT, belum diatur dalam undang-undang.
Hal ini, kata dia, seharusnya diperhatikan terlebih dahulu oleh pemerintah, agar tak ada tumpang-tindih atau kekhawatiran yang muncul di masyarakat.
Di berbagai negara maju, menurut Muradi, dewasa ini memakai pendekatan The Copenhagen School dalam urusan pertananan, di mana pertahanan tak lagi dibayangkan sebagai menjaga kedaulatan negara dari ancaman eksternal. Akan tetapi, lebih kepada perlindungan orang per orang.
Itulah kenapa, sebut Muradi, di berbagai tempat TNI ikut dalam upaya menjaga kedaulatan pangan, penyuluhan pertanian untuk meningkatkan produktifitas petani, dan terlibat dalam menanggulangi kesehatan warga.
“Perspektif ini yang membuat kita tidak ketemu dengan para penolak itu,” kata Muradi.
Solusi terbaik
Muradi memaklumi wacana yang dilontarkan Panglima TNI. Sebab, sejak dimulainya reformasi di tubuh TNI pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah tak mempersiapkan infrastruktur jabatan lainnya. Hal ini mengakibatkan, 800 personel TNI tak punya jabatan.
“Ada kolonel bintang satu dan dua yang non-job. Itu juga bahaya untuk ke depannya. Ini bisa suatu waktu meledak kalau dibiarkan, akan menimbulkan ketidakpuasan,” katanya.
Staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad ini menambahkan, langkah yang akan diambil Panglima TNI itu merupakan langkah ringkas untuk menghindarkan konflik yang mungkin saja timbul di tubuh TNI.
“Pilihannya hanya dua, diberhentikan atau dicarikan posisi lainnya. Dan pilihan Panglima Hadi adalah pilihan yang paling bijak,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Selasa (26/2), Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal A Budiyono mengatakan, selama ini sebenarnya perwira aktif TNI masuk lembaga nonmiliter, seperti Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenpolhukam) sudah ada.
Akan tetapi, publik tak mempermasalahkan, karena memang sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi), serta kompetensi militer. Penolakan terjadi jika TNI masuk ke institusi lainnya di luar tupoksi tersebut.
Dosen FISIP Universitas Al-Azhar ini mengatakan, meski pemerintah tidak menggunakan istilah dwifungsi TNI, namun publik menangkap arahnya ke sana. Ia menilai, bila masalahnya kelebihan perwira TNI, bisa mencari solusi lain.
“Banyak cara yang bisa di-create selain memasukkan TNI ke birokrasi sipil,” tuturnya.