sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

KPK pantau celah korupsi petaha di Pilkada 2018

KPK mengingatkan seluruh kepala daerah yang sedang dalam proses kontestasi politik dalam pilkada serentak untuk bertarung secara bersih.

Syamsul Anwar Kh
Syamsul Anwar Kh Rabu, 14 Feb 2018 19:09 WIB
KPK pantau celah korupsi petaha di Pilkada 2018

Selama awal 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap empat kepada daerah. Tiga diantaranya, merupakan sosok yang akan maju lagi dalam kontestasi Pilkada serentak yang akan digelar pada Juli 2018. Seperti pada kasus terbaru, OTT Bupati Subang Imas Aryumningsih.

Menyikapi kasus tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaku sedih dan terpukul. Dengan ditangkapnya seorang kepada daerah, kader PDIP itu merasa kehilangan mitra dalam membangun hubungan tata kelola pemerintahan.

Menurutnya, seorang kepala daerah harus sudah memahami area rawan korupsi guna menghindari godaan menyalahgunaan dana rakyat. Apalagi selama ini, KPK selalu mengingatkan Pemda baik di tingkat provinsi, kabupaten, kota hingga desa dalam rangka pencegahan.

“Dengan banyaknya OTT saya merasa terpukul juga sedih dan prihatin,” terang Tjahjo kepada wartawan, Rabu (14/2).

Meski demikian, ia memilih untuk menggunakan asas praduga tak bersalah dan tak langsung mencopot kepala daerah yang tertangkap KPK. Tjahjo juga menyarankan agar kepala daerah yang tertangkap kooperatif selama penyidikan lembaga antirasuah.

 

Namun, ongkos mahal perebutan kursi kepala daerah, dianggap jadi pemicu perilaku korupsi. Terkait ini, Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno tak menampik adanya belanja partai yang membengkak untuk menjagokan kadernya di kontestasi Pilkada. Bagi seorang Wali Kota misalnya, ia harus mengeluarkan uang untuk mengumpulkan massa, atribut, uang makan, dan uang transport. Meski tak merinci total biaya yang dibutuhkan untuk sekali pencalonan, Eddy menyebut tiap daerah memiliki ‘harga’ yang berbeda.

“Belum lagi di gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), kita butuh biaya untuk saksi dan masih banyak lagi,” ujar Eddy beberapa waktu lalu.

Sedangkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada 2015, menjabarkan bahwa parpol selama ini memiliki keterbatasan finansial. Merujuk laporan berjudul ‘Bantuan Keuangan Parpol; Metode Penetapan Besaran, Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan’, disimulasikan bahwa parpol kelas menengah seperti PKS, PAN, dan PPP membutuhkan anggaran belanja mencapai Rp51,2 miliar per tahun. Jumlah ini terdiri dari operasional sekretariat Rp1,4 miliar, konsolidasi organisasi Rp8,2 miliar, pendidikan politik dan kaderisasi Rp33,7 miliar, unjuk publik Rp6,7 miliar dan perjalanan dinas Rp1,2 miliar.

Sponsored

Ironisnya, hampir semua parpol gagal menggalang iuran anggota. Alhasil, mereka menggantungkan pundi-pundi keruangan kepada para penyumbang, baik perseorangan atau perusahaan.

Selain persoalan OTT, Pilkada serentak 2018 juga sempat memunculkan pengakuan terkait mahar politik kandidat yang gagal mendapat dukungan partai. Di Jawa Timur misalnya, mantan Ketua PSSI, La Nyalla Matalitti mengaku dimintai sejumlah dana oleh Gerindra. Hal serupa juga terjadi di Cirebon saat Siswandi gagal mengantongi dukungan dari PKS.

Kini, KPU telah menetapkan sejumlah kandidat yang akan bertarung di pesta demokrasi, baik Pilgub, Pilbup dan Pilwalkot. Sementara KPK, juga masih belum menunjukkan tanda-tanda berhenti memburu para pejabat korup.

“KPK mengingatkan kembali kepada seluruh kepala daerah yang sedang dalam proses kontestasi politik dalam pilkada serentak, khususnya kepada incumbent agar tidak terjebak dalam politik uang dan agar para calon mengikuti kontestasi politik secara bersih dan beretika,” tegas Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan usai OTT Bupati Ngada beberapa waktu lalu.

Berita Lainnya
×
tekid