sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penangkapan Marianus Sae mengonfirmasi gemuknya biaya kampanye

Sejumlah kepala daerah ditangkap KPK belakangan ini. Beberapa di antaranya mengaku terpaksa korupsi untuk menutup biaya kampanye yang mahal.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Senin, 12 Feb 2018 16:32 WIB
Penangkapan Marianus Sae mengonfirmasi gemuknya biaya kampanye

Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati petahana Ngada, Marianus Sae, sehari jelang penetapannya sebagai Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) menambah daftar panjang pesakitan KPK. Marianus ditangkap atas dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Ngada. Ironisnya, gratifikasi yang ia terima, diduga akan digunakan untuk biaya kampanye pencalonannya di pilkada mendatang.

Politik elektoral seperti Pilkada, Pileg, dan Pilpres hampir selalu berkelindan dengan praktik korupsi, khususnya di sektor sumber daya alam. Bahkan, guna menutupi kekurangan biaya pencalonan, para kandidat giat mencari sponsor melalui praktik ijon politik dan mencari sumber keuangan lainnya melalui praktik korupsi.

Hal ini didukung dengan rekam jejak Marianus yang kerap terlibat langsung dalam indikasi manipulasi izin tambang di daerah yang ia pimpin. Kepala Kampanye Jatam, Melky Nahar melalui keterangan tertulisnya, Senin (12/2) menuturkan, “Marianus pernah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri pada 20 September 2013 atas dugaan manipulasi izin tambang PT Laki Tangguh, dimana Izin Usaha Pertambangan terbit sebelum adanya permohonan tertulis dari pihak PT Laki Tangguh.”

Sebelas dua belas dengan Marianus, Bupati Jombang, Jawa Timur Nyono Suharli Wihandoko, juga menjadi sasaran OTT KPK awal Februari silam. Penangkapan pria kelahiran 8 November 1962 ini terkait dengan izin pengurusan jabatan di Pemerintah Kabupaten Jombang. Tak kurang dari Rp275 juta uang rakyat digelapkan Nyono dalam kasus ini.

Lagi-lagi, motif korupsi adalah untuk mendukung kegiatan kampanye di gelaran pilkada. "Diduga sekitar Rp 50 juta telah digunakan Nyono, untuk membayar iklan terkait rencananya maju dalam Pilkada Kabupaten Jombang 2018," ujar Laode Syarif, Wakil ketua KPK, dalam siaran persnya di KPK pekan lalu.

Menurut Laode, gratifikasi ini bersumber dari pungutan liar (pungli) uang jasa pelayanan kesehatan dan dana kapitasi dari 34 puskesmas di Jombang, sejak Juni 2017. Total pungli senilai Rp434 juta lalu dibagi ke Paguyuban Puskesmas se-Jombang 1%, kepala dinas kesehatan 1%, dan 5% untuk bupati.

Bukan hanya Marianus dan Nyono yang ditangkap KPK. Awal Januari lalu, Gubernur Jambi Zumi Zola juga ditetapkan sebagai tersangka terkait suap pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Jambi 2018. Mantan aktor kelahiran 31 Maret 1980 ini ditetapkan sebagai tersangka setelah hasil pengembangan KPK terhadap operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta dan Jambi. Dalam OTT itu, mulanya KPK menetapkan empat tersangka, tiga di antaranya pejabat Provinsi Jambi, sisanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jambi dari Fraksi PAN. Suap diduga digelontorkan untuk melincinkan pengesahan APBD senilai Rp4,7 triliun.

Menurut keterangan Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno, belanja partai untuk menjagokan kadernya di kontestasi Pilkada memang gemuk. Meski demikian, ia menegaskan bukan berarti alasan itu jadi pembenaran bagi kepala daerah untuk nekat korupsi.

Sponsored

Biaya politik sangat tinggi. Bagi seorang Wali Kota saja, usaha mengumpulkan massa, mengharuskannya membelanjakan uang untuk atribut, uang makan, uang transport. Belum lagi di gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), kita butuh biaya untuk saksi dan masih banyak lagi,” ujar Eddy di Jakarta, Selasa (6/2).

Eddy pun tak bisa merinci estimasi biaya untuk sekali pencalonan kadernya di Pilkada. Apalagi, tiap daerah dianggap memiliki angka serta karakteristik yang berbeda. “Kita tak bisa sebutkan angkanya secara rigid, tentu berbeda-beda di tiap daerah,” sambungnya.

Namun bukan berarti PAN menyimpulkan kader mudanya ini telah melakukan tindak korupsi. “Kita tunggu saja tahapan proses hukum yang berlaku. Menurut kami, Zumi ini adalah sosok yang secara figur cukup berintegritas. Di samping itu, ia juga besar dari dinasti politik, yang memang sudah relative berada,” ungkapnya.

Selain tiga kepala daerah di atas, Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul latif juga ditangkap pada awal 2018. Ia terjerat gratifikasi proyek pembangunan ruang perawatan kelas 1, kelas 2, VIP, dan VVIP RS Damanhuri Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, senilai Rp 3.6 miliar.

Abdul Latif ditangkap dalam operasi tangkap tangan bersama lima orang lain yakni Ketua Kamar Dagang Indonesia Barabal Fauzan Rifani (FRI), Direktur Utama PT Sugiwa Agung Abdul Basit Dirut PT Menara Agung Donny Witono Pejabat Pembuat Komitmen Pemkab Hulu Sungai Tengah Rudy Yushan Afarin, dan Tukiman selaku konsultan pengawas.

Kenapa korupsi banyak menjerat kepala daerah? Menilik riset Cornelis Lay (1994) besaran anggaran belanja parpol yang membengkak, memaksa kader partai mencari sumber pendanaan baik budgeter maupun nonbudgeter. Dana nonbudgeter digalang kader parpol yang umumnya tergabung dalam kartel, yang punya akses langsung ke sumber dana negara baik di Kementerian, BUMN, dan parlemen.

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Faris, biaya politik yang tinggi memang rentan berpotensi untuk menyuburkan praktik korupsi bagi kepala daerah. “Khususnya bagi calon kepala daerah incumbent yang hendak mencalonkan diri kembali, cara korupsi dipandang paling instan untuk memperoleh pendanaan,” ujarnya saat dihubungi Alinea pada Senin (12/2).

Sementara itu, dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 327 disebutkan, dana kampanye berasal dari kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 tidak boleh melebihi Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Namun pengawasan sumber pendanaan yang hanya diaudit lembaga akuntan publik, turut memberi celah pada korupsi kader, seperti yang tertuang dalam pasal 327 UU Pemilu.

“Yang terjadi akan ada akal-akalan dari audit dan pihak terkait, bahwa audit hanya dijadikan formalitas menggugurkan syarat. Ini juga salah satu faktor penghambat,” tuturnya.

Namun bukan berarti aktivis anti korupsi ini mengritik UU Pemilu tersebut. “Problem yang signifikan bukan konten UU Pemilu. Sebab di dalam UU ini, bahkan telah diatur hukuman pidana untuk pelaku mahar politik atau politik uang. Yang jadi masalah adalah penegakan hukum atas regulasi yang sudah ada,” urainya.

Oleh sebab itu, ia mendorong Bawaslu supaya lebih tegas menindak semua pelaku yang terlibat dalam urusan mahar politik. “Pasti semua partai berpotensi kena semprit, namun penegakan hukujm harus tetap berjalan semaksimal mungkin,” tegasnya.

Berita Lainnya
×
tekid